(21) Memikirkan Cara


Hari yang sama di minggu yang sudah berbeda. Percakapan sore itu masih teringat saja. Pemuda itu benar, dia dan ibunya salah apa? Aku tidak mengerti bagaimana bisa berjualan di bulan puasa menyebabkan kita berhak menerima perlakukan kasar. Apakah itu bahasa cinta mereka? Mungkin bahasa yang kami gunakan berbeda sehingga saya tidak bisa memahaminya.

Rasanya iba. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi mudah iba. Apakah aku sudah terlalu banyak menonton sinetron religi yang memang jamak muncul saat suasana Ramadhan seperti ini?

“Padahal saya mau kuliah tahun ini, Mbak. Uangnya masih kurang. Saya sudah satu tahun kumpulkan uang, sebentar lagi mestinya cukup.”

Apa jadinya kalau aku di posisi dia? Sepertinya kami sebaya. Tapi aku sedikit lebih beruntung. Setidaknya aku tidak perlu pusing mencari biaya kuliah. Aku tidak perlu menunda, aku hanya tinggal menerima. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya harus menabung sedikit demi sedikit hanya untuk punya uang untuk membayar biaya masuk. Iba….

Tapi lalu apa? Apakah iba saja cukup? Sebagai orang yang sedang mulai beragama, apakah aku tidak bisa melakukan apa-apa? Aku frustasi. Aku juga tidak mau sekadar memberi saja. Bagaimana kalau nanti dia dan ibunya malah tidak terima? Harus melakukan sesuatu untuk dia! Harus. Tetapi apa? Apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku memberikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com