Dalam Satu Ikatan* (2 - tamat)

Oleh Yosi Novita Dewi**


Baca bagian 1

Acara inti akan segera dimulai dan aku pun duduk manis untuk mendengarkan ulasan dari kedua penulis ini.

Wiihhh it is very cool,” ucapku dalam hati.

Banyak hal yang dapat aku ambil dari seminar ini. Selain dapat teman baru, aku juga dapat ilmu tambahan. Dua penulis ini sangat sabar mengajari kami dari mulai penempatan kata, menulis cerita yang baik, dan uji coba menulis cerita yang berbentuk naratif. Sunguh luar biasa dua kakak penulis ini.

Thanks for all, kak!” hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulutku.

Setelah itu kita pun berpose untuk foto bareng bersama kakak panitia semua. Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat, dan itu mengakhiri acara pertemuan pada seminar kali ini.

Pengalaman kali ini cukup membuat aku happy. Tak terasa hampir 6 jam kita berada disini dan semua peserta seminar bergegas meninggalkan tempat ini dengan berbondong-bondong.

Rasa lelah bercampur dengan rasa bahagia itu menyelimuti pikiranku. Hanya orang terpilihlah yang bisa berada di tempat ini dan aku sangat bersyukur bisa meluangkan waktu untuk menghadiri tempat ini tanpa harus meninggalkan kewajibanku di pondok pesantren.

Yah bisa dibilang aku tuh hobi banget nulis. Jadi kalau ada kesempatan yang hubungannya dengan nulis, entah itu fiksi atau non-fiksi, aku pasti menyempatkan untuk hadir dan mengikuti acara dari awal sampai akhir. Karena itu cita-citaku sejak SMP, aku menyadari bahwa tak selamanya yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Namun dengan berusaha dan berdoa, semua itu akan menjadi lebih mudah bagi Allah untuk memberikan jalan keluar bagi seseorang yang ingin berusaha keras. “Yang terpenting tidak terlepas dari kaidah hukum Islam,” ujarku.

“Aku hanya bisa menunggu kesempatan datang kepadaku, Liza. Agar suatu saat nanti aku bisa menjadi seorang penulis tanpa harus memaksakan kehendak, dan aku siap dengan semua konsekuensinya yang akan terjadi pada suatu hari nanti,” ucapku sambil memandang Liza penuh semangat.

“Aku yakin rencana Allah lebih indah....”

“Liza jadi termotivasi sekali dengan kegigihan kak Sisi. Good luck ya, kak,” ucap Liza sambil tersenyum.

Desiran angin yang mampu memberikan kedamaian kepada setiap insan yang sedang merasakan keresahan, itulah yang pernah aku alami saat merasakan kegagalan. Tak selamanya hidup kita akan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Justru banyak hambatan untuk mencapai keberhasilan itu.

“Pepatah mengatakan: semakin tinggi pohon menjulang semakin berat rintangan menghadang. Itu yang selalu aku ingat dan kujadikan motivasi untuk diriku sendiri, Liza,” ucapku meneteskan air mata. Liza pun memelukku.

Kulihat jendela kamar masih terbuka. Hujan turun dengan lebatnya dan kupandangi setiap tetesan air hujan yang menetes. Aku tersenyum sendiri membayangkan keceriaan yang telah kulalui saat berada di tempat seminar tadi. Rasanya sulit untuk aku lupakan bayangan itu. Semakin terlihat jelas di pelupuk mataku dengan canda tawa yang mengisahkan sejuta kebahagiaan.

“Biarkan perbedaan keyakinan itu menjadi suatu ikatan yang baik untuk menjalin tali silaturahmi antar-agama,’’ ucapku menutup perbincangan siang tadi.


(tamat)


*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Yosi Novita Dewi dilahirkan di Sukabumi, 27 Desember 1995. Sedang menjalani kuliah di perguruan tinggi STAI Daarussalaam semester 5,  program studi tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Kesehariannya tidak terlepas dari menulis, berimajinasi, dan mencari hal baru yang bisa dijadikan bahan penulisan cerpen.

Gambar milik 123hdwallpapers.com
0

Dalam Satu Ikatan* (1)

Oleh Yosi Novita Dewi**



“Pagi, kak Novi!,” Liza temanku menyapa.

“Pagi juga, Liza. Ayo sini! Kita sarapan bareng,” ajak aku pada Liza.

Para santri memulai hari dengan sarapan.

“Kak, gimana? Jadi seminar sekarang?” tanya Liza.

“Of course, kita berangkat sekitar setengah jam lagi,” jawab aku sembari tersenyum.

“Ok, kak. Aku siap-siap, ya!” ucap Liza sambil pergi dari ruang makan.

Semua telah aku bereskan dan aku siap-siap untuk menghadiri acara seminar hari ini.



