Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
Dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung yang 2,5 juta, anggota FPI itu tidak sampai 1 persennya. Sayang media kita terlalu banyak memberi ruang pada mereka. Sehingga, di televisi dan koran, keberadaan mereka seolah banyak. Aksi kekerasan dan suaranya pun dianggap sebagai satu-satunya yang mewakili umat Islam.
Suara-suara yang alergi perbedaan ramai pula di dunia maya. Tengoklah situs seperti hidayatullah.com, voa-islam.com dan arrahmah.com. Media-media ini berisi tulisan yang membisikkan kebencian, permusuhan juga kekerasan. Lewat jurnalisme dasar saja, yakni objektif, netral dan klarifikasi, mereka tidak lulus uji.
Media massa besar pun ikut ramai dengan perkelahian. Sesak dengan berita yang bikin gerah. Ada demo FPI yang menuntut pembubaran Ahmadiyah, diberitakan. Ada acara Hizbut Tahrir yang menentang demokrasi, eh, malah diberi siaran khusus. Apa yang ada di pikiran pemirsa dan pembaca yang menyimak berita itu?
Padahal, menurut Endy Bayuni, mantan pemimpin redaksi Jakarta Post, demo anti perbedaan tidak perlu diliput. Sebab mereka hanya memanfaatkan media untuk mendapat popularitas. Beritakan mereka hanya jika melanggar hukum. Sekalian kawal proses hukumnya hingga vonis, supaya jera.
Sejak kita tahu bahwa media begitu efektif menyampaikan ide, di sinilah kita sadar bahwa para pecinta damai kalah gesit. Media massa yang berperspektif damai masih bisa dihitung jari, misalnya satuharapan.com. Situs yang promosikan keberagaman pun tak lebih dari website Setara Institute, The Wahid Institute dan CRCS yang semuanya ditulis terlampau akademik. Aksi damai untuk keberagaman pun tak pernah jadi headline koran.
Bersama sudah kita tahu bahwa suara permusuhan itu masif, dan suara perdamaian itu samar. Demikianlah yang terjadi saat ini. Selanjutnya, saya tak mau hanya menampilkan masalah dan sudah. Saya ingin mengajak semua memulai, sekecil apapun, sebuah langkah.
Saya percaya nurani masih memegang kendali. Saya yakin masih banyak orang yang ingin harmoni. Media massa besar hanya terlalu malas untuk meliputnya, sebab itu, mari kita beri mereka kesempatan bicara. Mari kumpulkan suara-suara persahabatan, kebersamaan dan perdamaian. Terjemahkan pesan itu ke bahasa yang paling gampang dan gamblang. Bahwa alih-alih menciptakan permusuhan, perdamaian itu lebih mudah dan menyenangkan. Sebarkan ke semua orang yang selama ini takut dan diam. Sekali lagi, perdamaian harus vokal. ***
Suara-suara yang alergi perbedaan ramai pula di dunia maya. Tengoklah situs seperti hidayatullah.com, voa-islam.com dan arrahmah.com. Media-media ini berisi tulisan yang membisikkan kebencian, permusuhan juga kekerasan. Lewat jurnalisme dasar saja, yakni objektif, netral dan klarifikasi, mereka tidak lulus uji.
Media massa besar pun ikut ramai dengan perkelahian. Sesak dengan berita yang bikin gerah. Ada demo FPI yang menuntut pembubaran Ahmadiyah, diberitakan. Ada acara Hizbut Tahrir yang menentang demokrasi, eh, malah diberi siaran khusus. Apa yang ada di pikiran pemirsa dan pembaca yang menyimak berita itu?
Padahal, menurut Endy Bayuni, mantan pemimpin redaksi Jakarta Post, demo anti perbedaan tidak perlu diliput. Sebab mereka hanya memanfaatkan media untuk mendapat popularitas. Beritakan mereka hanya jika melanggar hukum. Sekalian kawal proses hukumnya hingga vonis, supaya jera.
Sejak kita tahu bahwa media begitu efektif menyampaikan ide, di sinilah kita sadar bahwa para pecinta damai kalah gesit. Media massa yang berperspektif damai masih bisa dihitung jari, misalnya satuharapan.com. Situs yang promosikan keberagaman pun tak lebih dari website Setara Institute, The Wahid Institute dan CRCS yang semuanya ditulis terlampau akademik. Aksi damai untuk keberagaman pun tak pernah jadi headline koran.
Bersama sudah kita tahu bahwa suara permusuhan itu masif, dan suara perdamaian itu samar. Demikianlah yang terjadi saat ini. Selanjutnya, saya tak mau hanya menampilkan masalah dan sudah. Saya ingin mengajak semua memulai, sekecil apapun, sebuah langkah.
Saya percaya nurani masih memegang kendali. Saya yakin masih banyak orang yang ingin harmoni. Media massa besar hanya terlalu malas untuk meliputnya, sebab itu, mari kita beri mereka kesempatan bicara. Mari kumpulkan suara-suara persahabatan, kebersamaan dan perdamaian. Terjemahkan pesan itu ke bahasa yang paling gampang dan gamblang. Bahwa alih-alih menciptakan permusuhan, perdamaian itu lebih mudah dan menyenangkan. Sebarkan ke semua orang yang selama ini takut dan diam. Sekali lagi, perdamaian harus vokal. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar