Oleh Viona Wijaya / @vionawijaya
Perahu hias di Perayaan Peh Cun 2013, di Lembang, Bandung |
“Ha, yang ini pasti dari Hong Kong!” ujar seorang pria tua yang mengurus kegiatan kami hari itu. Saya dan seorang kawan tanpa sadar mengerutkan kening dan memrotes keras, “Bukan, kami dari Indonesia!” Orang Belanda itu buru-buru minta maaf atas kekeliruannya. Maklum, mata kami sipit dan kulit kami kuning. Ya, kami memang Tionghoa, Tionghoa Indonesia.
Tak terhitung berapa kali orang mengira kami peserta dari Hong Kong / RRC. Juga tak terhitung berapa kali orang berusaha berbicara bahasa mandarin dengan kami – dan kami berdua hanya melongo karena tak mengerti. Kejadian-kejadian selama kami mengikuti sebuah program pertukaran pelajar di Eropa menyadarkan kami bahwa kami adalah orang Indonesia, se-Indonesia-Indonesia-nya!
Seorang dosen pernah berkisah, orang kulit hitam di Amerika biasa menyebut dirinya dengan cara begini, “Kami Afro, Afro Amerika (Afro-Americans), kami orang Amerika.” Mereka tak mau disamakan dengan orang Afrika di benua Afrika, maka mereka tambahkan kata Amerika di belakang kata Afro, menunjukkan dirinya sebagai bagian dari Amerika. Secara tak langsung mereka berkata, “Kulit kami hitam, rambut kami keriting seperti kawan-kawan kami di Afrika tapi hati kami Amerika.”
Kondisi orang Tionghoa di Indonesia boleh dibilang berbeda 180 derajat dengan para Afro-Amerika. Sudah sejak lama, orang Tionghoa di Indonesia menghadapi krisis identitas. Di satu sisi mereka adalah warganegara Indonesia. Di sisi lain, ada banyak hal yang membuat mereka tak merasa menjadi bagian dari Indonesia. Untuk menyebut diri sebagai orang Indonesia terkadang terasa sulit. Bukan karena bentuk mata dan warna kulit kami berbeda. Tapi karena alasan-alasan lain yang akan dikemukakan di bawah ini.
Rupa-rupa kebijakan diskriminatif yang pernah diterapkan republik ini pada kaum Tionghoa Indonesia telah menggoreskan luka yang dalam. Belum lagi banyakknya kekerasan masif terhadap kaum Tionghoa yang terjadi di masa lalu, tahun 1946 di Tanggerang, tahun 1963 di Bandung, Sukabumi, tahun 1965 (pasca G30S), tahun 1967 di Kalimantan Barat, dan tahun 1998 di Jakarta – kekerasan-kekerasan ‘kecil’ tentu tak perlu dipertanyakan keberadaannya. Tak lupa juga kebijakan rezim Orde Baru yang melarang ekspresi bahasa dan budaya Tionghoa memberi pukulan besar bagi kaum Tionghoa Indonesia.
Daftar panjang kejadian-kejadian yang memilukan hati di atas melahirkan suatu generasi Tionghoa Indonesia yang pahit terhadap bangsa ini. Jangan heran kalau mereka acuh terhadap permasalahan bangsa. Bagi mereka, buat apa merepotkan diri dengan Indonesia. Bagi mereka cukuplah usaha tetap berjalan, kekayaan terkumpul sehingga keluarga bisa hidup aman dan bahagia.
Generasi ini kemudian melahirkan generasi kami – yang menghabiskan waktu hidup lebih lama di era reformasi daripada di era orde baru. Sedari kecil mereka mengingatkan kami agar berhati-hati dalam bertindak. “Jangan terlalu menonjol supaya nanti tidak dimusuhi,” nasihat ibu saya ketika saya memutuskan kuliah di Universitas Negeri. “Orang sini tidak suka sama kita,” ujar Ayah di pengungsian pada saya ketika kerusuhan tahun 1998 meletus.
Wai, sakit hati pun diwariskan pada anak-anak kecil yang polos. Alhasil, kami pun berpikir sama tentang Indonesia. Ah, bangsa ini bukan urusan kita, toh dari dulu mereka tak suka sama kita. Maka sejak kecil kami pun tumbuh bak orang-orang asing di tanah air sendiri. Hanya hafal lagu-lagu nasional wajib demi bisa menyanyi di upacara hari Senin, sekedar membeo guru melafalkan Pancasila supaya tak dimarahi, sekedar belajar Sejarah, IPS dan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) supaya nilai bagus dan bisa naik kelas.
