Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Huh, mereka sudah keterlaluan, bukan saja waktu memborong jalan di sore kemarin lalu, tapi hari-hari setelahnya juga. Bukan cuma berpawai songong, mereka juga merazia warung, merazia tempat hiburan. Pecahkan kaca, rusak jendela, banting barang...
Ah sudahlah... aku muak kalau masih membicarakan mereka. Seolah-olah mereka terlalu berharga untuk terus diomongkan.
“Agama itu menakutkan.” Itulah seruanku kemarin lalu. Seruan yang juga didengar oleh gadis berkulit putih di pinggir jalan. Gadis yang menabrak tubuh ringkihku dengan tubuh mungil dan kulit halusnya. Gadis yang wajahnya pucat karena teriakan takbir. Yang wajahnya lalu membingung akan arti ucapanku.
Tapi, ya apa juga hakku untuk menilai agama? Orang-orang berjubah putih itu memanfaatkan agama untuk makan. “Untuk kepentingan orang yang lebih gede,” kalau kata si Opik Jenggot. Aku pun tak beda jauh. Karena orang yang beragama tulus lah aku bisa makan. Aku memainkan lagu agama, untuk menangguk lebih banyak uang.
“Ah tapi aku kan tak pernah mengganggu rejeki orang, apalagi merusak dan menciderai.”
Benakku merasa terbenarkan. Aku masih manusia, masih merasa gamang untuk sesuatu yang amat luhur seperti agama.
Yang jelas aku hari ini sudah di jalan lagi. Namun tidak bermanis lagu Islami, karena Pat tidak ikut. Ia masih kesakitan, tubuh dan batin. Tepat kemarin kaum jubah putih wajah seram itu memepet dia. Melukai badan dan hatinya. Karena badannya terserempet dan terpukul, ia sakit. Karena amarah, ia takut. Si Opik Jenggot malah bilang jangan diladeni. Huuuuh...
Aku duduk saja di pinggir jalan. Berpangkukan Encut, yang sudah semakin malas menggerak badan buntingnya yang membalon. Aku lapar... Encut juga sepertinya... Kami tidak berpuasa... Lantas kenapa? Lantas apa?
Aku duduk... rejeki di topi lusuhku masih sedikit. Berbuat apakah aku? Akankah kudaras ayat suci, yang akan membuat orang welas asih? Aku sungkan. Tapi butuh. Aku gamang... mungkin seperti itu juga laskar-laskar berjubah putih berwajah seram itu, ketika berhadapan dengan perutnya sendiri.
Lampu merah... terpaksalah aku beranjak... menadahkan topi lusuh... dan seketika mulut kotorku mendaras kalimat suci berbahasa Arab itu.... Aku menangis, bukan karena haru... tapi malu atas gamangku sendiri...
Sampai langir memerah senja... aku di sini. Kuingat lagi kata-kataku pada gadis putih yang menabrakku. Agama itu menakutkan. Dan kini betapa arti agama itu adalah gamang... ahhhh....[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar