Pengalaman Belajar Beragama Secara Lebih Relaks (2)


Oleh: Neng Nuraini / Instagram @ainy313


Lalu apa yang terjadi jika kita tidak relaks dalam menyikapi perbedaan keyakinan itu? (inilah poin-poin yang mesti kita perhatikan):

1. Merusak silaturahmi

2. Merusak nama baik agama

3. Stres

4. Kehilangan rasa humor

5. Tidak bisa melakukan pekerjaan-perkerjaan yang lebih substansial/penting

6. Tidak bisa beragama secara proporsional

7. Tidak mampu mengenal mana yang nyata dan mana yang tidak

8. Terjadi konflik 


Peserta mengamati tiga prinsip Relaksasi Beragama dalam pelatihan di Bandung Creative Hub,
Minggu (9/9/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal)


Ada tiga prinsip Relaksasi Beragama yang berhasil dirumuskan, yaitu:

1. Agama hanyalah jalan, bukan tujuan
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa agama adalah tujuan, padahal tujuan manusia sebenarnya adalah Tuhan. Kita mau menuju Tuhan, tapi kita malah meributkan jalannya. Kita meributkan jalan ini baik atau tidak, hingga akhirnya kita malah tidak sampai pada tujuan kita.

Kita berencana mau pergi ke kota tertentu, lalu kita sibuk diskusi masalah baju apa yang harus kita pakai, sepatu apa yang cocok kita pakai.  Kita malah akan menghabiskan waktu dalam obrolan itu, hingga akhirnya kita tidak jadi pergi ke tujuan. Jika kita hanya sibuk memikirkan jalan daripada tujuan, akankah kita sampai? Tidak. Malah kita stagnan dalam beragama.

Kenapa kita sering meributkan hal-hal yang tidak substansial? Selama kita yakin bahwa jalan yang kita tempuh akan sampai pada Tuhan, mengapa kita harus mempermasalahkannya?

2. Hakikat manusia adalah kesamaan
Sesungguhnya manusia itu diciptakan dari yang satu, ketika Tuhan meniupkan ruh-Nya kepada manusia. Perbedaan itu ada tapi bukan untuk menjadi sesuatu yang ditanamkan terus. Perbedaan jika dibicarakan terus akan semakin runcing. Jika kita fokus pada perbedaan, tanpa memikirkan prinsip kesamaan ini, hubungan kita dengan sesama manusia akan menjadi sulit.

Kita seharusnya berangkat dari persamaan. Kalaupun berani berangkat dari perbedaan, kita juga harus berani mencari titik temu dari perbedaan yang sedang kita bicarakan.

3. Mengutamakan bersikap welas asih ketimbang menjadi benar 
Ingin benar adalah sikap alami manusia. Kita cenderung takut salah sehingga merasa harus benar. Dalam neurosains, bagian otak yang bekerja saat kita merasa disalahkan adalah bagian otak limbik yang bertugas untuk mempertahankan diri. Berbeda dengan bagian otak yang bertugas untuk berempati dan berwelas asih.

Nah, dialog hanya akan terjadi ketika kita bersedia untuk mendengar. Jangan mendengar untuk menjawab, tapi mendengarlah untuk kita memahami. 

Praktik?

Kita bisa praktikkan ketiga prinsip itu melalui berbagai macam keterampilan yang kita miliki. Beberapa diantaranya, misalkan dengan mencari kesamaan, menunda respon, menggunakan humor (humor yang sehat tentunya), berargumen dengan welas asih, dan menciptakan percakapan baru yang konstruktif ketika kita berinteraksi dengan yang lain.

Terkadang kita juga harus berani mengakui bahwa kita kalah banyak dengan anak kecil. Kita harus banyak belajar dari anak kecil. Lihatlah anak kecil yang ketika berteman ia tidak memilah apa agama temannya, apa latar belakang temannya, apa suku temannya. Anak kecil tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan yang ada di sekeliling mereka. Selama ia senang dan suka dengan temannya itu, ia akan berteman.

Nah, itu dia beberapa poin yang bisa aku bagikan setelah mengikuti pelatihan Relaxasi Beragama. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan renungan buat kita semua. So, yuk mulai sekarang, spread your love to others. Jika kamu mencintai orang terdekatmu, edukasi mereka dengan energi-energi positif yang bisa kamu beri semampumu. Selamat berjuang! 


Catatan editor: Gerakan "Relaksasi Beragama" digagas oleh penulis Feby Indirani untuk mengurangi polarisasi di masyarakat Indonesia yang disebabkan perbedaan agama, suku, maupun perbedaan politik. Gagasan sejak 2017 ini disampaikan kepada publik lewat pameran, diskusi, juga pelatihan. Sesi pelatihan relaksasi beragama digagas dan dirancang oleh Feby Indirani, seniman Hikmat Darmawan, dan psikolog Ferlita Sari. Ikuti semangat gerakan ini lewat Instagram @relaxitsjustreligion

Editor : Rio Tuasikal / Instagram @riotuasikal



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com