(18) Sebuah Percakapan Menjelang Berbuka

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_ 
 
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal


Nyaris senja. Hari ini ada acara buka bersama. Tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, cukup jalan kaki saja tidak perlu naik angkutan umum. Akhir-akhir ini aku meminimalisir pengeluaran untuk ongkos transportasi. Kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan tariff angkutan umum. Dan untuk anak kos sepertiku, kenaikan itu sangat terasa.

Bukannya langsung mengambil jalan pintas ke tempat acara, entah kenapa kakiku memilih memutar, dan kemudian berhenti di depan sekolah Sisy. Di seberangnya, sebuah warung bakso tampak sepi dan tidak ada aktifitas. Hampir tidak ada lagi bekas-bekas penyerangan kecuali kaca etalase pecah yang belum diganti. Heran, kenapa juga aku harus berhenti di sini?

“Warung tutup, Mbak.” Tiba-tiba sebuah suara menyapa dari belakang.

Aku berbalik. Laki-laki itu, yang mengirimiku senyuman saat lewat di depan warungnya bersama Sisy tempo hari.

“Parah Mas rusaknya?”

“Yaaaa lumayanlah Mbak. Mereka tiba-tiba datang, teriak-teriak, merangsek masuk, ngacak-ngacak warung,” ceritanya. “Etalase dipukul pakai tongkat Mbak. Kacanya pecah tiga.” Matanya menerawang membayangkan kejadian hari itu, kilat matanya penuh emosi.

“Ngeri banget,”komentarku pendek. Instingku berkata dia sedang butuh didengarkan.

“Saya nggak ngerti, Mbak. Padahal saya sama ibu juga Islam, kami juga puasa. Tapi kami nggak pernah keberatan kalau ada tempat makan yang buka. Kami ini kan hanya mencari rezeki, bukan sengaja tidak menghormati. Masa kami mau nggak menghormati diri kami sendiri?” tuturnya. “Orang-orang itu teriak-teriak Allahu Akbar! Allahu Akbar! Saya sempat bertanya-tanya Allah mana yang mereka panggil? Gara-gara kejadian itu, sampai sekarang saya masih suka was-was kalau dengar itu.”

Aku mengamati laki-laki itu. Usianya mungkin sepantaran denganku. Raut wajahnya tampak gusar. Dia mengusap wajahnya.

“Padahal saya mau kuliah tahun ini, Mbak. Uangnya masih kurang. Saya sudah satu tahun kumpulkan uang, sebentar lagi mestinya cukup<,” katanya lalu mengehela. “Tapi sekarang uangnya amblas dipakai biaya hidup sehari-hari . Dan ganti etalase kaca. Kayaknya saya harus menunggu satu tahun lagi.”

Aku merenungkan ceritanya. Tidak tahu harus berkomentar apa, toh saat ini yang laki-laki ini butuhkan bukan komentar. Komentar tidak akan bisa membuatnya kuliah bulan depan.

Romo berkata setiap agama pasti mengajarkan kasih. Apakah mungkin ini cara dari orang-orang beragama itu menunjukkan kasih mereka? Kasih yang diinginkan Tuhankah yang seperti ini? Tuhan, aku takut beragama kalau seperti ini. Aku takut berubah menjadi seperti mereka.

“Katanya Allah itu Maha Penjaga Mbak. Tapi saya bertanya-tanya, dimana Allah berada?” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com