Makan Sendiri Agamamu

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal



Hujan di sekitar Bromo sudah selesai. Langit berbintang terpampang. Badanku masih saja gemetaran.

Aku mengakui. Ikut ke gunung setelah begadang dua hari memang bukan ide bagus. Alih-alih mengambil banyak foto, aku malah meringkuk sendirian di dalam tenda. Tiga jam barusan aku tidur yang kedua. Kini aku sempatkan lihat api unggun yang tadi padam, kini sudah nyala lagi. Dua temanku dan satu orang lain sudah kembali dari berburu foto rupanya.

Ingin sekali aku bergabung bersama mereka. Namun badan ini tak bisa menampung keinginan. Dalam sendiri ini aku eratkan lagi syal di leher. Lalu memakai satu jaket tambahan. Meminum obat untuk kedua kali. Menghela napas. Terakhir, mengelap keringat yang sudah bercucuran. Aku cuma bengong melihat mereka yang bernyanyi riang diiringi gitar.

Seketika angin gunung menusuk sampai tulang. Ini mirip memegang es batu selama sepuluh detik. Hanya saja dinginnya di balik kulit. Linu dan ngilu kompak membuat hatiku meringis lagi. Baiklah, ini sudah waktunya makan. Aku harus minum obat lagi. Tapi ini tak semudah yang kuceritakan. Badanku semua kuyup oleh keringat dan akan tersentuh angin bila aku bergerak sedikit saja. Boro-boro pergi mengambil nasi, untuk berpikir jernih pun susah payah. Apa boleh buat, aku tunggu kawanku saja. Dalam hati aku memanggil-manggil lewat telepati.

Benar. Satu orang berdiri. Tapi itu bukan temanku. Dia adalah pendaki yang berpapasan kemarin pagi dan setuju bergabung. Dua temanku tetap asyik bergitar. Dari tendaku, aku lihat orang tadi masuk ke tendanya, kasak-kusuk satu menit dan keluar. Dia membawa nasi dua bungkus. Menuju tendaku.

"Kamu udah makan lagi?" Lelaki itu bertanya begitu masuk ke tendaku.

Aku diam. Memikirkan yang tidak-tidak dari orang ini. Ada apa dia berbaik hati menawariku makan? Kami kan baru kenal belum sampai 48 jam. Jangan-jangan ada agenda terselubung. Jangan-jangan dia ingin jahil. Jangan-jangan ini beracun. Jangan-jangan ini jangan-jangan. Tuhan, lindungi aku.

"Tapi..." kataku dengan hati-hati. "Emang agama kamu apa?"

Dia yang membuka bungkusannya berhenti. Menoleh yang heran. "Islam, kenapa?"

Ini dia. Tebakanku nyaris saja benar. Aku ingat betul bagaimana Islamisasi yang kedua orangtuaku bicarakan. Jangan-jangan dia antek Negara Islam Indonesia. Selanjutnya dia akan mencatat nomor ponselku untuk dia ajak ke pengajian. Atau ke masjid. Atau ke pesantren. Aku akan diteror sampai jadi mualaf. Pasti begitu pasti begitu pasti begitu.

Aku menelan ludah.

Dia membuka karet bungkus pertama dan memberinya sendok.

"Kamu.." terawangnya sambil melihat seantero isi tenda. Dia berhenti saat melihat kalung salibku "Kristen?"

Aku mengangguk pelan. Dia geleng-geleng.

Dia hanya menaruh nasi tadi di atas pangkuanku.
Ini dia. Biar kutebak, selanjutnya dia pasti memintaku mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak, terimakasih. Baiknya aku kelaparan saja agar bertemu Bapa di Surga. Keimananku tidak semurah nasi bungkus. Pergilah kau. Makan sendiri agamamu!

Seketika lamunanku terputus saat dia bicara. "Saya Islam, saya makan Islam saya. Kamu Kristen, kamu makan Kristen kamu."

Aku bengong.

"Ini ada nasi, kita makan sama-sama." Kata dia sambil tersenyum simpul.

Sebelum suap pertama, aku bertanya "Siapa namamu?"
______________________________

*Diadaptasi dari orasi budaya Aat Soeratin di Bandung Lautan damai, 16 November 2012 di Gedung Indonesia Menggugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com