(8) Neduh


Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

 [Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


Aku menyerah… Hari sudah terik. Kakiku sakit menusuk-nusuk. 

Nggeus nyak Ncong, Calik heula!,[1]” ringisku pada Pat. Ia maklum. Kami sudah dapat cukup banyak dari pagi tadi. Pekan pertama puasa itu surga bagi para ‘pekerja tetap’ jalanan. Apalagi modalnya lagu Islami. Apalagi ada sedikit-banyak derita dan kelainan badani. Tapi itu mungkin hanya untuk minggu awal. Sebelum nanti jalanan semakin dipadati tukang sandiwara. Sebelum puasa jadi biasa saja di minggu-mingu berikutnya.

Aku suka bulan puasa salah satunya ya karena ini. Orang jadi kembali mudah iba. Untuk kemudian bermati-rasa lagi di banyak bulan berikutnya. Mereka benar-benar menatap kami untuk beberapa masa. Di hadapan mereka, kami muncul jadi penyelamat, jadi saluran amal mereka. Lantas di banyak masa lain kami hanyalah pengganggu yang tak enak dilihat. Apa kau kira aku juga peduli? Ah, biasa saja.

Yang jelas tadi aku dan Pat benar-benar tersenyum. Seribuan, dua ribuan bahkan lima ribu dan sepuluh ribuan dengan mudah bertaburan di topi lusuhku. Menyeimbangi petikan gitar kecilku, menyambut suara sengau dan gaya kelewat centil Pat yang menyanyi lagu Bimbo: “Ada anak bertanya pada bapaknya … dst.” Melihat lembaran hijau, abu-abu, cokelat dan kemerahan itu, sakit di kakiku hilang beberapa jenak.  Tapi tentu itu hanya alihan rasa. Harta toh memang mengikat banyak hal dalam kita, bukan?

Pat beranjak, katanya mau ngerumpi dengan teman sejenisnya. Diambilnya beberapa lembar uang di topiku.
Aku memilih neduh ke rumah. Eh, kau tentu sudah tahu apa yang ku maksud dengan ‘rumah’. Tempat sejuk dan nyaman buatku, meski buatmu itu lembab dan pesing. Tak apalah, yang penting aku mau istirahat, menunggu nanti agak sore. Siapa tahu ada rejeki lagi. Atau malah ada yang mengajak buka bersama di dekat pangkalan kami.

Menjelang gang dekat rumah pandanganku tertoleh ke seorang laki-laki muda. Agak culun, tapi dari pakaiannya pasti dia dari orang yang ‘bukan kami’. Gayanya sih sederhana (aku tahu persis bagaimana tampang orang kaya, tak usah kau ragukan kemampuanku soal ini), tapi yang jelas ia masih lebih beruntung dari aku.

Ia berdiri mematung memandangi si Boncel yang sedang tidur. Matanya memandangi terus Boncel, gitar di pantat Boncel, serta si Encut yang tidur kelaparan di pangkuan Boncel.  Aku tak tahu pasti apakah ia iba, apakah jijik. Atau mungkin ia lagi terkena gejala jadi saleh-iba pas Ramadhan.

Punten…[2],” seruku dengan suara berat, lebih menunjukkan kalau aku hadir, bukan sekedar mau lewat.

=============================

[1] Udah dulu Ncong, istirahat dulu lah.
[2] Permisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com