Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Aku menyerah… Hari sudah terik.
Kakiku sakit menusuk-nusuk.
“Nggeus nyak Ncong, Calik heula!,[1]” ringisku pada Pat. Ia maklum. Kami
sudah dapat cukup banyak dari pagi tadi. Pekan pertama puasa itu surga bagi
para ‘pekerja tetap’ jalanan. Apalagi modalnya lagu Islami. Apalagi ada
sedikit-banyak derita dan kelainan badani. Tapi itu mungkin hanya untuk minggu
awal. Sebelum nanti jalanan semakin dipadati tukang sandiwara. Sebelum puasa
jadi biasa saja di minggu-mingu berikutnya.
Aku suka bulan puasa salah satunya ya karena ini. Orang jadi kembali mudah iba. Untuk kemudian bermati-rasa lagi di banyak bulan berikutnya. Mereka benar-benar menatap kami untuk beberapa masa. Di hadapan mereka, kami muncul jadi penyelamat, jadi saluran amal mereka. Lantas di banyak masa lain kami hanyalah pengganggu yang tak enak dilihat. Apa kau kira aku juga peduli? Ah, biasa saja.
Yang jelas tadi aku dan Pat
benar-benar tersenyum. Seribuan, dua ribuan bahkan lima ribu dan sepuluh ribuan
dengan mudah bertaburan di topi lusuhku. Menyeimbangi petikan gitar kecilku,
menyambut suara sengau dan gaya kelewat centil Pat yang menyanyi lagu Bimbo: “Ada anak bertanya pada bapaknya … dst.” Melihat
lembaran hijau, abu-abu, cokelat dan kemerahan itu, sakit di kakiku hilang
beberapa jenak. Tapi tentu itu hanya
alihan rasa. Harta toh memang mengikat banyak hal dalam kita, bukan?
Pat beranjak, katanya mau ngerumpi dengan teman sejenisnya.
Diambilnya beberapa lembar uang di topiku.
Aku memilih neduh ke rumah. Eh, kau tentu sudah tahu apa yang ku maksud dengan
‘rumah’. Tempat sejuk dan nyaman buatku, meski buatmu itu lembab dan pesing.
Tak apalah, yang penting aku mau istirahat, menunggu nanti agak sore. Siapa
tahu ada rejeki lagi. Atau malah ada yang mengajak buka bersama di dekat
pangkalan kami.
Menjelang gang dekat rumah
pandanganku tertoleh ke seorang laki-laki muda. Agak culun, tapi dari pakaiannya
pasti dia dari orang yang ‘bukan kami’. Gayanya sih sederhana (aku tahu persis bagaimana tampang orang kaya, tak
usah kau ragukan kemampuanku soal ini), tapi yang jelas ia masih lebih
beruntung dari aku.
Ia berdiri mematung memandangi si Boncel yang sedang tidur. Matanya memandangi terus Boncel, gitar di pantat Boncel, serta si Encut yang tidur kelaparan di pangkuan Boncel. Aku tak tahu pasti apakah ia iba, apakah jijik. Atau mungkin ia lagi terkena gejala jadi saleh-iba pas Ramadhan.
Ia berdiri mematung memandangi si Boncel yang sedang tidur. Matanya memandangi terus Boncel, gitar di pantat Boncel, serta si Encut yang tidur kelaparan di pangkuan Boncel. Aku tak tahu pasti apakah ia iba, apakah jijik. Atau mungkin ia lagi terkena gejala jadi saleh-iba pas Ramadhan.
“Punten…[2],” seruku dengan suara berat, lebih menunjukkan kalau aku
hadir, bukan sekedar mau lewat.
=============================
[1] Udah dulu Ncong, istirahat
dulu lah.
[2] Permisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar