(22) Memberi

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


“Nuhun ya Aa, keur susah kieu Aa’ teh tetep we ngabere. Mogi Gusti Allah ngaluluskeun doa Aa’ sakaluarga…[1]”

Kata-katanya itu membius hati. Entah kenapa begitu melegakan dan menghapus benci. Pemuda itu, yang tersenyum saat aku beri bakso tempo hari, memberi pelajaran yang jauh berarti.

Memberi.

Bahwa ini membuat kita melihat ke dalam hati. Bahwa keikhlasan, seharusnya, memberi kita pelajaran menembus batas ego diri. Untuk turun dari pusat dunia sendiri, dan jadikan orang lain sebagai inti.

Aku sedikit melupakan perusakan warung ini. Aku tak peduli dengan tabungan yang berkurang tiap hari. Soal kuliah itu tak terlalu penting lagi. Selama aku bisa berguna bagi orang-orang di sekitar sini. Rasanya senang sekali. Dan aku merasa lega saat ini.

"Alhamdulillah," ucapku dalam nurani. Aku bersyukur bisa merasa bahagia lewat memberi. Tanpa merasa perlu dapat balas budi. Tanpa merasa perlu dipuji. Tanpa merasa perlu ada pengganti. Bahkan tanpa mengharap pahala ilahi. Tak perlu dieksplanasi. Sungguh perasaan ini saja pun ajaib sekali. []
___________________

[1] Makasih ya Mas, lagi susah begini Mas tetap memberi. Semoga Tuhan melancarkan doa Mas sekeluarga.
0

Gus Dur : Tidak penting apa pun agama atau sukumu


0

(21) Memikirkan Cara


Hari yang sama di minggu yang sudah berbeda. Percakapan sore itu masih teringat saja. Pemuda itu benar, dia dan ibunya salah apa? Aku tidak mengerti bagaimana bisa berjualan di bulan puasa menyebabkan kita berhak menerima perlakukan kasar. Apakah itu bahasa cinta mereka? Mungkin bahasa yang kami gunakan berbeda sehingga saya tidak bisa memahaminya.

Rasanya iba. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi mudah iba. Apakah aku sudah terlalu banyak menonton sinetron religi yang memang jamak muncul saat suasana Ramadhan seperti ini?

“Padahal saya mau kuliah tahun ini, Mbak. Uangnya masih kurang. Saya sudah satu tahun kumpulkan uang, sebentar lagi mestinya cukup.”

Apa jadinya kalau aku di posisi dia? Sepertinya kami sebaya. Tapi aku sedikit lebih beruntung. Setidaknya aku tidak perlu pusing mencari biaya kuliah. Aku tidak perlu menunda, aku hanya tinggal menerima. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya harus menabung sedikit demi sedikit hanya untuk punya uang untuk membayar biaya masuk. Iba….

Tapi lalu apa? Apakah iba saja cukup? Sebagai orang yang sedang mulai beragama, apakah aku tidak bisa melakukan apa-apa? Aku frustasi. Aku juga tidak mau sekadar memberi saja. Bagaimana kalau nanti dia dan ibunya malah tidak terima? Harus melakukan sesuatu untuk dia! Harus. Tetapi apa? Apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku memberikan?
0

(20) Pemberian


Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal
  

Beberapa hari lalu kolak pisang, yang kalau bulan puasa berubah nama jadi ta’jil,  disodorkan padaku. Tanpa air minum sebelumnya. Ya, panitia acara buka puasa yang di dekat gereja itu mungkin belum paham betul kebiasaan buka puasa di sini. Tapi kugragas saja, toh aku tak berpuasa. Semuanya langsung disambung nasi kotak bermenu lengkap.

Hari ini semangkuk mie bakso, dengan kuahnya yang kental berkaldu, juga disodorkan padaku. Aku menatap wajah pemberinya. Ia pemuda culun yang dulu pernah menghampiri kediaman kami. Ia, yang dulu kuanggap menjijiki kami dalam ketakpeduliannya yang meninggalkan kami begitu saja.

Bulan puasa ini aku menerima banyak pemberian. Kadang tak diduga.

Hatur Nuhun Aa [1],” seruku. Ia tersenyum, agak tak bernada rasa.

Tapi tunggu… bukankah warungnya ini yang dulu dirusak sama kaum berjubah? Kuamat-amati, ya nampaknya ada suasana baru diperbaiki di sini…

Aa, kemarin teh warungnya kena razia ya?, ” aku memastikan.

Iya Kang, kacahnya pecah…,” serunya datar.

Kumakan mie bakso itu pelan-pelan. Duduk di depan warungnya. Diam, menikmati suasana sehabis azan maghrib di satu sudut kota ini. Kental kaldu itu kini mengaduk-aduk pikiranku…

Aku teringat kata-kata Pak Ustad sewaktu acara buka puasa di dekat gereja itu:

Puasa mengajarkan pada kita untuk berbagi dalam kekurangan…  Memberi dalam kekurangan dan keprihatinan itu memperkaya diri, melampaui kekayaan harta duniawi….

Kuingat wajah teduh Pak Ustad. Wajah ceria anak-anak panti asuhan dan juga anak jalanan yang diundang… wajah senyum tulus para panitia acara yang mengajakku… dan kini wajah senyum meski sulit dari pemuda yang agak culun ini. Betapa pemberian tulus memang punya kekuatan dan keteduhannya sendiri.

Lantas kupikir-pikir kebaikan apa yang bisa kuberi… Heiii, kenapa aku tak pernah  berpikir seperti itu lagi belakangan ini? Selalu kukira ku tak mampu memberi… Ah, harus bisa, setidaknya buat yang lebih butuh.

Nuhun ya Aa, keur  susah kieu Aa’ teh tetep we ngabere. Mogi Gusti Allah ngaluluskeun doa Aa’ sakaluarga…[2]

Ya, sama-sama Kang…

Aku berbenah pergi. Aku sudah memutuskan mau memberi kebaikan apa kepada siapa…
Hmm… kalau saja bulan puasa semua orang selalu berpikir begini…[]




[1] Terimakasih Mas.
[2] Makasih ya Mas, lagi susah begini Mas tetap memberi. Semoga Tuhan melancarkan doa Mas sekeluarga.
0

(19) Buatmu.

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



“Katanya Allah itu Maha Penjaga Mbak. Tapi saya bertanya-tanya, dimana Allah berada?”

Di antara menyesal juga lega, aku masih mengingat kalimat satu itu. Kenapa harus kusebutkan, aku tak persis tahu. Kenapa juga mbak satu itu menanyaiku? Kini kata-kata itu bagai menerkamku. Menggelayutiku dengan tanya yang mendayu.

Kejadian itu sudah seminggu yang lalu. Aku masih saja sedih kalau melihat ibu. Dia memang sudah tidak terjebak oleh haru. Dia sudah bisa ke pasar sendirian Rabu lalu. Tapi tetap saja ada rasa kecewa yang dia sisakan di dalam kalbu. Aku bisa merasakan itu.

Kaca etalase sudah diganti yang baru. Dibeli tak salah lagi dari uang tabunganku. Di warung ini aku duduk sendirian dan menunggu. Atas beberapa pertimbangan, aku membuka warung tanpa malu. Aku bersikeras meski ibu sudah mengingatkanku.


Kali ini pembelinya tak seramai waktu itu. Tiap pengunjung hanya beli dua sampai satu. Itu pun minta dibungkus melulu. Mereka masih ketakutan, batinku.

Dan sore nyaris berlalu. Bahan mentah masih tersisa sampai dua puluh satu. Aku menyadari kelalaian perhitunganku. Hari ini aku rugi dahulu.

Saat ibu datang membawa takjil, aku langsung bereskan warung terburu-buru. Mangkuk aku rapihkan di dekat tungku. Menjajarkan bangku-bangku. Baru saja aku mau membuang mie yang besok akan basi ke tempat sampah di depan pintu. Seorang pemuda terlihat duduk di depan itu.

Kami pernah bertemu.
Dia pemuda berbaju kucel waktu itu.
Kelaparan, kesimpulanku.

Tanpa perlu memanggilku, aku sadar sesuatu. Aku menatap mie mentah di pangkuanku. Lebih baik diberikan dari pada terbuang begitu. Aku ke dalam, mengambil mangkuk satu. Mie, sayur dan bakso aku padu. Seporsi, bukan, seporsi ekstra mie bakso daging yang wanginya sangat kaldu.



Aku berlari ke depan pintu.
"Ini buatmu," kataku. []
0

Bakti Sosial Pemuda GKI Guntur dan Cherish YIC ke PSAA Tambatan Hati



Pemuda GKI Guntur dan Cherish YIC bersilaturahmi sambil adakan bakti sosial di PSAA Tambatan Hati, Bandung, Minggu (21/7) sore. Selain salurkan donasi, pemuda dan anak-anak ini bermain, buka puasa dan makan malam bersama.
0

(18) Sebuah Percakapan Menjelang Berbuka

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_ 
 
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal


Nyaris senja. Hari ini ada acara buka bersama. Tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, cukup jalan kaki saja tidak perlu naik angkutan umum. Akhir-akhir ini aku meminimalisir pengeluaran untuk ongkos transportasi. Kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan tariff angkutan umum. Dan untuk anak kos sepertiku, kenaikan itu sangat terasa.

Bukannya langsung mengambil jalan pintas ke tempat acara, entah kenapa kakiku memilih memutar, dan kemudian berhenti di depan sekolah Sisy. Di seberangnya, sebuah warung bakso tampak sepi dan tidak ada aktifitas. Hampir tidak ada lagi bekas-bekas penyerangan kecuali kaca etalase pecah yang belum diganti. Heran, kenapa juga aku harus berhenti di sini?

“Warung tutup, Mbak.” Tiba-tiba sebuah suara menyapa dari belakang.

Aku berbalik. Laki-laki itu, yang mengirimiku senyuman saat lewat di depan warungnya bersama Sisy tempo hari.

“Parah Mas rusaknya?”

“Yaaaa lumayanlah Mbak. Mereka tiba-tiba datang, teriak-teriak, merangsek masuk, ngacak-ngacak warung,” ceritanya. “Etalase dipukul pakai tongkat Mbak. Kacanya pecah tiga.” Matanya menerawang membayangkan kejadian hari itu, kilat matanya penuh emosi.

“Ngeri banget,”komentarku pendek. Instingku berkata dia sedang butuh didengarkan.

“Saya nggak ngerti, Mbak. Padahal saya sama ibu juga Islam, kami juga puasa. Tapi kami nggak pernah keberatan kalau ada tempat makan yang buka. Kami ini kan hanya mencari rezeki, bukan sengaja tidak menghormati. Masa kami mau nggak menghormati diri kami sendiri?” tuturnya. “Orang-orang itu teriak-teriak Allahu Akbar! Allahu Akbar! Saya sempat bertanya-tanya Allah mana yang mereka panggil? Gara-gara kejadian itu, sampai sekarang saya masih suka was-was kalau dengar itu.”

Aku mengamati laki-laki itu. Usianya mungkin sepantaran denganku. Raut wajahnya tampak gusar. Dia mengusap wajahnya.

“Padahal saya mau kuliah tahun ini, Mbak. Uangnya masih kurang. Saya sudah satu tahun kumpulkan uang, sebentar lagi mestinya cukup<,” katanya lalu mengehela. “Tapi sekarang uangnya amblas dipakai biaya hidup sehari-hari . Dan ganti etalase kaca. Kayaknya saya harus menunggu satu tahun lagi.”

Aku merenungkan ceritanya. Tidak tahu harus berkomentar apa, toh saat ini yang laki-laki ini butuhkan bukan komentar. Komentar tidak akan bisa membuatnya kuliah bulan depan.

Romo berkata setiap agama pasti mengajarkan kasih. Apakah mungkin ini cara dari orang-orang beragama itu menunjukkan kasih mereka? Kasih yang diinginkan Tuhankah yang seperti ini? Tuhan, aku takut beragama kalau seperti ini. Aku takut berubah menjadi seperti mereka.

“Katanya Allah itu Maha Penjaga Mbak. Tapi saya bertanya-tanya, dimana Allah berada?” []
0

(17) Buka Bersama

Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal


Aku masih menadah di persimpangan ini. Telingaku mendengar berkali-kali celoteh sekitarku. Orang-orang masih saja membicarakan kelompok itu. Mereka mengata-ngatai kaum jubah putih itu. Tapi toh mereka diam saja kemarin-kemarin.

Bagiku sudah cukup. Sudah lewat. Entah bakal ada yang urus entah tidak, yang jelas hari baru sudah datang. Masalah akan selalu ada kalau buat aku, buat kawan-kawanku di sini. Siapa yang peduli soal kelayakan orang? Soal perjuangan membela agama? Atau membela kemanusiaan? Toh mereka juga tidak peduli bila Pat, atau aku, atau Boncel mati tertabrak kemarin.

Belakangan ini lengkap sudah kekesalanku. Kesal pada orang yang berjubah agama, kesal pada orang yang berlagak protes tapi cuma ngedumel tak membela. Aku kesal pada tindakan memperalat agama juga pendiaman atas hal itu.

Lantas aku menatap lembaran uang yang sudah semakin banyak di topi lusuhku. Aku pun kesal juga pada diri sendiri. Rasanya lebih mudah meyakini bahwa semua manusia memang kurang ajar dan munafik, hanya saja dengan cara-caranya sendiri.

Dan Tuhan? Ah, tak tahulah...


....

“Pak, ikut buka puasa bareng kami ya?,” lagi-lagi ada seorang gadis berkulit putih. Ia menyodorkan kertas seperti kupon. Di belakangnya berdiri beberapa laki dan perempuan. Kulit mereka putih-putih dan mata mereka sipit. Hanya dua orang yang kulitnya agak cokelat sepertiku. Pakaian mereka bersih dan bagus.

“Dimana, Neng?,” tanyaku sopan.

Ia menyebut nama jalan dan letaknya yang cukup dekat. Aku agak curiga. Aku tahu di situ ada sebuah gedung besar bernama gereja apa lah itu. Aku pernah dengar dari Opik kalau ada orang-orang Kristen yang suka memberi makan kaum seperti kami, tapi dengan embel-embel dakwah ajaran Kristen. Jangan-jangan ini mereka.

Ah... sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Kalaupun benar, toh nanti aku bisa pergi sesukaku.

Agaknya mereka bisa membaca curigaku. Teman si gadis itu segera menambahi keterangan:

“Kita buka bersama panti asuhan , pemerintah kecamatan dan Pak Kyai dari pondok pesantren kok Pak. Semua warga jalanan di sini kami undang. Nanti sekalian shalat maghrib di sana saja...”

Hmm... menarik... ada juga yang seperti ini.
0

To Be Enjoyed


0

#IslamRamahYES 16


0

Buka Bersama Gereja Kristen Indonesia Kebon Jati






Puluhan siswa pesantren buka puasa bersama jemaat gereja, di GKI Kebon Jati, Kamis (18/7) malam. Acara ini dihadiri pula puluhan oleh sahabat muslim, kristen, dan agama lainnya. Acara ini hasil kerjasama Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) dan GKI Kebon Jati.
0

(16) Bukan Terpaksa

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]




Aku duduk di warung sendirian saja. Dari kaca etalase yang pecah sebelah, aku menatap gedung sekolah di seberang sana. Aku jengkel ke mana-mana. Entah kenapa.

Sudah tiga hari ibu menolak berjualan bakso, kolak atau yang lainnya. Dia takut sekaligus merasa terhina. Tiga hari ini, seusai dirinya sembahyang, ibu hanya akan duduk di dapur semata. Selain duduk dan berdoa, dia tak lagi melakukan apa-apa.

Seharusnya aku sudah pertimbangkan sejak lama. Bahwa kelompok itu bisa saja datang tiba-tiba. Membawa sumpah serapah merajalela. Menolak penjelasan apa-apa. Dan seenaknya menghancurkan segalanya.

Alih-alih mendapat tambahan biaya, kini tabungan untuk kuliahlah yang dipakai makan kami berdua. Plus, mengganti kaca etalase yang terbelah jadi tiga.

Aku heran tanpa jeda. Padahal tak ada sedikit pun niatku untuk tidak menghormati yang berpuasa. Toh aku seorang muslim juga. Lagi pula, selama kemarin warung dibuka, ada juga yang berkerudung dan hanya lewat seperti biasa. Tak ada, misalnya, yang tiba-tiba batal puasa hanya karena ada bakso di depan mata.

Aku bertanya. Apakah betul membuka warung itu berdosa? Apakah kami tidak boleh berjualan kepada orang yang tidak berpuasa? Padahal mereka juga perlu makan seperti biasa. Dan mereka bilang mencari makan siang itu sulit luar biasa.

Aku ingin mendengar langsung, apa betul Tuhan tidak suka? Atau kelompok itu saja yang merasa mendapat mandat dari Yang Maha Kuasa untuk memaksakan pendapat mereka?

Aku bergerak ke trotoar, tempat aku bisa melihat langit dengan leluasa.

Aku membayangkan semua bisa berpuasa, dan tidak berpuasa, atas kehendaknya saja. Bukan karena paksaan atau ancaman dari pihak lainnya. Aku membayangkan orang-orang memberi rasa hormat pada semua. Menghargai orang yang berpuasa, juga yang tidak, atas dasar sukarela. Bukan terpaksa. []
0

Dialog Kemanusiaan Bersama Shinta Nuriyah Wahid


Keluarga Jakatarub berfoto bersama Shinta Nuriyah Wahid (duduk), di SD Santo Yusup Bandung, Selasa (16/7) malam. Acara yang diisi buka bersama ini dihadiri oleh sahabat muslim, kristen, dan agama lainnya.

Foto milik Ignatius Yunanto, dikutip dari Pikiran Rakyat
0

#IslamRamahYES 15


0

(15) Beragama itu Bimbang

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui,

Aku sadar tanpa harus berkata-kata terlalu banyak pun, Kamu sudah mengetahui seluruh isi hatiku. Kamu mengenal aku bahkan sebelum aku ada dalam kandungan ibuku. Tapi izinkan aku sekali ini sedikit curhat saja.Rasanya sudah menyesakkan sekali. Hatiku bergolak!

Beberapa saat tadi aku mendengar dari satpam di gerbang depan, katanya telah terjadi penyerangan. Korbannya, sebuah warung bakso di seberang sekolah, sekitar 500 meter dari gereja.Pelakunya, saudara-saudara berbaju putih yang sempat menakutiku dalam perjalanan menuju ke sini. Menakutkan. Ini benar-benar keterlaluan!

Kenapa orang-orang beragama sering tampak seperti orang sakit jiwa? Tidakkah Kamu merasa mereka terlalu lancang? Kalau Kamu mau, Kamu bisa saja menutup sendiri warung itu dan tidak perlu menggunakan kekerasan. Toh, mereka hanya membuka warung dan mencari rezeki.

