Membangkitkan Tionghoa Indonesia (4)

Oleh Viona Wijaya / @vionawijaya

(Baca dari  Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3)

Teman-teman Tionghoa-Indonesia di Perayaan Peh Cun 2013, di Lembang, Bandung

Bulan Januari hingga Februari 2011 saya mengikuti program Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) di mana para mahasiswa hidup bersama dengan masyarakat desa dan mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan desa tersebut. Saat itu, saya mendapat Desa Sukamandi di Subang sebagai tempat ‘bertugas’. Di sana saya hidup dengan ke-22 rekan mahasiswa lain, dan hanya sayalah yang Tionghoa.

Di sana, sama seperti rekan lainnya, saya juga mendapat tugas menyapu dan mengepel rumah kontrakan, mencuci piring, dan tentu mencuci baju sendiri. Di sinilah terjadi sesuatu kejadian menarik. Seorang kawan yang sama-sama berasal dari Fakultas Hukum – di mana ia sudah berteman dengan saya cukup lama – tercengang melihat saya melakukan ‘tugas-tugas rumah tangga’ itu tanpa menunjukkan rasa enggan ataupun jijik.

Dari mulutnya, kata-kata ini meluncur, “Gila ya, saya kira kamu gak akan mau ngepel dan nyuci.” Saya tanya mengapa dia berpikir demikian, “Karena kamu kan orang Tionghoa!” Ia tertawa lepas, “Dari dulu saya berpikir kalian ini kan orang-orang kaya, mana bisa kerjain yang kayak beginian.”

Saya tercengang. Ah, begitu rupanya pikir mereka selama ini! Dan asumsi-asumsi keliru macam itu baru runtuh, luluh lantak dengan tanah, karena seorang perempuan Tionghoa yang mengepel lantai di depan matanya sendiri? Celaka benar, pikir saya. Di luar sana berapa banyak pikiran keliru tentang orang Tionghoa yang tetap ada karena tak ada orang-orang Tionghoa yang bertindak nyata di depan mereka dan menunjukkan itu tidak benar?

Demikian pula kawan-kawan di kampus seringkali berdecak ketika mendengar saya bicara masalah kebangsaan. Sambil tersenyum heran mereka suka berkata, “Baru kali ini saya ketemu Tionghoa seperti kamu.”

Setiap kali saya dengar kata-kata itu, hati saya gemas. Wai, satu hari nanti, mudah-mudahan kalimat-kalimat macam itu tak lagi terdengar, karena orang Tionghoa Indonesia memutuskan untuk ikut berjuang bagi bangsanya. Dalam hati saya ada keyakinan bahwa di luar sana juga ada anak-anak muda seperti saya, yang hatinya bergelora untuk membangun Ibu Pertiwi, hanya kami belum bertemu saja. Jumlah kami mungkin sekarang masih sedikit, tapi saya punya mimpi – yang akan saya kerjakan sampai menjadi kenyataan – satu hari nanti tak lagi demikian.

Anak-anak muda Tionghoa harus mulai mengubah gaya hidupnya. Kita harus mulai celik dengan permasalahan bangsa, tidak lagi menjadi ‘asing’ di tanah air sendiri. Semuanya dimulai dari keputusan untuk mau mencintai negeri ini, untuk mau memikul tanggungjawab membangun bangsa. Dari keputusan lahirlah tekad. Tekad yang kuat akan membuat kita tak berhenti sekalipun rintangan dan tantangan menghadang di depan. Bangun bangsa dengan apa yang ada padamu. Ketajaman berpikir, kejituan menyelesaikan permasalahan, keuletan bekerja, kepiawaian bernegosiasi dan mengelola keuangan, biar semua itu jadi persembahan yang harum untuk bangsa Indonesia!

Sama seperti John Lie, Yap Thiam Hien, Soe Hok Gie, mudah-mudahan nama kita mengharum ke seantero negeri, meninggalkan jejak-jejak keringat, usaha, pemikiran bagi kemajuan dan kebaikan tanah air Indonesia. Dan biar dari generasi kita, lahir generasi kaum Tionghoa yang mengasihi Indonesia, yang tak pernah lagi mempertanyakan apakah ia Indonesia atau bukan.

Mata kami sipit, kulit kami kuning, tangan kami bekerja untuk Indonesia, kaki kami melangkah mantap ke tempat kami harus bekerja bagi Ibu Pertiwi. Kami Tionghoa, Tionghoa Indonesia!
Silakan kunjungi juga blog Viona Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com