Takdir Lain* (3)

 Oleh Siddika Tahira**

Baca bagian 1
Baca bagian 2

Ketika itu aku sudah duduk di bangku kelas 12 SMA. Aku sudah lelah berada di negeri penuh kemunafikan ini. Hatiku membara dalam kekesalan ketika mengingat semua perjalanan hidupku yang kira-kira sudah hampir 18 tahun aku lewati separuhnya lebih dengan merasa begitu asing dan diabaikan.

“Aku ingin pergi dari sini!”

Seolah aku tengah berteriak kencang di dalam kepalaku sendiri. Huh! Aku sudah merencanakan hidupku ke depannya. Meski aku mungkin hanya akan menjadi lulusan dari sekolah ranking 4 di Kota Sukabumi, tapi tekadku kuat dan bulat akan pergi mencari ilmu di tempat yang lebih baik dari tempatku bernapas hari ini. Rasanya semua itu sudah sampai ke ubun-ubun dan menjalar ke seluruh inti sel di tubuhku.

“Aku benar-benar bersemangat!”

Satu hal yang mungkin belum banyak diketahui teman-teman sekolahku. Aku ini berafiliasi keagamaan apa? Akan aku jawab mungkin dengan agak bertele-tele, kecuali yang menanyakannya adalah teman sekolah yang berbeda agama, aku pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan tenang dan lantang.

Sayangnya, teman berbeda agama di sekolah hanya bisa dihitung jari dan mereka pun tak tertarik dengan tema obrolan seperti itu. Tentu saja! Tema itu adalah obrolan sensitif juga bagi mereka, sama halnya denganku. Banyak dari mereka—muslim—yang aku kenal di sini cenderung kurang menerima perbedaan, termasuk guru-gurunya. Tak jarang seolah ada sikap meremehkan bahkan merendahkan terhadap mereka yang tak sepaham agama atau aliran. Aku jadi heran sendiri, “Kenapa sih?”

Lama kelamaan, aku jadi semakin terlalu malas membahas hal-hal keagamaan dengan teman-teman di sekolah—kecuali ketika pelajaran agama. Di kepalaku, semua orang yang terlalu relijius itu sama saja seperti mereka yang sering ‘mengganggu kami’.

Aku selalu saja merasa risih ketika masuk Pelajaran Agama Islam, bisa disebut aku bahkan pernah masuk periode Islamophobia—padahal aku juga Muslim. Bukan karena terorisme seperti yang diisukan di negara lain, tapi karena aku tidak suka dengan mereka yang berbaju sorban, berpeci sok alim, dan bicara begitu fasih mengenai Islam, namun di sisi lain mereka menghakimi saudara seagama dan saudara sebangsanya.

Batinku muak, dan selalu saja muncul perasaan ingin pergi saja. Aku masih ingat pelajaran hadits yang pernah aku lewati di madrasah diniyah ketika masih SD, “Khubul waton minal iman, artinya berbakti kepada negara sebagian dari iman.”

Kadang aku berpikir, kenapa aku harus berbakti dan mencintai negeri yang mengkhianatiku? Apa aku harus tetap membela negara yang bahkan ketika seorang korban yang tangannya hampir putus akibat kekerasan atas nama agama diperlakukan dengan tidak adil bahkan turut dipenjarakan pula? Apa itu negara? Rasanya, lebih baik menjadi apatis dan tak ingin terlalu banyak berharap kepada negara ini.

---

Bersambung ke bagian 4

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."

Foto milik flickrhivemind.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com