(4) Sungkan

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

 [Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]





Siang bergerak sungkan. Untung mendung, sehingga aku tidak kepanasan.

Di warung bakso yang kini tutup, aku mengetuk-ngetuk jari pertanda bosan. Di atas etalase yang kini sepi, seekor kucing hitam sedang asyik ketiduran. Perutnya besar, mungkin sedang hamil, aku memperkirakan.

Dua meter dari situ, tepat di dapur, ibu sedang sibuk memotong pisang perlahan. Sebentar dia benarkan kerudungnya yang kedodoran.

“Bu, kenapa kita nggak buka aja?” kataku heran.

Ibuku hanya menoleh sekilas dan sengaja tak hiraukan.

“Bu,” sapaku ulang lebih pelan.

“Ini Ramadhan,” ucapnya hanya demikian.

“Tapi orang Kristen tidak berpuasa, Bu,” kataku agak sungkan. “Sekolahnya pun tetap masuk. Kita buka buat mereka, Bu,” ucapku sambil menunjuk gedung sekolah di seberang jalan. Aku melihat seluruh warung memang tutup sepanjang jalan.

Ibuku diam tanpa jawaban.

Aku ikut diam, mencoba berempati pada yang ibuku rasakan. Namun aku ingin punya biaya daftar kuliah bulan depan. Kampusnya juga tidak berlebihan. Hanya akademi komputer yang melayani angsuran. Kalau tidak sekarang, aku perlu menunggu lagi beberapa bulan.

Dari balik tirai kain, aku memperhatikan sekolah yang bubaran. Mobil dan motor datang bergantian. Orang kaya berseliweran, barang-barang mewah mengganggu pandangan.

Lalu seorang perempuan dan anak kecil menyeberang pelan. Anak itu sedikit rewel, nampaknya kelaparan. Diam-diam aku memperhatikan.

Perempuan itu menatap ke warung ini dengan segan. Kenapa dia demikian? Aku keluar dari warung ke sebelah depan. Perempuan itu menatapku sopan. Tanpa sadar aku memberinya senyuman. Sungkan. [] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com