Batas

Oleh Gabriella Ria Apriyani / @hujanriaa


Kakimu seolah dipancang di satu titik itu saja. Akibatnya kamu jadi tidak mampu bergerak, apalagi berpindah. Tidak mampu atau masih ragu?

Semua ini diawali oleh satu panggilan telepon dari sahabatmu yang kamu terima kurang-lebih satu jam lalu ketika kamu masih di rumah, baru selesai menikmati segarnya air dingin yang mengusir kantuk, dan siap melanjutkan ritual pagi dengan meminum secangkir kopi. Kamu masih ingat persis kata-kata yang diucapkan sahabatmu,

"Telur-telur untuk acara hari ini tertinggal di rumah. Bisa tolong kamu ambil dan anterin ke sini? Setengah jam lagi acara dimulai dan aku nggak mungkin ambil sendiri ke rumah."

Diucapkan dengan nada memohon yang membuatmu tidak mungkin berbuat apa-apa lagi selain menyanggupi. Semuanya dimulai sesimple itu, tetapi dampaknya belum habis sampai sekarang. Kamu diperangkap oleh dilema. Berdiri di depan gerbang gedung yang bertahtakan salib di puncak atapnya, menimbang-nimbang apakah harus masuk atau tidak.

Kamu masih ingat dengan jelas barisan-barisan nasehat yang kamu terima sejak kecil dari orang tuamu. Nasehat-nasehat yang bahkan masih sesekali kamu terima hingga sekarang.

"Gereja itu tempatnya para kafir Nak. Jangan dekat-dekat kesana! Nanti kafir juga kamu."

"Jangan pernah masuk ke tempat itu Nak! Merusak aqidah, bahaya! Allah tidak akan suka, masuk neraka kamu nanti."


Nasehat-nasehat semacam itu yang sudah memborbardirmu sejak kamu mulai diperkenalkan pada huruf-huruf Arab, menjadikanmu tumbuh dengan membangun batas yang jelas antara dirimu dengan bangunan itu. Sekalipun kamu tidak pernah melangkah keluar dari batas tersebut, sekali-kali pun tidak. Sampai saat ini.

Handphonemu kembali berdering. "Hey, kamu sudah sampai mana? Aku tunggu di dalam ya. Anak-anak sudah banyak yang datang, aku nggak bisa keluar."

Panggilan terputus. Tidak dengan dilemamu. Dilemamu masih terus berlanjut. Suara-suara yang terdengar dalam dirimu semakin banyak dan semakin ramai. Memprovokasi untuk melakukan ini dan itu. Ada yang berkata untuk bergegas karena kamu sudah ditunggu, dibutuhkan, dan memang kamulah satu-satunya harapan. Ada suara yang mengingatkan soal dosa, nasehat-nasehat orang tuanya, pelanggaran aqidah, dan murka Allah. Kamu takut api neraka.

Kalau kamu diberi kesempatan untuk memiliki kekuatan super saat ini, satu-satunya yang kamu inginkan adalah kemampuan untuk memindahkan barang dari jarak jauh. Tanpa harus berpindah, tanpa harus kamu sendiri yang mengantarkannya secara langsung. Semacam telekinesis, atau teleportasi yang khusus digunakan kepada benda-benda. Apapun itu, selama mampu menyelamatkanmu dari situasi sarat konflik batin seperti sekarang.

Tiba-tiba saja wajah sahabatmu itu terlintas di benakmu. Kamu ingat binar matanya setiap kali bercerita mengenai tingkah polah anak-anak di Sekolah Minggu. Kamu terpikir betapa kecewanya pasti anak-anak tersebut kalau keseluruhan acara berantakan hanya karena kamu tidak mau membuat satu langkah saja untuk memasuki gedung itu.

Akhirnya kemudian semua bayangan mengenai orang tua dan dosa menguap habis. Dan dengan kemantapan hati sambil berucap dalam hati, “Bismillahirrahmanirrahim…”, kamu melangkah memasuki bangunan dengan salib di puncak atapnya itu. Dengan satu langkah mantap, kamu mendorong batas yang selama ini diyakini dalam dirimu dan mendobraknya. Batas itu kini hancur, lebur... Keluar dari segenap pori-pori, mengalir jatuh bersama titik-titik keringat di sekujur tubuhmu. Habis sudah.

__________________________________

Ditulis oleh @hujanriaa buat #Pluks 
Bisa dibaca pula di blognya : http://inilahtandatitiknya.blogspot.com/2013/03/batas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com