(9) Susahnya...

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


Aduh, karena mendung jadi agak dingin. Setelah membiarkan Sisy menyerbu ibunya, aku masuk ke kamar. Kali ini kasur tampak begitu menggoda. Udara dingin seolah membuaiku untuk merebahkan tubuh dan tidur siang. Aduh, tapi aku baru ingat aku belum makan. Sepanjang jalan ke rumah tadi tidak ada warung yang buka. Ah, ini masih minggu pertama puasa, masih sulit mencari makan sebelum sore tiba.

Apa sebaiknya aku masak mie saja ya? Oh tidak! Aku baru ingat belum mengisi ulang laci perbekalan! Laci perbekalanku kosong, persediaan mie instanku sudah habis. Ooooogh! Aku sudah terlalu malas untuk pergi ke warung. Lebih baik aku tidur saja. Kalau tidur, rasa lapar ini tidak akan terasa. Anggap saja hari ini aku ikut puasa.

Tiba-tiba saja handphoneku berdering. Padahal aku sudah ingin bergelung di bawah selimut seperti trenggiling.

“Dek, kamu lagi apa?” Suara ibu.

“Mau tidur siang, Bu.”

“Kamu udah makan?“

“Belum, Bu. Susah cari warung makan yang buka di sini. Mayoritas tutup semua. Aku juga lupa beli mie.”

“Loh? Jadi gimana? Kamu ga makan?”

“Yaaah itung-itung puasalah Bu…”

“Kamu ini… Makanya cepat pulang sini, biar bisa Ibu urusin. Lagian saudara-saudaramu sudah pada kumpul loh di sini. Rame sekali….”

Kata-kata yang membuat iri. Aku jadi kesal sendiri. Kalau saja saat ini aku tidak terperangkap di kota ini. Pulang, pasti aku sudah pulang kalau mau mengikuti keinginan hati. Kuliah libur selama tiga bulan, apa yang bisa aku lakukan di sini?

“Kamu belum bisa pulang, Dek??” Pertanyaan itu lagi.

“Belum, Bu. Masih ada pertemuan kan di sini. Daripada harus bolak-balik.”

“Oh ya udah yang penting kamu jaga diri baik-baik. Kalau makan coba beli makanan yang kira-kira bisa tahan sampai besok siang. Nasinya kamu masak sendiri.”

“Iya, Bu…”

Kalau saja ibu tahu betapa aku ingin sekali pulang sekarang. Teman-teman yang lain sudah pulang, hanya tinggal aku saja yang masih tinggal. Kalau ada di rumah sekarang, pasti makanan tiga kali sehari terhidang. Tidak perlu repot, tidak perlu khawatir lupa menyiapkan makanan untuk makan siang. Yah, meski makannya harus diam-diam sendirian. Setidaknya lebih baik daripada sekarang.

Kalau begini terus, sepertinya aku harus ikut berpuasa selama sebulan. Lalu hari ini? Hm… Anggap saja ikut berpuasa tanpa sahur. Lebih baik sekarang aku tidur siang. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com