Memisahkan Islam dan Tradisi Ahlulbait adalah Ahistoris

Oleh: Neng Nuraini / Instagram @ainy313*


Ilustrasi geometri Islami (Sumber: mathrecreation)

Mungkin sebagian kalian mengira bahwa Muharram adalah bulan yang menandai tahun baru, sehingga sebagian dari kalian berbahagia merayakannya. Namun siapa sangka? Ternyata di bulan Muharram ini ada sebuah peristiwa agung yang berusaha disembunyikan oleh musuh-musuh Islam. Jika peristiwa agung ini diketahui oleh umat Islam di seluruh dunia, maka akan menjadi kekuatan besar dalam menghadapi musuh-musuh yang ingin merongrong persatuan.

Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) NU Agus Sunyoto dan perwakilan Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi menyatakan pada bulan Muharram ada peristiwa agung yang jadi memori kolektif masyarakat di berbagai tempat di Nusantara. Hal itu disampaikan ketika keduanya berbicara dalam sebuah seminar yang berjudul “Asyura dalam Tradisi” di Islamic Cultural Center, Minggu (16/09/18).

Ingatan Kolektif

Tari Saman (Aceh), Tabuik (Kota Pariaman), dan Tabut (Bengkulu) adalah beberapa tradisi yang merepresentasikan peristiwa agung itu. Meskipun telah menjadi memori kolektif yang terus menerus dilestarikan dalam sebuah tradisi, kata Agus Sunyoto, ketika masyarakat ditanya "ada peringatan apa?" masyarakat memang menjawab "peristiwa Hasan dan Husen". Namun ketika ditanya apa yang terjadi pada Hasan dan Husen, mereka menjawab tidak tahu. Sebab yang penting mereka sudah menjalankan tradisi yang berasal dari nenek moyang mereka.

Menurut Agus Sunyoto yang juga budayawan ini, orang-orang yang selalu ribut ingin membubarkan peringatan Asyura yang diperingati muslim Syi’ah, adalah orang-orang yang logikanya belum sampai pada fakta sejarah. Mereka tidak mengetahui bahwa di Nusantara ini banyak warisan muslim Syi’ah yang meninggalkan banyak jejak.

Jejak ini banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat di dalamnya, hatta banyak di antara masyarakat yang menamai anaknya dengan nama-nama Ahlulbait: seperti Ali, Hasan, Husen, Fatimah sebagai bukti kecintaan dan penghormatan mereka kepada Ahlulbait Nabi saw. Maka tak heran ketika Gus Dur berbicara bahwa NU itu Syi’ah minus imamah, karena memang dari segi aqidah dan tradisi antara NU dan Syi’ah memiliki banyak kesamaan, kecuali dalam hal imamah.

Warisan Husen

Sementara menurut Gus Mis yang juga bergiat di The Middle Institute, jika tidak ada pesantren di Indonesia maka Wahabi akan merajalela. Gus Mis mengatakan, betapa dekatnya tradisi pesantren dengan Ahlulbait. Di pesantren selalu diajarkan untuk mengirimkan alfatihah kepada baginda Rasulullah dan seluruh keturunannya, Ahlulbaitnya. Maka dalam tahlil, selalu ada satu ayat yang dibaca yaitu surat al-Ahzab ayat 33: Innamaa yuriidullah liyudzhiba ‘ankumu al-rijsa ahlalbait wa yuthahhirukum tathhiiraa.

Di kampung-kampung yang ada di Madura, kata Gus Mis, pasti ada ratusan orang yang namanya Hasan, Husen, Fatimah dibanding satu orang yang bernama Abdul Wahab atau Muawiyah. Sebab masyarakat Indonesia punya kesadaran historis yang sangat luar biasa terhadap Islam.

Bagaimanapun juga, memisahkan Islam dengan tradisi Ahlulbait adalah ahistoris. Di pesantren diajarkan bahwa Karbala itu merupakan sebuah tragedi, kezhaliman yang begitu keji yang tidak boleh kita lupakan dan harus kita ulang-ulang untuk mengingatnya. Kita harus mengakui, jika tragedi ini sudah mulai disembunyikan, sehingga terjadi dekontruksi dalam sejarah yang agung ini.

Kita juga sering menemui bahwa dalam sejarah kemerdekaan, banyak tokoh-tokoh yang terinspirasi oleh semangat Imam Husen dalam melawan kezhaliman. Pesantren itu berperan besar dalam memberikan pemahaman sejarah yang komprehensif, termasuk tragedi Karbala. Maka, seharusnya orang-orang Sunni atau NU juga memperingati peristiwa Asyura. Hal ini supaya kita belajar dari sejarah itu bahwa jangan sampai kebenaran dikalahkan oleh kebathilan.

Maka seharusnya, tambah Gus Mis, kalangan NU bisa menjelaskan peristiwa Asyura pada masyarakat, sehingga kita bisa menggali nilai-nilai yang diwariskan Imam Husen kepada kita. Dulu, ketika Gus Mis kuliah di al-Azhar Mesir, Asyura itu diperingati begitu meriah di Mesir. Sebab konon ada Masjid Imam Husen dan sebuah lorong yang sempat menjadi tempat persinggahan kepala Imam Husen disana. Maka, sepulang kuliah, Gus Mis dan teman-teman selalu berziarah ke sana, hampir setiap hari.

Pesan untuk generasi milenial 

Dalam penutupnya, Gus Mis menantang kepada kita semua terutama generasi milenial untuk mulai membumikan memori kolektif yang sempat terlupakan ini. Hal ini bisa dilakukan dengan menyebarkan nilai-nilai Asyura dan menggunakan #Asyura dan #ImamHusen dalam dunia Twitter atau sosial media lainnya. Hal ini guna mencegah kelompok Wahabi merongrong persatuan antara Sunni dan Syi’ah di bumi Nusantara ini.

Syekh al-Azhar, Ahmad ath-Thayyib mengatakan bahwa Sunni dan Syi’ah itu ibarat dua sayap yang tidak bisa dipisahkan. Ketika sayap yang satu tidak ada, maka ia tidak bisa terbang. Maka untuk bangkit dan terbang, kedua sayap ini harus saling bekerjasama. Saya kira, salah satu bentuk kerjasama itu adalah dengan kita memperingati Asyura.

“Jika kepada cucu Gus Dur saja saya sering cium tangan, maka kenapa saya tidak cium tangan kepada cucu Rasulullah saw?” lanjut Gus Mis. Gus Mis mengajak kita semua untuk menyebarkan ungkapan-ungkapan bijak Imam Husen yang sangat menginspirasi semangat beragama kita.

Gus Mis juga mengajak kita semua untuk mengungkapkan pada publik bahwa peristiwa Asyura ini adalah peristiwa kebenaran melawan kebathilan, dimana kebenaranlah yang akan selalu mengalahkan kebathilan.


Sya’ir Pangeran Diponegoro yang terinspirasi oleh Imam Husen:

Wahai kalian para Ksatria Mataram
Negeri Jawa ada pada pemahaman hati kalian
Pada kalian tersimpan  watak dan perilaku Sayyidina Ali
Kebijaksanaan Sayyidina Hasan
Dan keberanian Sayyidina Husen
Perhatikanlah pada waktu Suro
Belanda akan kalian sirnakan dari tanah Jawa
Karena terdorong oleh kekuatan para Ksatria Muhammad
Yakni Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, dan Sayyidina Husen
Berperanglah beriring takbir dan shalawat
Jika kalian gugur dalam berperang
Kalian akan gugur seperti gugurnya sahabat-sahabat Husen di Nainawa.

(Sumber: Babad R. Ng. Yosodipuro II)

Puisi Imam Syafi’i Untuk Imam Husen
Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana
Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing
Wahai siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada al-Husain
Yang dibantai meski tak berdosa
Bajunya seakan-akan dicelup basah dengan warna merah
Kini hatta pedang pun meratap dan tombak menjerit
Kuda yang kemarin meringkik kini meratap
Bumi bergempa karena Keluarga Muhammad
Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscahya akan meleleh
Benda-benda langit yang rontok, bintang-bintang gemetar
Wahai cadur-cadur yang dirobek, demikianlah juga hati
Orang yang bershalawat untuk dia yang diutus dari kalangan Bani Hasyim
Dia juga memerangi anaknya
Duhai alangkah anehnya!
Jika aku dianggap berdosa karena kecintaanku kepada keluarga Muhammad
Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu

(Sumber: Kitab Diwan al-Imam asy-syafi’i ra, ath-Thab’ah 
Daarul Kitab al-‘Arabiyyi, Beirut-Lebanon, Sya’ir ke 15, hal. 48)


*Penulis adalah mahasiswi Jurusan Perbandingan Agama UIN Bandung

Editor : Rio Tuasikal / Instagram @riotuasikal
0

Pengalaman Belajar Beragama Secara Lebih Relaks (2)


Oleh: Neng Nuraini / Instagram @ainy313


Lalu apa yang terjadi jika kita tidak relaks dalam menyikapi perbedaan keyakinan itu? (inilah poin-poin yang mesti kita perhatikan):

1. Merusak silaturahmi

2. Merusak nama baik agama

3. Stres

4. Kehilangan rasa humor

5. Tidak bisa melakukan pekerjaan-perkerjaan yang lebih substansial/penting

6. Tidak bisa beragama secara proporsional

7. Tidak mampu mengenal mana yang nyata dan mana yang tidak

8. Terjadi konflik 


Peserta mengamati tiga prinsip Relaksasi Beragama dalam pelatihan di Bandung Creative Hub,
Minggu (9/9/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal)


Ada tiga prinsip Relaksasi Beragama yang berhasil dirumuskan, yaitu:

1. Agama hanyalah jalan, bukan tujuan
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa agama adalah tujuan, padahal tujuan manusia sebenarnya adalah Tuhan. Kita mau menuju Tuhan, tapi kita malah meributkan jalannya. Kita meributkan jalan ini baik atau tidak, hingga akhirnya kita malah tidak sampai pada tujuan kita.

Kita berencana mau pergi ke kota tertentu, lalu kita sibuk diskusi masalah baju apa yang harus kita pakai, sepatu apa yang cocok kita pakai.  Kita malah akan menghabiskan waktu dalam obrolan itu, hingga akhirnya kita tidak jadi pergi ke tujuan. Jika kita hanya sibuk memikirkan jalan daripada tujuan, akankah kita sampai? Tidak. Malah kita stagnan dalam beragama.

Kenapa kita sering meributkan hal-hal yang tidak substansial? Selama kita yakin bahwa jalan yang kita tempuh akan sampai pada Tuhan, mengapa kita harus mempermasalahkannya?

2. Hakikat manusia adalah kesamaan
Sesungguhnya manusia itu diciptakan dari yang satu, ketika Tuhan meniupkan ruh-Nya kepada manusia. Perbedaan itu ada tapi bukan untuk menjadi sesuatu yang ditanamkan terus. Perbedaan jika dibicarakan terus akan semakin runcing. Jika kita fokus pada perbedaan, tanpa memikirkan prinsip kesamaan ini, hubungan kita dengan sesama manusia akan menjadi sulit.

Kita seharusnya berangkat dari persamaan. Kalaupun berani berangkat dari perbedaan, kita juga harus berani mencari titik temu dari perbedaan yang sedang kita bicarakan.

3. Mengutamakan bersikap welas asih ketimbang menjadi benar 
Ingin benar adalah sikap alami manusia. Kita cenderung takut salah sehingga merasa harus benar. Dalam neurosains, bagian otak yang bekerja saat kita merasa disalahkan adalah bagian otak limbik yang bertugas untuk mempertahankan diri. Berbeda dengan bagian otak yang bertugas untuk berempati dan berwelas asih.

Nah, dialog hanya akan terjadi ketika kita bersedia untuk mendengar. Jangan mendengar untuk menjawab, tapi mendengarlah untuk kita memahami. 

Praktik?

Kita bisa praktikkan ketiga prinsip itu melalui berbagai macam keterampilan yang kita miliki. Beberapa diantaranya, misalkan dengan mencari kesamaan, menunda respon, menggunakan humor (humor yang sehat tentunya), berargumen dengan welas asih, dan menciptakan percakapan baru yang konstruktif ketika kita berinteraksi dengan yang lain.

Terkadang kita juga harus berani mengakui bahwa kita kalah banyak dengan anak kecil. Kita harus banyak belajar dari anak kecil. Lihatlah anak kecil yang ketika berteman ia tidak memilah apa agama temannya, apa latar belakang temannya, apa suku temannya. Anak kecil tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan yang ada di sekeliling mereka. Selama ia senang dan suka dengan temannya itu, ia akan berteman.

Nah, itu dia beberapa poin yang bisa aku bagikan setelah mengikuti pelatihan Relaxasi Beragama. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan renungan buat kita semua. So, yuk mulai sekarang, spread your love to others. Jika kamu mencintai orang terdekatmu, edukasi mereka dengan energi-energi positif yang bisa kamu beri semampumu. Selamat berjuang! 


Catatan editor: Gerakan "Relaksasi Beragama" digagas oleh penulis Feby Indirani untuk mengurangi polarisasi di masyarakat Indonesia yang disebabkan perbedaan agama, suku, maupun perbedaan politik. Gagasan sejak 2017 ini disampaikan kepada publik lewat pameran, diskusi, juga pelatihan. Sesi pelatihan relaksasi beragama digagas dan dirancang oleh Feby Indirani, seniman Hikmat Darmawan, dan psikolog Ferlita Sari. Ikuti semangat gerakan ini lewat Instagram @relaxitsjustreligion

Editor : Rio Tuasikal / Instagram @riotuasikal



0

Pengalaman Belajar Beragama Secara Lebih Relaks (1)


Oleh: Neng Nuraini / Instagram @ainy313

Minggu (9/9/2018) pagi di Bandung Creative Hub, aku menghadiri pelatihan "Relaksasi Beragama". Pelatihan ini digelar karena belakangan kita menyaksikan kondisi tidak relaks dalam diri kita maupun orang lain dalam menghadapi perbedaan.

Mau nonton TV, yang tadinya mau santai, jadi tidak relaks karena mendengar berita. Mau buka media sosial, yang tadinya mau relaks, tiba-tiba baca postingan negatif, yang berpengaruh dengan cepat kepada otak dan tubuh. Mau ketemu temen, setelah bertemu, lalu ngobrol dan sampai pada titik obrolan tertentu, tidak jarang malah menjadi tegang.
Banyak sekali aktivitas yang tadinya kita ingin relaks tapi malah menjadi tidak relaks. Padahal jika tubuh selalu dipaksa demikian, fisiklah yang akan terkena dampaknya. Karena 80 persen penyakit yang diderita fisik itu disebabkan oleh kondisi emosi yang tidak baik.

Kita lebih senang mencari perbedaan ketimbang mencari persamaan. Bahkan sedari kecil kita diajarkan oleh guru TK kita untuk mencari sebanyak mungkin perbedaan dalam dua gambar, misalnya. Kenapa misalnya tidak dibalik saja, menjadi mencari sebanyak mungkin persamaan dalam dua gambar itu?
Kenapa yang kita fokuskan adalah perbedaan yang tidak jarang malah membuat perpecahan? Bayangkan jika yang kita cari adalah persamaan, kita akan dengan mudah untuk dekat dengan seseorang. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang satu daerah dengan kita, lalu bertanya “kamu orang Kabupaten Bandung yah? Wah, Kabupaten Bandungnya dimana?” misalnya. 'Kan lebih relaks, begitu.

Psikolog Ferlita Sari melatih peserta pelatihan Relaksasi Beragama di Bandung Creative Hub, Minggu (9/9/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal)

Bagaimana Pelatihan Relaksasi Beragama?
Dalam pelatihan ini kita diajarkan bagaimana bisa fokus pada persamaan ketimbang perbedaan. Hal itu dipraktekkan oleh para peserta setelah sesi focused group discussion (FGD) yang membahas pentingnya relaksasi, relaksasi beragama, dan pengalaman beragama.
Dalam pelatihan relaksasi itu, kita membuat sebuah lingkaran, lalu kita mengambil satu buah kartu yang berisikan gambar yang disimpan di lantai. Setelah itu sambil diiringi musik relaks kita mencoba menganalisis kartu itu sambil berjalan: mencari persamaan yang ada dalam kartu itu dengan diri kita. Setelah musik berhenti, kita mencoba menceritakan hal itu pada teman yang ada di dekat kita. Begitulah seterusnya, sampai tiga kali.
Psikolog Ferlita Sari (kanan) melatih peserta pelatihan Relaksasi Beragama di Bandung Creative Hub, Minggu (9/9/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal)
Para peserta memberikan testimoni bahwa benar, untuk mencari persamaan itu butuh ketenangan, kesadaran, ketelitian, dan keterlibatan perasaan. Maka dari itu, peserta pelatihan relaksasi ini diharapkan memiliki kesadaran dan keterampilan agar dapat memahami, menyikapi, menafsirkan, dan membincang hal-hal yang terkait dengan keagamaan dengan relaks. Sehingga tercipta masyarakat yang empati, damai, dan saling menghargai keberagaman.
Data tahun 2015-2016 menunjukkan terjadi 1.568 kejadian konflik SARA di Indonesia (Kompas, 16 Maret 2017). Jumlah aduan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan isu keberagamaan pun meningkat sejak 2015 sebanyak 89 aduan, sementara pada 2014 sebanyak 74 aduan (Uni Lubis, Rappier.com, 1 Juli 2016).
Belakangan juga kita sering temukan para remaja HTI yang membawa spanduk misalnya “tolak invansi budaya Barat, KAFIR!” Hal ini membuktikan pada kita bahwa dengan mudahnya mereka memberi stigma kafir, sesat, dan lain-lain pada orang-orang yang berlainan keyakinan dengan mereka. Mereka tidak relaks dalam menyikapi orang-orang yang berbeda. 
Lalu apa yang terjadi jika kita tidak relaks dalam menyikapi perbedaan keyakinan itu? (Baca lanjut ke bagian 2)

Catatan editor: Gerakan "Relaksasi Beragama" digagas oleh penulis Feby Indirani untuk mengurangi polarisasi di masyarakat Indonesia yang disebabkan perbedaan agama, suku, maupun perbedaan politik. Gagasan sejak 2017 ini disampaikan kepada publik lewat pameran, diskusi, juga pelatihan. Sesi pelatihan relaksasi beragama digagas dan dirancang oleh Feby Indirani, seniman Hikmat Darmawan, dan psikolog Ferlita Sari. Ikuti semangat gerakan ini lewat Instagram @relaxitsjustreligion


Editor : Rio Tuasikal / Instagram @riotuasikal
0

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com