Membangkitkan Tionghoa Indonesia (3)

Oleh Viona Wijaya / @vionawijaya

(Baca dari Bagian 1 dan Bagian 2)

Teman-teman Tionghoa-Indonesia di Perayaan Peh Cun 2013, di Lembang, Bandung

Saya tak menafikkan segala fakta yang dijabarkan pada permulaan tulisan ini. Adalah benar bahwa apa yang terjadi di masa lalu sangat meyakitkan. Saya, yang tidak mengalami peristiwa-peristiwa itu secara langsung memang tak akan memahami sakitnya, pedihnya luka yang tertorehkan di dalam hati. Saya sadar bahwa tak mudah bagi mereka untuk mengampuni republik ini apalagi memberi diri bagi kemajuannya (meski ada juga tokoh-tokoh yang berhasil melakukannya). Maka curahan hati saya ini ditujukan bagi generasi saya, anak muda Tionghoa yang mengecap rangkulan hangat era reformasi.

Bagi saya, tak ada alasan bagi anak muda Tionghoa Indonesia untuk menarik diri dari tanggungjawab membangun negeri. Benar bahwa pada kenyataannya tindakan-tindakan diskriminatif masih ada, label negatif terhadap kaum Tionghoa Indonesia juga masih bergaung kuat. Namun ini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi kita untuk acuh terhadap bangsa ini.

Lahir di Indonesia, besar di Indonesia. Hasil buminya kita nikmati, semarak alamnya kita cintai. Kita alami masa-masa baik maupun masa-masa sukar di atas tanah ini. Kita mengenal kebaikan-kebaikan negeri maupun keburukan-keburukannya. Kitalah yang mengalami semrawutnya permasalahan negeri, masakan orang lain yang bertanggungjawab untuk menyelesaikannya? Tak masuk akal bukan?

Maka memilih untuk mundur adalah sebuah kekonyolan dan kebodohan. Memilih hidup aman dengan tinggal di luar negeri adalah sebuah tindakan yang memalukan. Konon orang Tionghoa dikenal pekerja keras, ulet, tekun, tak akan berhenti sebelum berhasil. Bolehkah sifat kebanggaan kita ini tak hanya kita terapkan dalam hal mengumpulkan kekayaan tapi juga dalam hal berjuang bagi negeri?

Bagi saya, tembok pertama yang harus diruntuhkan anak muda Tionghoa Indonesia saat ini adalah cangkang-cangkang ketakutan dan keacuhan yang seringkali mewujud dalam perilaku mendiskriminasi diri sendiri. Seperti telah dipaparkan di atas, tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam melihat bangsa ini terseok-seok dirundung rupa-rupa masalah. Orang Tionghoa Indonesia memiliki tanggungjawab membangun bangsa bersama-sama dengan orang Batak, orang Sunda, orang Jawa, orang Dayak, orang Maluku, orang Papua, dan orang-orang dari suku bangsa lainnya.

Setelah berhasil meruntuhkan dinding pertama, barulah kita bisa meruntuhkan dinding berikutnya. Anak muda Tionghoa harus bergerak untuk mendobrak setiap label dan stigma yang dilekatkan terhadap dirinya sejak lama. Sebagai akibat dari rupa-rupa kebijakan yang disebutkan tadi misalnya, kaum Tionghoa cenderung bergaul dengan sesamanya saja, eksklusif dan sombong. Kaum Tionghoa dianggap hanya memikirkan bagaimana menambah harta kekayaannya namun abai terhadap permasalahan sosial. Tanpa adanya insan-insan yang mau keluar dari zona nyamannya, label-label itu akan tetap terlegitimasi sebagai kebenaran. Orang-orang di luar kaum Tionghoa Indonesia akan tetap tinggal dalam asumsi-asumsinya yang seringkali keliru. Pandangan yang keliru inilah yang berpotensi sebagai benih perpecahan di masa yang akan datang. Pembiaran terhadapanya bukanlah solusi. Asumsi macam apa yang saya maksud? Mari saya ceritakan sebuah kisah

(Bersambung ke Bagian 4)

Silakan kunjungi juga blog Viona Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com