Di sepanjang perjalanan, tak pernah sedikit pun terbayang bisa menghadiri seminar bedah buku dan secara live bisa bertemu dengan penulisnya. “Ini sungguh luar biasa,” pikirku. Aku benar-benar tak sabar ingin cepat-cepat mendengarkan pengetahuan dari penulis itu.

Pukul 07.00 pagi kami berada di lokasi, di gedung Yosanah GKP Kota Sukabumi.

Sungguh tak pernah ada dalam benakku bisa berada di kompleks gereja – yang mana gedung acara tersebut tepat bersebelahan dengan gereja. Rasa kaget dan panik menyelimuti pikiranku. Entah apa yang aku rasakan, hanya rasa tak percaya yang saat ini aku rasakan. Akhirnya rasa penasaran itu pun timbul dan aku bersama Liza menghampiri gedung tersebut.

Di situ aku tercengang karena nampaknya belum terlihat peserta seminar yang datang. Aku dan Liza pun segera masuk ke dalam gedung tersebut dan menempati bangku yang telah disediakan.

Aku bersama Liza bertemu dengan seorang ibu yang mana ibu itu adalah pemilik gedung beserta gereja tersebut. Tiba-tiba rasa tidak percaya itu timbul lagi.

“Aduh! Apa yang sebenarnya terjadi? Sungguh aku tak percaya dengan semua ini.”

Kami pun ingin tahu lebih dalam tentang latar belakang ibu itu. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya.

“Ibu, boleh nanya nggak?”

“Oh silakan saja,” jawab ibu itu singkat.

Aku bertanya nama, alamat dan status ibu tersebut. Ibu itu menjawab namanya ibu Nining, alamat di Kuningan dan statusnya masih single ternyata. Rasa ingin tahu aku pun tinggi, aku pun melontarkan beberapa pertanyaan yang mana pertanyaan itu sangat mudah bagi bu Nining.

“Oh iya, Neng, kalau ibu boleh tahu namanya siapa? Dari mana? Dan sekolah kelas berapa?’’ tanya bu Nining penasaran.

“Aku Sisi, Bu, dan ini Liza adik tingkat Sisi. Kami tinggal di Pesantren Selajambe Cisaat dan kita kuliah di sana baru semester V,’’ ucapku jelas.

Kami pun berbincang-bincang cukup lama dan ternyata beliau adalah pendeta di gereja ini.

“Waw! Ini rasanya sulit ku percaya, tak pernah aku bermimpi bisa bertemu dengan pendeta perempuan!” batinku.

Aku pun bertanya tentang perbedaan protestan dan Katholik. Beliau pun menjawab sangat berbeda sekali entah itu dari kitab atau pun ajarannya. Di situ aku merasa wawasanku bertambah dan aku rasa bu Nining ini seorang pendeta yang baik hati dan lemah lembut. “Orangnya juga sangat asik,” ucapku. 

*** 

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Yosi Novita Dewi dilahirkan di Sukabumi, 27 Desember 1995. Sedang menjalani kuliah di perguruan tinggi STAI Daarussalaam semester 5,  program studi tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Kesehariannya tidak terlepas dari menulis, berimajinasi, dan mencari hal baru yang bisa dijadikan bahan penulisan cerpen.

Gambar milik 123hdwallpapers.com
0

Bersembunyi di Balik Kerudung Hitam* (4 - tamat)

Oleh Asih Nurasiyanti**

 

Baca bagian 1
Baca bagian 2
Baca bagian 3


Aku pun berkenalan dengan perempuan paruh baya itu. Dengan nada yang sangat kecil dan lembut, dia menjabat tanganku lalu menyebutkan namanya,

“Saya ibu Sani, ada maksud apa kalian datang ke mari?”

Setelah pertanyaan yang dilontarkan kepada ibu Sani, ibunya Mimin membawa wanita itu ke luar rumahnya. Sepertinya dia akan menceritakan maksud kedatangan kami ke rumah ini. Cukup lama mereka berbicara sampai akhirnya mereka pun masuk kembali. Ibu mimin pun berbicara.

“Ibu Sani merupakan salah satu pengikut aliran yang ingin kamu tahu. Mereka menyebutnya Ahmadiyyah. Kalau kamu ingin tahu sesuatu bertanyalah pada bu Sani, karena selama ini di antara golongannya dia yang paling terbuka di sini. Kamu tenang saja dia akan menjelaskan kenapa dia ada di sini, dan menutup diri dari khalayak,” ibu Mimin menegaskan, lalu melirik ibu Sani yang waktu itu memandangku sangat dalam.

“Di kampung ini kami merasa aman, tak ada yang mencoba menghujat karena kami menjadi minoritas, tak ada yang mencoba menghina kami, dan membuat kami terisolir di sini.”

“Apa salahnya kami menyakini apa yang kami yakini ? Di tempat kami dulu, di kampung Legok, setiap pergi ke pasar dengan pakaian seperti ini, orang-orang selalu membicarakan. Ada yang bilang ninja nyasar, ada juga yang bilang mantan TKI Arab yang nggak digaji.”

Di tengah-tengah ceritanya dia pun menangis mengenang memori pahit yang pernah dia rasakan dengan keluarganya yang menjadi pusat hujatan orang karena memiliki perbedaan keyakinan dan peribadatan dengan khalayak.

“Kami juga pernah dilempari batu, kami yang menjadi minoritas merasa tersiksa dan merasakan tekanan batin yang sangat kuat, atas cercaan yang kami dapatkan setiap hari.”

Dia bercerita bahwa sampai akhir hayatnya dia akan tinggal di sini, kampung Cibunar, yang menurutnya dapat memberikan kedamaian hidup.

Setelah datangnya ibu Sani ke daerah itu, banyak orang yang mengikuti jejaknya untuk pindah ke daerah itu. Ada yang dari daerah asalnya ibu Sani yaitu kampung Legok, ada juga yang dari daerah lain yang mengetahui beritanya dari teman-teman mereka yang lain.

Aku yang mendengar menjadi sedih dan sangat iba.

Setelah dirasa cukup, aku pun pamit pulang dari rumah bu Sani. Aku memberikan spirit untuk tetap semangat, dia pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Di lain tempat, ibu Mimin pun mengatakan, meski pun dari luar golongan itu disebut minoritas, tapi di kampungnya jumlah pemeluk Ahmadiyah sudah menyeimbangi penduduk aslinya.

Aku pun berpamitan pada ibu Mimin, tak lupa dia berterimakasih atas moci yang aku bawa.

Untung saja, ternyata masih ada orang masih peduli dengan orang lain. Yakni dengan memberikan rasa toleransi yang tinggi terhadap bu Sani dengan memberikan rasa aman dan nyaman untuk tetap tinggal. Seperti yang dilakukan ibu Mimin dan beberapa tetangganya yang memiliki pemahaman agama yang sama dengannya.

Sangat miris sekali, di tengah-tengah kemerdekaan Indonesia yang paling dikenal dengan toleransinya, ternyata masih menyimpan segudang kisah memilukan. Tentang kejinya perlakuan yang dilakukan satu kepada yang lainnya. Contohnya ibu Sani dan golongannya yang menjadi bahan diskriminasi khalayak karena memiliki pemahaman yang berbeda terhadap agama yang dianutnya.

Mereka bersembunyi di balik kerudung hitam dari orang-orang intoleran, agar tidak menjadi cercaan dan hujatan orang, sebagai langkah untuk mencapai kedamaian hidup. 
(tamat)

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.


Foto milik flickrhivemind.net
0

Bersembunyi di Balik Kerudung Hitam* (3)

Oleh Asih Nurasiyanti**

 

Baca bagian 1 
Baca bagian 2

Beberapa hari yang lalu, aku datang ke rumah Mimin, dengan satu kotak moci Sukabumi yang sengaja kubeli di tempat oleh-oleh. Aku ingin mengetahui kebenarannya, apakah yang dilontarkan pamanku benar adanya, atau hanya isu tak penting dan sebagai kabar burung yang tak jelas. Sesampainya di tempat Mimin, ternyata usahaku nihil karena Mimin yang kucari tak ada di rumah. Dia sedang bekerja di luar kota. Hanya ada orang tua Mimin yang sedang menyapu halaman rumah.

“Eh kamu toh, Asih, ke sini ko nggak bilang-bilang. Gimana kabarnya sehat? Mimin sedang bekerja sejak tiga minggu lalu”

Dia menghampiriku ketika aku sampai di rumah nya. Awalnya aku ragu untuk menceritakan hal ini, tapi aku bersikeras untuk menanyakannya. Setelah membuka percakapan dengan beberapa menit intermezzo, akhirnya dengan bahasa yang hati-hati aku pun menanyakan hal yang menjadikan aku melangkahkan kaki datang ke sana. Ketika aku ceritakan ini kepada ibunya Mimin, spontan dia tertawa kecil.

“Ada apa toh? Sudah lama nggak datang ke sini, sekali ke sini kamu nanya nggak penting. Masalah itu nggak ada hubungannya sama kamu. Biarkan mereka hidup, karena setiap manusia punya hak untuk itu.”

Mendengar jawaban seperti itu rasanya aku menjadi malu, tapi aku menjadi lebih penasaran karena yang aku tangkap dari pembicaraannya seakan-akan ada yang pernah tersakiti.

Untuk mendapatkan beritanya, akhirnya aku ceritakan maksudku bahwa datang ke sana adalah karena sebuah tugas. Ya, aku menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu aku mengikuti sebuah seminar. Di dalamnya ada beberapa unsur yang sangat penting sekali untuk dikaji, yaitu tentang toleransi dan perdamaian. Bahwasanya setiap manusia memiliki hak dalam keyakinannya masing-masing dan tak perlu kita melakukan primordialisme untuk memperkuat suku. Karena hak setiap suku adalah sama – yakni hidup nyaman, aman, dan tentram.

Akhirnya setelah mendengar pernyataanku, ibu Mimin langsung masuk ke dalam kamarnya dan tak lama dia pun keluar lagi. Dia menuntunku ke sebuah rumah tak jauh dari rumahnya. Suasana kampung itu cukup sepi, setiap rumah ditutup rapat-rapat.

Ibu Mimin mengetuk pintu rumah itu, dan keluar seorang lelaki paruh baya yang akhirnya mempersilahkan kami masuk. Rumahnya sedikit kotor dan tidak terurus. Kaca rumahnya penuh dengan debu dan ada beberapa sampah berserakan di dalam rumah.

“Sebenarnya siapa yang sedang aku kunjungi ini?” ucapku dalam hati. Tapi aku tak berkutik sedikitpun, hanya diam menanti sesuatu yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah lelaki paruh baya pergi ke ruangan lain, tak lama aku menunggu datang lah sosok wanita yang sudah paruh baya juga. Yang membuat aku terkejut adalah dia sosok yang ingin kucari tahu informasinya. Seseorang berpakaian panjang bercadar dan berjilbab sampai menutupi seluruh tubuhnya ada di depan mataku saat ini!

Bersambung ke bagian 4
---

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.


Foto milik flickrhivemind.net
0

Bersembunyi di Balik Kerudung Hitam* (2)

Oleh Asih Nurasiyanti**

 

Baca bagian 1

Suatu pagi di bulan Agustus, kala matahari mulai menggeliat untuk terbangun, aku bergegas pergi ke suatu tempat untuk menjumpai kawan lama. Kami saling mengenal sejak kami duduk di bangku sekolah dasar, namanya adalah Mimin.

Tempatnya memang cukup jauh, sekitar dua jam dengan kendaraaan umum aku baru sampai ke rumahnya. Kampung Cibunar, di Kecamatan Kadudampit, Sukabumi, itulah nama kampungnya. Aku memang jarang sekali menjumpainya untuk bersilaturahmi, karena dia kerja di luar daerah.

Ketika aku sampai di depan rumah nya, ternyata Mimin sudah menunggu di depan pintu–sebagai tanda dia sudah membaca pesanku yang akan menjumpainya dalam waktu sepagi itu. Maklum waktu itu aku sangat sibuk dan hanya memiliki waktu di pagi hari saja.

Mimin pun mempersilakan aku masuk, tapi aku lebih memilih teras rumahnya untuk duduk karena pemandangan di luar rumah sangat indah dan rapi. Di luar rumah itu ada pohon-pohon rindang dan tanaman hias yang membuat mata menjadi hijau dan sangat menyejukkan sekali.

“Kamu makin cantik saja!” aku mengawali pembicaraan kami.

“Kamu makin gendut!” balas Mimin sambil tertawa kecil tanda bergurau.

Kami pun berbincang-bincang panjang lebar. Sampai di tengah perbincangan kami, aku bertanya sesuatu tentang apa yang kulihat, dan dia menunduk tanda bingung untuk menjawab.

Pada waktu itu aku melihat sekelompok wanita yang memakai jilbab hitam panjang menutupi pantat, bercadar, dan juga pakaian gamis hitam, melewati rumah Mimin.

“Wah, itu siapa, Min, kok dandanannya aneh kayak di Arab saja?” ujarku.

Mimin pun menghela nafas dan menjawab sambil menunduk.

“Hanya ibu-ibu pengajian saja kok!” timpal Mimin yang sepertinya tak suka aku membahas tetangga nya.

Akhirnya aku pun mengalihkan pembicaraan supaya tetap hangat. Kami pun terus bercerita tentang pengalaman masing-masing ditemani dengan secangkir teh dan beberapa makanan. Sampai pada akhirnya aku harus berpamitan dengan Mimin.

Aku menjadi penasaran terhadap satu golongan itu. Yang membuat aku penasaran adalah kenapa Mimin harus gugup menjawab pertanyaanku. Pertanyaan itu menggelayut di pikiranku sampai aku bertanya kepada pamanku, tentang kampung Cibunar dengan para wanitanya yang bercadar. Paman pun spontan mendiskriminasi minoritas tersebut dengan cap aliran berbeda dengan ahlus sunnah waljama’ah.

Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4

---

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.


Foto milik flickrhivemind.net
0

Bersembunyi di Balik Kerudung Hitam* (1)

Oleh Asih Nurasiyanti**

 

“Dunia hanyalah panggung sandiwara”

Pernah mendengar istilah itu? Ya, kita yang hidup di dalamnya bak yang memainkan peran dalam sebuah film yang diatur sutradara. Kita tak dapat semena-mena melakukan hal yang kita inginkan selain yang telah dinaskahkan oleh sutradara. Semua telah diaturnya.

Jadi setiap manusia memiliki jalan hidupnya sendiri. Tentu hal itu telah diatur oleh Sang Pencipta yakni Tuhan yang Maha Esa, dan kita tak perlu repot-repot mengurusi naskah orang, yang pada kenyataannya belum tentu naskah hidup kita lebih baik dari mereka yang kita ragukan kebagusannya. Di sinilah letak toleransi berperan penting terhadap sesuatu yang kita jumpai dinyana bertolak belakang dengan apa yang kita pikirkan.

Dunia itu hanya sebagai tempat senda gurau dan juga permainan. Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk membuat hidup menjadi bermakna? Jawabannya adalah hanya dengan ibadah kepada Tuhan baru hidup menjadi bermakna. Tetap teguhkan hati jangan sampai terbawa oleh sesuatu yang dapat menjatuhkan kita kepada jurang kenistaan, dan selalu berwasiat dalam kebaikan. Seandainya sebagian dari mereka menolak ajakan kita, toleransi merupakan modal emas dalam hidup mencapai damai bersama orang yang heterogen. Karena hidup dengan toleransi sangatlah indah...

Untuk itu aku akan menceritakan satu pengalaman lintas agama, di mana toleransi merupakan sesuatu yang harus dikobarkan, disemarakkan, dan dihidupkan.

Kejadian ini sekitar satu tahun lalu, ketika aku duduk di bangku semester tiga sebuah universitas swasta di Sukabumi. Suasana sumpek membuatku ingin keluar dari rutinitas keseharianku dengan belajar dan membaca. Akhirnya kuputuskan mengujungi kawan lama.

Bersambung ke bagian 2
Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4

---

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.


Foto milik flickrhivemind.net
0

Takdir Lain* (4 - tamat)

 Oleh Siddika Tahira**

Baca bagian 1
Baca bagian 2
Baca bagian 3

Akhirnya aku sampai di sebuah hari… hari ketika aku merasa harus melangkah keluar dan membuka diriku pada sebuah tempat lain di dunia kecil ini. Aku mulai bertemu lagi dengan beberapa orang baru yang sempat aku pikir sama dengan mereka—yang sering risih dengan perbedaan.

Aku melihat lagi, ada ketakutan semacam sebuah rasa keterasingan dan kekhawatiran tak akan diterima. Aku sangat lambat bereaksi dan menanggapi. Aku tahu beberapa orang di sini, sayangnya setiap sel tubuhku berkata, “Siapapun itu, ketika mereka terlalu ‘Islam’, berhati-hatilah!” Namun, apa yang aku temui di sini?

Lambat-laun aku mulai bisa tertawa dan menunjukkan diriku apa adanya bersama mereka. LENSA, FOPULIS dan keluarga READY. Entahlah, ini seperti takdir lain dalam hidupku yang rumit. Meski kecanggunggan masih sering menyerangku, aku merasa lebih nyaman bersama mereka karena aku bisa mengatakan siapa aku, bagaimana diriku, tanpa takut akan diskriminasi.

Mereka perlahan membuat aku percaya tak semua orang bersorban, berpeci, dan mereka yang fasih beragama itu ‘sama’. Ada juga lho, mereka yang mau memahami bahwa kita memang berbeda, dan tak ada hak bagi manusia mengatakan siapapun kafir. Itu jelas bukan hal yang bisa manusia lakukan, itu hanya hak prerogatif milik Allah semata.

Semua rekan di sini juga membuatku kian sadar bahwa aku tak harus jauh-jauh pergi ke luar negeri untuk mencari tempat yang nyaman dan mau menerimaku. Indonesia sesungguhnya adalah tempat itu, hanya saja memang kita perlu bekerja lebih keras serta lebih lapang dada dalam mewujudkannya.

Astaghfirullah… rupanya ini…”

Ibarat aku mencari orang lain, yang tak lain adalah diriku sendiri. Selama ini aku terjebak dalam stigma negatif yang diakibatkan mereka yang intoleran terhadap perbedaan di negeri kita.

Ketika aku merasa menjadi lebih Indonesia. Ketika aku merasa aku memang Indonesia. Di sini, bersama mereka, aku melihat bagaimana kami semua dapat sama-sama tersenyum, tertawa, berbaur, bahkan bercanda satu sama lain meski aku tak sepaham aliran dengan mereka. Itu yang selama ini hilang dari pandangan mataku.

Ketika kamu tak hanya mendekati sebab kepentingan, melainkan tulus karena kamu memiliki hati yang sama mencintai negeri ini serta semua yang ada di dalamnya. Ketika yang lain menjunjung sisi liberalis, kapitalis, sosialis, dan komunis, aku merasa kita harus lebih bangga karena kita memiliki Pancasila.

Berbeda dan luar biasa! Kita—Indonesia—memang keren! Subhanallah… Allah memang sang Kuasa. Dia yang telah menyatukan kita sebagai Indonesia. Thanks God, I feel so grateful!

(tamat)

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net
0

Takdir Lain* (3)

 Oleh Siddika Tahira**

Baca bagian 1
Baca bagian 2

Ketika itu aku sudah duduk di bangku kelas 12 SMA. Aku sudah lelah berada di negeri penuh kemunafikan ini. Hatiku membara dalam kekesalan ketika mengingat semua perjalanan hidupku yang kira-kira sudah hampir 18 tahun aku lewati separuhnya lebih dengan merasa begitu asing dan diabaikan.

“Aku ingin pergi dari sini!”

Seolah aku tengah berteriak kencang di dalam kepalaku sendiri. Huh! Aku sudah merencanakan hidupku ke depannya. Meski aku mungkin hanya akan menjadi lulusan dari sekolah ranking 4 di Kota Sukabumi, tapi tekadku kuat dan bulat akan pergi mencari ilmu di tempat yang lebih baik dari tempatku bernapas hari ini. Rasanya semua itu sudah sampai ke ubun-ubun dan menjalar ke seluruh inti sel di tubuhku.

“Aku benar-benar bersemangat!”

Satu hal yang mungkin belum banyak diketahui teman-teman sekolahku. Aku ini berafiliasi keagamaan apa? Akan aku jawab mungkin dengan agak bertele-tele, kecuali yang menanyakannya adalah teman sekolah yang berbeda agama, aku pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan tenang dan lantang.

Sayangnya, teman berbeda agama di sekolah hanya bisa dihitung jari dan mereka pun tak tertarik dengan tema obrolan seperti itu. Tentu saja! Tema itu adalah obrolan sensitif juga bagi mereka, sama halnya denganku. Banyak dari mereka—muslim—yang aku kenal di sini cenderung kurang menerima perbedaan, termasuk guru-gurunya. Tak jarang seolah ada sikap meremehkan bahkan merendahkan terhadap mereka yang tak sepaham agama atau aliran. Aku jadi heran sendiri, “Kenapa sih?”

Lama kelamaan, aku jadi semakin terlalu malas membahas hal-hal keagamaan dengan teman-teman di sekolah—kecuali ketika pelajaran agama. Di kepalaku, semua orang yang terlalu relijius itu sama saja seperti mereka yang sering ‘mengganggu kami’.

Aku selalu saja merasa risih ketika masuk Pelajaran Agama Islam, bisa disebut aku bahkan pernah masuk periode Islamophobia—padahal aku juga Muslim. Bukan karena terorisme seperti yang diisukan di negara lain, tapi karena aku tidak suka dengan mereka yang berbaju sorban, berpeci sok alim, dan bicara begitu fasih mengenai Islam, namun di sisi lain mereka menghakimi saudara seagama dan saudara sebangsanya.

Batinku muak, dan selalu saja muncul perasaan ingin pergi saja. Aku masih ingat pelajaran hadits yang pernah aku lewati di madrasah diniyah ketika masih SD, “Khubul waton minal iman, artinya berbakti kepada negara sebagian dari iman.”

Kadang aku berpikir, kenapa aku harus berbakti dan mencintai negeri yang mengkhianatiku? Apa aku harus tetap membela negara yang bahkan ketika seorang korban yang tangannya hampir putus akibat kekerasan atas nama agama diperlakukan dengan tidak adil bahkan turut dipenjarakan pula? Apa itu negara? Rasanya, lebih baik menjadi apatis dan tak ingin terlalu banyak berharap kepada negara ini.

---

Bersambung ke bagian 4

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net
0

Takdir Lain* (2)

 Oleh Siddika Tahira**



Di suatu istirahat, aku terduduk diam di bangkuku dan terpaku merasakan sakit di dadaku yang juga belum kunjung sirna. Beberapa kali aku coba menarik napas dan menenangkan diri, namun rasanya sangat sulit kala itu.

“Hey!” sapa Nita yang duduk di sampingku sejak tadi.

Tampak mata sipitnya mengamatiku yang diam saja tanpa suara seolah kehilangan nyawa. Dengan nada penasaran dan khawatir, dia terus membujukku untuk bicara.

“Eh, ada apaan sih? Tumbenan lo diem begitu?”

Aku masih diam dan berusaha menyangkal sambil tersenyum kaku.

"Ah, nggak kok, nggak ada apa-apa."

“Halah! Ada apaan sih? Lo mah bikin gue penasaran! Kalau ada apa-apa, lo bilang aja sama gue. Ayo dong! Ini mah kagak kayak lo banget!”

Adhitia yang duduk di depanku turut membujuk karena ikut khawatir melihat tingkahku yang tak biasa, “Iya Da, cerita aja ngga apa-apa, kok! Dari pada dipendem terus, ntar sakit lagi…”

Kami sudah mengenal cukup lama dan dekat. Mereka dapat merasakan ada yang berbeda dengan sikapku belakangan ini. Tak lama, Ferry—teman kami dari kelas lain, sama seperti Adhit—datang menyambangi kami di kelasku. Dia ikut heran ketika melihat aku yang diam dan tak bersemangat, bahkan nampak begitu sedih. Dia menatap ketiga anak perempuan di sekelilingnya dan mengamati ekspresiku dengan hati-hati.

“Ada apaan?”

Aku masih diam dan menimbang-nimbang, apakah aku benar-benar harus mengatakannya dan membuat mereka berhenti bertanya-tanya? Lalu, apakah mereka juga akan bisa tetap menerimaku ketika tahu aku siapa? Batinku bergejolak. Air mata tak lagi sanggup ku tahan, dan pecah begitu saja, saat ingin aku ucapkan kata pertama kepada mereka.

“Jadi… sebenarnya…,” kata-kataku terpotong isak tangis “aku lagi mikirin yang insiden penyerangan… Cikeusik…”

Air mataku tumpah ruah membasahi pipi dan rambut panjangku yang kala itu masih aku biarkan terurai begitu saja, ikut basah di beberapa bagiannya. Nita spontan bergerak lebih dekat kepadaku dan meraih bahuku, menenangkan. Mereka tampak bersimpati ketika aku menceritakan perasaanku sebagai seorang Ahmadi atas kabar penyerangan itu. Aku tak bisa berhenti menangis di hadapan mereka.

Di luar dugaanku, mereka sangat respect dan turut menyatakan kesedihan serta kekecewaan mereka atas kejadian mengerikan itu. Mereka sangat menunjukkan simpatinya kepadaku. Aku merasa bagaikan dipeluk semua orang orang di dunia ketika itu.

Aku sadar, mereka tak akan memperlakukanku dengan buruk atau bertanya ini-itu yang membuatku risih setelahnya. Bahkan mereka sangat menyayangkan kejadian menyedihkan semacam itu, dan upaya pemerintah juga dianggap sangat kecil untuk menghindarkan tindakan tidak manusiawi kepada warga negara di negaranya sendiri.

Meskipun kami masih SMP kala itu dan tergolong masih labil, namun aku bisa merasakan kehangatan pertemanan kami yang lintas agama dan lintas iman ini. Kami memang sama-sama sering mendapat tatapan sinis orang lain ketika tahu apa agama atau iman kami. Aku merasa serasa dan sepenanggungan dengan mereka. Kala itu, ada sesuatu yang mulai kembali berubah.

Di SMP, aku sangat akrab dengan dua orang teman dekat yang masih sering saling menghubungi hingga sekarang: Nita dan Adhit. Aku selalu tersenyum berseri ketika mengenang kebersamaan dengan mereka. Kami pertama kali dekat ketika sama-sama ada di kelas yang sama, 8A

Kedekatan itu terasa begitu special dan luar biasa ketika aku sadar kami bertiga berbeda agama dan hampir setiap hari makan siang bersama sambil menceritakan banyak hal menarik. Yang paling unik adalah tema obrolan mengenai kegiatan keagamaan kami setiap minggu.

Aku masih ingat saat kami saling melempar senyum karena keluhan masing-masing dalam kegiatan keagamaanku di masjid, Adhit di gereja, dan Nita di vihara. Itu momen yang luar biasa menurutku. Meski tak jarang orang melirik aneh ketika melihat kebersamaan kami saat ini. Aku berhijab, jalan dengan Adhit dengan dandanan cuek khasnya, ataupun dengan Nita yang sipit, putih, plus gaya bicaranya yang jelas menujukkan etnisnya.

Kenapa harus ada orang yang masih kebingungan dengan perbedaan, coba?

---

Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4


*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net
0

Takdir Lain* (1)

 Oleh Siddika Tahira**


‘Cintai Produk Indonesia!’

Seketika aku mendengus membaca banner besar yang aku lihat di sepanjang perjalananku menuju sekolah. Entah kenapa itu kedengarannya munafik. Aku sendiri tak merasa mencintai Indonesia sebesar itu, dan benakku dengan keras mendukung bahwa pasti tak semua pejabat pemerintah pun sama konsistennya dengan apa yang mereka suarakan. Aku tak tahu bagaimana nada bicaraku ini, apa tampak seperti pengkhianat bangsa?

Kenangan masa lalu membekas dengan jelas di ingatanku. Bisa dibilang, aku ini saksi dan juga korban kekerasan bermotif agama dan keyakinan sejak aku masih kecil. Sebagai seorang Ahmadi keturunan, aku tahu benar setiap cerita penyerangan di daerah tempat aku tinggal semasa kecil. Karena dulu rumah almarhumah nenekku tepat di depan masjid tempat kami beraktivitas dan beribadah.

Mulai dari cerita yang aku dengar, sampai ke cerita yang aku rasakan, dan kulihat sendiri runtut kejadiannya. Aku rasa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

Termasuk, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 6, aku melihat sendiri dengan kedua mataku bagaimana beberapa puluh orang bersorban putih sambil berteriak-teriak tak karuan melempari masjid kami dengan batu dan berusaha menghancurkannya, seolah itu adalah tempat yang hina. Bagaimana bisa mereka berbuat seperti itu?

Aku juga melihat—meski hanya lewat siaran televisi—bagaimana saudara-saudaraku yang sedang mengikuti pertemuan tahunan atau Jalsa Salana di Parung, Bogor, diperlakukan begitu kejam seperti mereka adalah orang-orang jahat yang patut dihukum.

“Padahal apa yang mereka lakukan?”

Mereka hanya mempertahankan tempat mereka, hak mereka dan melindungi saudara mereka yang lain di sana. Perlahan tanpa aku sadari, aku memupuk kebencian halus kepada negeri tempat aku bernaung selama ini.

Yang paling pahit yang pernah aku rasakan adalah ketika aku masih duduk di bangku SMP kelas 9. Aku baru saja pulang dari SMAN 1, sehabis mengikuti perlombaan bahasa Inggris bersama teman-teman. Aku ingat, hari itu ketika pulang sekolah aku masih menggunakan baju seragam olah raga—bercelana biru pendek dan kaos berwarna sama juga dengan lengan pendek—dan salim kepada papah sambil menunjukkan senyuman beseri karena dapat meraih juara III.

Namun seketika itu senyumku sirna, hilang begitu saja, kala menengok televisi yang ditonton papah sedang menayangkan berita kasus penyerangan Cikeusik. Aku terhenyak. Aku sebenarnya tak terlalu paham, namun yang segera muncul di batinku adalah, “Ada apa lagi sih?”

Aku terduduk di samping papah dengan mata masih tertuju ke televisi. Mendadak dadaku begitu perih.

Berhari-hari berita penyerangan itu menjadi hot news di mana-mana. Setiap jam, setiap waktu, dan hampir di setiap tempat, semuanya membicarakan itu. Tak luput juga pembicaraan serupa pernah aku dengar di sekolah.

Ketika aku masuk ke ruang guru hendak menyampaikan tugas kepada guru Biologi. Aku dengan jelas melihat wajah serius mereka yang turut mendengarkan pendapat (Almh.) Bu Hj. Yetty, selaku salah satu guru senior—yang muslim—di sekolah Katholik ini.

“Wuihh! Sadis banget itu yang di Cikeusik…”

Aku sempat terdiam sesaat setelah mendengarnya. Batinku kembali bergejolak, dan entah kenapa ada rasa sakit yang bersarang di dadaku setiap mengingatnya lagi. Sambil berjalan keluar aku masih terus memikirkannya dan berusaha menenangkan diriku sebaik mungkin.

---

Bersambung ke bagian 2
Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net

0

Sekar Sawargi, the Art of Udunan

Teks oleh Rio Tuasikal
Foto oleh Nadia Priatno, Yunita Chen

  


Selamat datang di "Sekar Sawargi", kios produk kreatif hasil kolaborasi. 

Adalah Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), Gereja Kristen Pasundan, dan Praxis in Community yang bergandengan tangan membuka lapak ini. Ketiga komunitas ini sering menjalin kerjasama dalam acara isu perdamaian seperti #BDGLautanDamai, atau isu perempuan.

Tak aneh bila slogannya adalah the art of udunan.

"Ini sebagai salah satu sumber penghasilan komunitas untuk semakin mandiri dalam mengelola gerakannya. Selain untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan para anggota," jelas Iska Dinarristy dari Jakatarub.

Firman Sebastian (Jakatarub), bang Tobing (LayarKita), Wawan Gunawan (Jakatarub), dan Aty Suandi (Praxis in Community) berfoto bersama usai launching Sekar Sawargi di Baltos Bandung, Minggu (1/3) siang.



Kios di Balubur Town Square ini menyediakan berbagai produk kreatif. "Seperti produk rajutan dalam bentuk bros, kupluk,tas, kalung. Berikut bahan wol untuk merajut yang juga dijual," jelas Iska lagi.

Kios juga menyediakan taplak meja dan tas dari kain batik. Tak lupa: buku Dialog 100 yang berisi 100 kisah persahabatan lintas iman 

 
 
 
 

Pembukaan kios Minggu (1/3) kemarin diisi dengan workshop merajut bagi pengunjung. Berikut keramaiannya.

  

Bagi komunitas ini, melewatkan foto adalah dosa besar.



SEKAR SAWARGI
The Art of Udunan
Lantai D 1 - Kios L 08
Balubur Town Square
Bandung

Facebook Sekar Sawargi
Twitter @sekarsawargi
Instagram @sekar_sawargi
0

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com