Tak terhitung berapa kali orang mengira kami peserta dari Hong Kong / RRC. Juga tak terhitung berapa kali orang berusaha berbicara bahasa mandarin dengan kami – dan kami berdua hanya melongo karena tak mengerti. Kejadian-kejadian selama kami mengikuti sebuah program pertukaran pelajar di Eropa menyadarkan kami bahwa kami adalah orang Indonesia, se-Indonesia-Indonesia-nya!
Seorang dosen pernah berkisah, orang kulit hitam di Amerika biasa menyebut dirinya dengan cara begini, “Kami Afro, Afro Amerika (Afro-Americans), kami orang Amerika.” Mereka tak mau disamakan dengan orang Afrika di benua Afrika, maka mereka tambahkan kata Amerika di belakang kata Afro, menunjukkan dirinya sebagai bagian dari Amerika. Secara tak langsung mereka berkata, “Kulit kami hitam, rambut kami keriting seperti kawan-kawan kami di Afrika tapi hati kami Amerika.”
Kondisi orang Tionghoa di Indonesia boleh dibilang berbeda 180 derajat dengan para Afro-Amerika. Sudah sejak lama, orang Tionghoa di Indonesia menghadapi krisis identitas. Di satu sisi mereka adalah warganegara Indonesia. Di sisi lain, ada banyak hal yang membuat mereka tak merasa menjadi bagian dari Indonesia. Untuk menyebut diri sebagai orang Indonesia terkadang terasa sulit. Bukan karena bentuk mata dan warna kulit kami berbeda. Tapi karena alasan-alasan lain yang akan dikemukakan di bawah ini.
Rupa-rupa kebijakan diskriminatif yang pernah diterapkan republik ini pada kaum Tionghoa Indonesia telah menggoreskan luka yang dalam. Belum lagi banyakknya kekerasan masif terhadap kaum Tionghoa yang terjadi di masa lalu, tahun 1946 di Tanggerang, tahun 1963 di Bandung, Sukabumi, tahun 1965 (pasca G30S), tahun 1967 di Kalimantan Barat, dan tahun 1998 di Jakarta – kekerasan-kekerasan ‘kecil’ tentu tak perlu dipertanyakan keberadaannya. Tak lupa juga kebijakan rezim Orde Baru yang melarang ekspresi bahasa dan budaya Tionghoa memberi pukulan besar bagi kaum Tionghoa Indonesia.
Daftar panjang kejadian-kejadian yang memilukan hati di atas melahirkan suatu generasi Tionghoa Indonesia yang pahit terhadap bangsa ini. Jangan heran kalau mereka acuh terhadap permasalahan bangsa. Bagi mereka, buat apa merepotkan diri dengan Indonesia. Bagi mereka cukuplah usaha tetap berjalan, kekayaan terkumpul sehingga keluarga bisa hidup aman dan bahagia.
Generasi ini kemudian melahirkan generasi kami – yang menghabiskan waktu hidup lebih lama di era reformasi daripada di era orde baru. Sedari kecil mereka mengingatkan kami agar berhati-hati dalam bertindak. “Jangan terlalu menonjol supaya nanti tidak dimusuhi,” nasihat ibu saya ketika saya memutuskan kuliah di Universitas Negeri. “Orang sini tidak suka sama kita,” ujar Ayah di pengungsian pada saya ketika kerusuhan tahun 1998 meletus.
Wai, sakit hati pun diwariskan pada anak-anak kecil yang polos. Alhasil, kami pun berpikir sama tentang Indonesia. Ah, bangsa ini bukan urusan kita, toh dari dulu mereka tak suka sama kita. Maka sejak kecil kami pun tumbuh bak orang-orang asing di tanah air sendiri. Hanya hafal lagu-lagu nasional wajib demi bisa menyanyi di upacara hari Senin, sekedar membeo guru melafalkan Pancasila supaya tak dimarahi, sekedar belajar Sejarah, IPS dan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) supaya nilai bagus dan bisa naik kelas.
Silakan kunjungi juga blog Viona Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar