Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
“Tujuh-lima, tujuh-lima,” ujar sang supir. Satu per satu naik hingga genap 14 dan penuh. Tengoklah para penumpang yang duduk di kanan kirimu. Berapa yang berkalung salib, berkerudung, bermata sipit atau berkulit hitam? Kadang kita tak sadar bahwa penumpang angkot adalah miniatur Indonesia.
Lihatlah mereka semua berbagi sempit yang sama. Bila ada yang membawa barang bawaan lebih, penumpang lain bersimpati dengan bergeser, dan membantu keluarkan barang bila empunya turun nanti. Semuanya, tanpa perlu kontrak apa-apa, sepakat saling tolong. Juga, tak perlu ada yang ditolak hanya karena dia menyembah Tuhan yang beda, atau tak menyembah Tuhan sama sekali.
Tujuan penumpang pun berbeda-beda. Ada yang menuju BIP, Braga atau stasiun. Mereka bayar sesuai jarak tempuh, juga sesuai kemampuan. Di dalam perjalanan, pasti ada persinggungan kaki. Namun itu bukan masalah karena semua sepakat damai. Tak mau bikin ribut yang mengganggu perjalanan.
Sepanjang perjalanan dari Gede Bage ke Stasiun pula, kita disuguhkan berbagai kejadian. Saat ada lampu merah, semua menunggu. Saat sang supir rem mendadak, semua ikut bergoyang. Saat terik begitu hebat, semua berkeringat. Tak ada yang diperlakukan berbeda. Semua tetap jadi diri sendiri, diterima sebagai dirinya.
Begitulah seharusnya Indonesia ini, memakai logika angkot. Saat semua orang apa pun latar belakangnya diterima sebagai penumpang. Di saat semuanya berbagi ruang dan gerah dalam kendaraan yang sama. Tak ada yang perlu dikucilkan atau diistimewakan. Begitu pulalah sepatutnya sang presiden, eh supir, melayani seluruh penumpangnya, siapa pun, dari manapun, ke tujuannya masing-masing.
Ah saya dapat ide, barangkali untuk belajar mengurus negara warna warni ini, presiden kita perlu naik angkot sekali saja?
*Terinspirasi saat di angkot
0
“Tujuh-lima, tujuh-lima,” ujar sang supir. Satu per satu naik hingga genap 14 dan penuh. Tengoklah para penumpang yang duduk di kanan kirimu. Berapa yang berkalung salib, berkerudung, bermata sipit atau berkulit hitam? Kadang kita tak sadar bahwa penumpang angkot adalah miniatur Indonesia.
Lihatlah mereka semua berbagi sempit yang sama. Bila ada yang membawa barang bawaan lebih, penumpang lain bersimpati dengan bergeser, dan membantu keluarkan barang bila empunya turun nanti. Semuanya, tanpa perlu kontrak apa-apa, sepakat saling tolong. Juga, tak perlu ada yang ditolak hanya karena dia menyembah Tuhan yang beda, atau tak menyembah Tuhan sama sekali.
Tujuan penumpang pun berbeda-beda. Ada yang menuju BIP, Braga atau stasiun. Mereka bayar sesuai jarak tempuh, juga sesuai kemampuan. Di dalam perjalanan, pasti ada persinggungan kaki. Namun itu bukan masalah karena semua sepakat damai. Tak mau bikin ribut yang mengganggu perjalanan.
Sepanjang perjalanan dari Gede Bage ke Stasiun pula, kita disuguhkan berbagai kejadian. Saat ada lampu merah, semua menunggu. Saat sang supir rem mendadak, semua ikut bergoyang. Saat terik begitu hebat, semua berkeringat. Tak ada yang diperlakukan berbeda. Semua tetap jadi diri sendiri, diterima sebagai dirinya.
Begitulah seharusnya Indonesia ini, memakai logika angkot. Saat semua orang apa pun latar belakangnya diterima sebagai penumpang. Di saat semuanya berbagi ruang dan gerah dalam kendaraan yang sama. Tak ada yang perlu dikucilkan atau diistimewakan. Begitu pulalah sepatutnya sang presiden, eh supir, melayani seluruh penumpangnya, siapa pun, dari manapun, ke tujuannya masing-masing.
Ah saya dapat ide, barangkali untuk belajar mengurus negara warna warni ini, presiden kita perlu naik angkot sekali saja?
*Terinspirasi saat di angkot