Apakah puasa juga berarti menahan rezeki selain menahan lapar, haus, nafsu, dan amarah? Kalau memang seperti itu, aku baru tahu. Berarti dulu guru-guruku salah mengajariku. Mungkin mereka lupa menambahkan satu lagi definisi puasa, menahan rezeki. Atau memang seperti itukah yang menjadi kehendak-Mu? Maaf kalau aku terlalu arogan mencoba menerjemahkan keinginan-Mu. Tapi semua yang Kau tunjukkan ini membuat aku bimbang menentukan sikap.

Apakah jika aku seorang muslim aku harus diam saja melihat agamaku dijual sebagai cap pembenaran akan kekerasan? Bahkan jika yang diserang itu juga muslim? Apakah jika aku seorang non muslim lantas aku juga harus diam saja melihat bangunan itu diserang dan dirusak, sementara manusianya berteriak histeris ketakutan? Apakah aku harus diam saja karena mungkin ini yang Kamu inginkan? Aku bimbang Tuhan, aku bimbang!

Tadi Romo berkata agama itu katanya jalan menuju kebenaran, pedoman supaya semua tidak kacau, pembentuk manusia-manusia berakal budi yang dipenuhi dengan cinta kasih. Tapi kenapa sekarang ini semuanya semakin kacau saja? Kenapa yang jamak aku lihat sekarang ini malahan sekelompok orang-orang yang menderita neurosis kolektif?

Kamu tahu bagaimana gamangnya aku. Terlebih sekarang ini. Mereka semua membuat semua ini terlihat menakutkan. Tadi di perjalanan aku mendengar seorang laki-laki berkata bahwa agama itu menakutkan. Sekarang aku sadar maksud perkataannya, dan dia benar. Sekarang aku pun takut, kembali takut, semakin takut.

Tidak bisakah aku mengenal Kamu tanpa fasilitas agama? Beragama terkadang membuatku bimbang karena terlalu banyak orang memperebutkan kue kebenaran. Tanpa menggunakan fasilitas agama, apakah aku tidak akan bisa berkomunikasi dengan-Mu seperti sekarang ini?



“Belum pulang?”

“Belum Romo. Saya sedang curhat pada Tuhan,”jawabku pada pria berjubah putih, tetapi kali ini dengan wajah meneduhkan. “Beragama membuat saya bimbang.”
0

#IslamRamahYES 14




0

(14) Agama.. Ah Gamang

Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



Huh, mereka sudah keterlaluan, bukan saja waktu memborong jalan di sore kemarin lalu, tapi hari-hari setelahnya juga. Bukan cuma berpawai songong, mereka juga merazia warung, merazia tempat hiburan. Pecahkan kaca, rusak jendela, banting barang...

Ah sudahlah... aku muak kalau masih membicarakan mereka. Seolah-olah mereka terlalu berharga untuk terus diomongkan.

“Agama itu menakutkan.” Itulah seruanku kemarin lalu. Seruan yang juga didengar oleh gadis berkulit putih di pinggir jalan. Gadis yang menabrak tubuh ringkihku dengan tubuh mungil dan kulit halusnya. Gadis yang wajahnya pucat karena teriakan takbir. Yang wajahnya lalu membingung akan arti ucapanku.

Tapi, ya apa juga hakku untuk menilai agama? Orang-orang berjubah putih itu memanfaatkan agama untuk makan. “Untuk kepentingan orang yang lebih gede,” kalau kata si Opik Jenggot. Aku pun tak beda jauh. Karena orang yang beragama tulus lah aku bisa makan. Aku memainkan lagu agama, untuk menangguk lebih banyak uang.

“Ah tapi aku kan tak pernah mengganggu rejeki orang, apalagi merusak dan menciderai.”

Benakku merasa terbenarkan. Aku masih manusia, masih merasa gamang untuk sesuatu yang amat luhur seperti agama.

Yang jelas aku hari ini sudah di jalan lagi. Namun tidak bermanis lagu Islami, karena Pat tidak ikut. Ia masih kesakitan, tubuh dan batin. Tepat kemarin kaum jubah putih wajah seram itu memepet dia. Melukai badan dan hatinya. Karena badannya terserempet dan terpukul, ia sakit. Karena amarah, ia takut. Si Opik Jenggot malah bilang jangan diladeni. Huuuuh...

Aku duduk saja di pinggir jalan. Berpangkukan Encut, yang sudah semakin malas menggerak badan buntingnya yang membalon. Aku lapar... Encut juga sepertinya... Kami tidak berpuasa... Lantas kenapa? Lantas apa?

Aku duduk... rejeki di topi lusuhku masih sedikit. Berbuat apakah aku? Akankah kudaras ayat suci, yang akan membuat orang welas asih? Aku sungkan. Tapi butuh. Aku gamang... mungkin seperti itu juga laskar-laskar berjubah putih berwajah seram itu, ketika berhadapan dengan perutnya sendiri.

Lampu merah... terpaksalah aku beranjak... menadahkan topi lusuh... dan seketika mulut kotorku mendaras kalimat suci berbahasa Arab itu.... Aku menangis, bukan karena haru... tapi malu atas gamangku sendiri...

Sampai langir memerah senja... aku di sini. Kuingat lagi kata-kataku pada gadis putih yang menabrakku. Agama itu menakutkan. Dan kini betapa arti agama itu adalah gamang... ahhhh....[]
0

#IslamRamahYES 13


0

(13) Lancang!

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



TRANGGG!

Etalase warung bakso kami terjengkang. Bakso, mie mentah dan sayurannya jatuh ke trotoar, berjatuhan.

Ini dimulai satu hari ke belakang. Saat ibuku sudah kehabisan ide cari uang. Kolakyang  tak juga memberi kecukupan. Maka aku berinisiatif ke pasar membeli bahan. Daging sapi dan sayur-sayuran. Selayaknya hari-hari biasa kami persiapkan.

Prediksi kami kena sasaran. Pelanggan lama berdatangan di hari ini, sepanjang siang. Iya, mereka orang-orang Kristen yang kelaparan. Yang anaknya bersekolah di seberang jalan. Yang mengaku kesulitan cari makanan.

Mereka bertanya, "kenapa seminggu kemarin tidak berjualan?"

Aku hanya bisa tersenyum enggan.

Warung kami kini diisi delapan pelanggan. Ibu mulai menebar senyuman. Kami bisa hadapi hari esok tanpa kekhawatiran.

Saat aku mengambil air panas ke belakang, aku mendengar suara gaduh dari kejauhan. Mungkin dari ujung jalan. Lalu terdengar cek cok ibu, pemuda dan kata-kata umpatan. Takbir, aku mendengar orang-orang itu 
berteriak lantang. Semuanya terjadi cepat seperti sengatan.

Gerombolan itu, sialan!

Aku mendapati ibu menangis dalam keputusasaan.
Pelanggan sudah bubar tunggang-langgang

Aku melihat mereka kabur tanpa perasaan.

Aku memekik, "mulut kalian berbuih Tuhan. Kelakuan kalian persis binatang!" []
0

#IslamRamahYES 12


0

(12) Agama Itu Menakutkan

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]





Segerombolan manusia berpakaian putih berkendara meneriakkan takbir. Tangan mereka terkepal, diacung-acungkan ke atas seperti mau meninju. Aku tidak mengerti, apa yang mau mereka tinju? Siapa?

Orang-orang tersingkir ke sisi jalan, termasuk aku. Aku menabrak seorang laki-laki berpakaian lusuh.Hampirsajadiaterjatuh. Aku meminta maaf padanya, dia membalas dengan sebuah senyuman.

“Menakutkan... Agama itu menakutkan,”ujarnya singkat sembari memandangi barisan kendaraan yang melaju dengan orang-orang berpakaian putih di dalamnya.

Aku terhenyak mendengar perkataannya. Dia berbalik pergi. Aku baru sadar jalannya agak pincang. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mengejarnya dan menanyakan maksud dari perkataannya tadi. Tapi sosok yang tertatih itu semakin menjauh, dan aku ingat aku sudah punya agenda yang menunggu. Aku cepat-cepat melanjutkan langkahku, semoga masih ada waktu.
0

#IslamRamahYES 11


0

(11) Menjelang Buka

Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



Tak ada yang istimewa soal perjumpaanku dengan pemuda agak culun itu. Ia hanya menoleh, berbasa-basi sejenak. Lalu pergi. Sangat mungkin ia tidak akan pernah ingat lagi soal perjumpaan denganku. Sangat mungkin ia tidak akan pernah cerita sedikit pun pada orang lain soal aku, soal Boncel, apalagi soal si bunting Encut.

Di zaman sekarang, kita selalu begitu. Sama seperti aku memberi senyum termanis kepada pemberi uang ke topi lusuhku. Lalu sama sekali tak pernah ingat lagi wajah si pemberi. Sama seperti kau memberi wajah prihatin sesaat ketika melihat tubuh jeri seorang peminta. Lantas bahkan tak ingat apakah engkau memberi uang atau hanya angkatan telapak tangan.

Ya, begitulah. Sesekali aku menjumpai orang yang mau lebih dekat. Bertanya ini itu. Kujawab apa anu, sekedar membuatnya lebih prihatin. Ia pun sebenarnya hanya ingin menggali sebatas yang ia mau gali. Lalu dengan seru basa-basi, ucapan yang katanya doa, ia pergi. Mungkin merasa sudah jadi tangan Tuhan.

Tak apa. Setidaknya kita masih mencoba lebih beradab. Setidaknya kita masih saling berhormat dalam sungkan basa-basi.

Ah, sudahlah... mengapa sekarang aku berkhotbah. Mungkin karena suasana agamawi di bulan ini? Hah, sejak kapan pula aku jadi bergaya ulama? Tak pantaslah, meski cuma ulama pura-pura, meski cuma ulama kumat-kumatan.

...

Dua jam lepas perjumpaanku dengan pemuda agak culun itu. Aku kembali lagi ke lampu merah. Bersama Pat. Mengamen lagi. Juga berharap ketemu orang yang mengajak buka bersama.

Dan kami mengulang rutin kerja yang sudah dimulai pagi tadi. Menyampingi mobil yang berhenti di lampu merah, atau memasukinya ketika jalanan macet. Menyanyi satu dua lagu, salah satunya adalah lagu puasa khas Bimbo.

Sampai matahari sudah mulai merona ke sisi barat. Sampai sinarnya agak keemasan menyorot makin lembut pada kami yang ada di jalan penuh asap ini. Di situ katanya masa sejuk, menenang orang menanti hidangan berbuka.

Tapi ternyata tak selalu sesejuk yang kuinginkan. Dari sisi sinar-sinar keemasan itu, tetiba muncul segerombol manusia berkendara. Meneriak takbir. Mengepal tangan. Putih-putih, namun tak berkesan suci. Malah menakutkan. Semua orang menyisih jalan. Atau lebih tepatnya tersingkir...
0

#IslamRamahYES 10


0

(10) Kesulitan

Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]

 

Ternyata ibuku ingin berjualan. Tapi bukan bakso, melainkan kolak yang manisnya tak tahan. Pagi-pagi nemar Ibu sudah ke warung di gang depan. Membeli pisang beberapa papan. Sepanjang siang ibu memotongnya, memberinya gula dan santan. Sore, ibu membungkus semuanya, harga tiga ribu dituliskan.

Mungkin ibu salah tempat berjualan. Jalanan rumahku memang bukan tempat orang berkeliaran. Hanya ada sekolah swasta Kristen di depan. Betul-betul ramai kalau jam istirahat dan makan. Tapi tentu bukan kolak yang mereka jadikan incaran.

Itulah kenapa hingga tinggal 30 menit lagi kolak ibu belum juga terhabiskan. Mungkin rasanya tak keruan, aku memperkirakan. Tak tahu juga, tahun-tahun ke belakang ibu hanya membeli kolak ke warung di masjid depan, bukan berjualan. Jadi aku tak pernah benar-benar merasakan.

Kolak itu masih tersisa dua puluh delapan. Belum dapat keuntungan. Magrib pun datang tak terhindarkan.

Jangankan untuk daftar kuliah bulan depan, sepertinya melewati Ramadhan pun kami akan kesulitan.[]


0

Kini Sudah Sebulan!


Terimakasih untuk setiap klik, tulisan, gambar, video, testimoni, ide, dukungan, saran, apa pun dari kalian semua. 

Terimakasih telah ikut menjaga persahabatan dan perdamaian tetap hidup di tengah perbedaan. 

Salam damai buat kita.
0

#IslamRamahYES 9


0

(9) Susahnya...

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


Aduh, karena mendung jadi agak dingin. Setelah membiarkan Sisy menyerbu ibunya, aku masuk ke kamar. Kali ini kasur tampak begitu menggoda. Udara dingin seolah membuaiku untuk merebahkan tubuh dan tidur siang. Aduh, tapi aku baru ingat aku belum makan. Sepanjang jalan ke rumah tadi tidak ada warung yang buka. Ah, ini masih minggu pertama puasa, masih sulit mencari makan sebelum sore tiba.

Apa sebaiknya aku masak mie saja ya? Oh tidak! Aku baru ingat belum mengisi ulang laci perbekalan! Laci perbekalanku kosong, persediaan mie instanku sudah habis. Ooooogh! Aku sudah terlalu malas untuk pergi ke warung. Lebih baik aku tidur saja. Kalau tidur, rasa lapar ini tidak akan terasa. Anggap saja hari ini aku ikut puasa.

Tiba-tiba saja handphoneku berdering. Padahal aku sudah ingin bergelung di bawah selimut seperti trenggiling.

“Dek, kamu lagi apa?” Suara ibu.

“Mau tidur siang, Bu.”

“Kamu udah makan?“

“Belum, Bu. Susah cari warung makan yang buka di sini. Mayoritas tutup semua. Aku juga lupa beli mie.”

“Loh? Jadi gimana? Kamu ga makan?”

“Yaaah itung-itung puasalah Bu…”

“Kamu ini… Makanya cepat pulang sini, biar bisa Ibu urusin. Lagian saudara-saudaramu sudah pada kumpul loh di sini. Rame sekali….”

Kata-kata yang membuat iri. Aku jadi kesal sendiri. Kalau saja saat ini aku tidak terperangkap di kota ini. Pulang, pasti aku sudah pulang kalau mau mengikuti keinginan hati. Kuliah libur selama tiga bulan, apa yang bisa aku lakukan di sini?

“Kamu belum bisa pulang, Dek??” Pertanyaan itu lagi.

“Belum, Bu. Masih ada pertemuan kan di sini. Daripada harus bolak-balik.”

“Oh ya udah yang penting kamu jaga diri baik-baik. Kalau makan coba beli makanan yang kira-kira bisa tahan sampai besok siang. Nasinya kamu masak sendiri.”

“Iya, Bu…”

Kalau saja ibu tahu betapa aku ingin sekali pulang sekarang. Teman-teman yang lain sudah pulang, hanya tinggal aku saja yang masih tinggal. Kalau ada di rumah sekarang, pasti makanan tiga kali sehari terhidang. Tidak perlu repot, tidak perlu khawatir lupa menyiapkan makanan untuk makan siang. Yah, meski makannya harus diam-diam sendirian. Setidaknya lebih baik daripada sekarang.

Kalau begini terus, sepertinya aku harus ikut berpuasa selama sebulan. Lalu hari ini? Hm… Anggap saja ikut berpuasa tanpa sahur. Lebih baik sekarang aku tidur siang. []
0

(8) Neduh


Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

 [Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


Aku menyerah… Hari sudah terik. Kakiku sakit menusuk-nusuk. 

Nggeus nyak Ncong, Calik heula!,[1]” ringisku pada Pat. Ia maklum. Kami sudah dapat cukup banyak dari pagi tadi. Pekan pertama puasa itu surga bagi para ‘pekerja tetap’ jalanan. Apalagi modalnya lagu Islami. Apalagi ada sedikit-banyak derita dan kelainan badani. Tapi itu mungkin hanya untuk minggu awal. Sebelum nanti jalanan semakin dipadati tukang sandiwara. Sebelum puasa jadi biasa saja di minggu-mingu berikutnya.

Aku suka bulan puasa salah satunya ya karena ini. Orang jadi kembali mudah iba. Untuk kemudian bermati-rasa lagi di banyak bulan berikutnya. Mereka benar-benar menatap kami untuk beberapa masa. Di hadapan mereka, kami muncul jadi penyelamat, jadi saluran amal mereka. Lantas di banyak masa lain kami hanyalah pengganggu yang tak enak dilihat. Apa kau kira aku juga peduli? Ah, biasa saja.

Yang jelas tadi aku dan Pat benar-benar tersenyum. Seribuan, dua ribuan bahkan lima ribu dan sepuluh ribuan dengan mudah bertaburan di topi lusuhku. Menyeimbangi petikan gitar kecilku, menyambut suara sengau dan gaya kelewat centil Pat yang menyanyi lagu Bimbo: “Ada anak bertanya pada bapaknya … dst.” Melihat lembaran hijau, abu-abu, cokelat dan kemerahan itu, sakit di kakiku hilang beberapa jenak.  Tapi tentu itu hanya alihan rasa. Harta toh memang mengikat banyak hal dalam kita, bukan?

Pat beranjak, katanya mau ngerumpi dengan teman sejenisnya. Diambilnya beberapa lembar uang di topiku.
Aku memilih neduh ke rumah. Eh, kau tentu sudah tahu apa yang ku maksud dengan ‘rumah’. Tempat sejuk dan nyaman buatku, meski buatmu itu lembab dan pesing. Tak apalah, yang penting aku mau istirahat, menunggu nanti agak sore. Siapa tahu ada rejeki lagi. Atau malah ada yang mengajak buka bersama di dekat pangkalan kami.

Menjelang gang dekat rumah pandanganku tertoleh ke seorang laki-laki muda. Agak culun, tapi dari pakaiannya pasti dia dari orang yang ‘bukan kami’. Gayanya sih sederhana (aku tahu persis bagaimana tampang orang kaya, tak usah kau ragukan kemampuanku soal ini), tapi yang jelas ia masih lebih beruntung dari aku.

Ia berdiri mematung memandangi si Boncel yang sedang tidur. Matanya memandangi terus Boncel, gitar di pantat Boncel, serta si Encut yang tidur kelaparan di pangkuan Boncel.  Aku tak tahu pasti apakah ia iba, apakah jijik. Atau mungkin ia lagi terkena gejala jadi saleh-iba pas Ramadhan.

Punten…[2],” seruku dengan suara berat, lebih menunjukkan kalau aku hadir, bukan sekedar mau lewat.

=============================

[1] Udah dulu Ncong, istirahat dulu lah.
[2] Permisi
0

[Ngobrolin Perbedaan] Gun



Gun ngobrolin perbedaan dan kekerasan.
Follow Gun @gunpusyeng
0

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com