Takdir Lain* (2)

 Oleh Siddika Tahira**



Di suatu istirahat, aku terduduk diam di bangkuku dan terpaku merasakan sakit di dadaku yang juga belum kunjung sirna. Beberapa kali aku coba menarik napas dan menenangkan diri, namun rasanya sangat sulit kala itu.

“Hey!” sapa Nita yang duduk di sampingku sejak tadi.

Tampak mata sipitnya mengamatiku yang diam saja tanpa suara seolah kehilangan nyawa. Dengan nada penasaran dan khawatir, dia terus membujukku untuk bicara.

“Eh, ada apaan sih? Tumbenan lo diem begitu?”

Aku masih diam dan berusaha menyangkal sambil tersenyum kaku.

"Ah, nggak kok, nggak ada apa-apa."

“Halah! Ada apaan sih? Lo mah bikin gue penasaran! Kalau ada apa-apa, lo bilang aja sama gue. Ayo dong! Ini mah kagak kayak lo banget!”

Adhitia yang duduk di depanku turut membujuk karena ikut khawatir melihat tingkahku yang tak biasa, “Iya Da, cerita aja ngga apa-apa, kok! Dari pada dipendem terus, ntar sakit lagi…”

Kami sudah mengenal cukup lama dan dekat. Mereka dapat merasakan ada yang berbeda dengan sikapku belakangan ini. Tak lama, Ferry—teman kami dari kelas lain, sama seperti Adhit—datang menyambangi kami di kelasku. Dia ikut heran ketika melihat aku yang diam dan tak bersemangat, bahkan nampak begitu sedih. Dia menatap ketiga anak perempuan di sekelilingnya dan mengamati ekspresiku dengan hati-hati.

“Ada apaan?”

Aku masih diam dan menimbang-nimbang, apakah aku benar-benar harus mengatakannya dan membuat mereka berhenti bertanya-tanya? Lalu, apakah mereka juga akan bisa tetap menerimaku ketika tahu aku siapa? Batinku bergejolak. Air mata tak lagi sanggup ku tahan, dan pecah begitu saja, saat ingin aku ucapkan kata pertama kepada mereka.

“Jadi… sebenarnya…,” kata-kataku terpotong isak tangis “aku lagi mikirin yang insiden penyerangan… Cikeusik…”

Air mataku tumpah ruah membasahi pipi dan rambut panjangku yang kala itu masih aku biarkan terurai begitu saja, ikut basah di beberapa bagiannya. Nita spontan bergerak lebih dekat kepadaku dan meraih bahuku, menenangkan. Mereka tampak bersimpati ketika aku menceritakan perasaanku sebagai seorang Ahmadi atas kabar penyerangan itu. Aku tak bisa berhenti menangis di hadapan mereka.

Di luar dugaanku, mereka sangat respect dan turut menyatakan kesedihan serta kekecewaan mereka atas kejadian mengerikan itu. Mereka sangat menunjukkan simpatinya kepadaku. Aku merasa bagaikan dipeluk semua orang orang di dunia ketika itu.

Aku sadar, mereka tak akan memperlakukanku dengan buruk atau bertanya ini-itu yang membuatku risih setelahnya. Bahkan mereka sangat menyayangkan kejadian menyedihkan semacam itu, dan upaya pemerintah juga dianggap sangat kecil untuk menghindarkan tindakan tidak manusiawi kepada warga negara di negaranya sendiri.

Meskipun kami masih SMP kala itu dan tergolong masih labil, namun aku bisa merasakan kehangatan pertemanan kami yang lintas agama dan lintas iman ini. Kami memang sama-sama sering mendapat tatapan sinis orang lain ketika tahu apa agama atau iman kami. Aku merasa serasa dan sepenanggungan dengan mereka. Kala itu, ada sesuatu yang mulai kembali berubah.

Di SMP, aku sangat akrab dengan dua orang teman dekat yang masih sering saling menghubungi hingga sekarang: Nita dan Adhit. Aku selalu tersenyum berseri ketika mengenang kebersamaan dengan mereka. Kami pertama kali dekat ketika sama-sama ada di kelas yang sama, 8A

Kedekatan itu terasa begitu special dan luar biasa ketika aku sadar kami bertiga berbeda agama dan hampir setiap hari makan siang bersama sambil menceritakan banyak hal menarik. Yang paling unik adalah tema obrolan mengenai kegiatan keagamaan kami setiap minggu.

Aku masih ingat saat kami saling melempar senyum karena keluhan masing-masing dalam kegiatan keagamaanku di masjid, Adhit di gereja, dan Nita di vihara. Itu momen yang luar biasa menurutku. Meski tak jarang orang melirik aneh ketika melihat kebersamaan kami saat ini. Aku berhijab, jalan dengan Adhit dengan dandanan cuek khasnya, ataupun dengan Nita yang sipit, putih, plus gaya bicaranya yang jelas menujukkan etnisnya.

Kenapa harus ada orang yang masih kebingungan dengan perbedaan, coba?

---

Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4


*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com