Oleh: Neng Nuraini / Instagram @ainy313
Minggu (9/9/2018) pagi di Bandung Creative Hub, aku menghadiri pelatihan "Relaksasi Beragama". Pelatihan ini digelar karena belakangan kita menyaksikan kondisi tidak relaks dalam diri kita maupun orang lain dalam menghadapi perbedaan.
Minggu (9/9/2018) pagi di Bandung Creative Hub, aku menghadiri pelatihan "Relaksasi Beragama". Pelatihan ini digelar karena belakangan kita menyaksikan kondisi tidak relaks dalam diri kita maupun orang lain dalam menghadapi perbedaan.
Mau nonton TV, yang tadinya mau santai, jadi
tidak relaks karena mendengar berita. Mau buka media sosial, yang tadinya mau relaks,
tiba-tiba baca postingan negatif, yang berpengaruh dengan cepat kepada otak dan
tubuh. Mau ketemu temen, setelah bertemu, lalu ngobrol dan sampai pada titik
obrolan tertentu, tidak jarang malah menjadi tegang.
Banyak sekali aktivitas yang tadinya kita ingin relaks
tapi malah menjadi tidak relaks. Padahal jika tubuh selalu dipaksa demikian,
fisiklah yang akan terkena dampaknya. Karena 80 persen penyakit yang diderita
fisik itu disebabkan oleh kondisi emosi yang tidak baik.
Kita lebih senang mencari perbedaan ketimbang mencari persamaan. Bahkan sedari kecil kita diajarkan oleh guru TK kita untuk mencari sebanyak mungkin perbedaan dalam dua gambar, misalnya. Kenapa misalnya tidak dibalik saja, menjadi mencari sebanyak mungkin persamaan dalam dua gambar itu?
Kita lebih senang mencari perbedaan ketimbang mencari persamaan. Bahkan sedari kecil kita diajarkan oleh guru TK kita untuk mencari sebanyak mungkin perbedaan dalam dua gambar, misalnya. Kenapa misalnya tidak dibalik saja, menjadi mencari sebanyak mungkin persamaan dalam dua gambar itu?
Kenapa yang kita fokuskan adalah perbedaan yang
tidak jarang malah membuat perpecahan? Bayangkan jika yang kita cari adalah
persamaan, kita akan dengan mudah untuk dekat dengan seseorang. Ketika kita
bertemu dengan seseorang yang satu daerah dengan kita, lalu bertanya “kamu
orang Kabupaten Bandung yah? Wah, Kabupaten Bandungnya dimana?” misalnya. 'Kan
lebih relaks, begitu.
Psikolog Ferlita Sari melatih peserta pelatihan Relaksasi Beragama di Bandung Creative Hub, Minggu (9/9/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal) |
Dalam pelatihan ini kita diajarkan bagaimana bisa fokus pada persamaan
ketimbang perbedaan. Hal itu dipraktekkan oleh para peserta setelah sesi focused
group discussion (FGD) yang membahas pentingnya relaksasi, relaksasi beragama,
dan pengalaman beragama.
Dalam pelatihan relaksasi itu, kita membuat
sebuah lingkaran, lalu kita mengambil satu buah kartu yang berisikan gambar
yang disimpan di lantai. Setelah itu sambil diiringi musik relaks kita mencoba
menganalisis kartu itu sambil berjalan: mencari persamaan yang ada dalam kartu
itu dengan diri kita. Setelah musik berhenti, kita mencoba menceritakan hal itu
pada teman yang ada di dekat kita. Begitulah seterusnya, sampai tiga kali.
|
Data tahun 2015-2016 menunjukkan terjadi 1.568 kejadian konflik SARA di
Indonesia (Kompas, 16 Maret 2017). Jumlah aduan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang berhubungan dengan isu keberagamaan pun meningkat sejak 2015
sebanyak 89 aduan, sementara pada 2014 sebanyak 74 aduan (Uni Lubis,
Rappier.com, 1 Juli 2016).
Belakangan juga kita sering temukan para remaja
HTI yang membawa spanduk misalnya “tolak invansi budaya Barat, KAFIR!” Hal ini
membuktikan pada kita bahwa dengan mudahnya mereka memberi stigma kafir, sesat,
dan lain-lain pada orang-orang yang berlainan keyakinan dengan mereka. Mereka
tidak relaks dalam menyikapi orang-orang yang berbeda.
Lalu apa
yang terjadi jika kita tidak relaks dalam menyikapi perbedaan keyakinan itu? (Baca lanjut ke bagian 2)
Catatan editor: Gerakan "Relaksasi Beragama" digagas oleh penulis Feby Indirani untuk mengurangi polarisasi di masyarakat Indonesia yang disebabkan perbedaan agama, suku, maupun perbedaan politik. Gagasan sejak 2017 ini disampaikan kepada publik lewat pameran, diskusi, juga pelatihan. Sesi pelatihan relaksasi beragama digagas dan dirancang oleh Feby Indirani, seniman Hikmat Darmawan, dan psikolog Ferlita Sari. Ikuti semangat gerakan ini lewat Instagram @relaxitsjustreligion
Catatan editor: Gerakan "Relaksasi Beragama" digagas oleh penulis Feby Indirani untuk mengurangi polarisasi di masyarakat Indonesia yang disebabkan perbedaan agama, suku, maupun perbedaan politik. Gagasan sejak 2017 ini disampaikan kepada publik lewat pameran, diskusi, juga pelatihan. Sesi pelatihan relaksasi beragama digagas dan dirancang oleh Feby Indirani, seniman Hikmat Darmawan, dan psikolog Ferlita Sari. Ikuti semangat gerakan ini lewat Instagram @relaxitsjustreligion
Editor : Rio Tuasikal / Instagram @riotuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar