Hari yang sama di minggu yang sudah
berbeda. Percakapan sore itu masih teringat saja. Pemuda itu benar, dia dan
ibunya salah apa? Aku tidak mengerti bagaimana bisa berjualan di bulan puasa
menyebabkan kita berhak menerima perlakukan kasar. Apakah itu bahasa cinta
mereka? Mungkin bahasa yang kami gunakan berbeda sehingga saya tidak bisa
memahaminya.
Rasanya iba. Entah kenapa akhir-akhir
ini aku jadi mudah iba. Apakah aku sudah terlalu banyak menonton sinetron
religi yang memang jamak muncul saat suasana Ramadhan seperti ini?
“Padahal saya mau kuliah tahun ini, Mbak. Uangnya masih kurang. Saya
sudah satu tahun kumpulkan uang, sebentar lagi mestinya cukup.”
Apa jadinya kalau aku di posisi dia?
Sepertinya kami sebaya. Tapi aku sedikit lebih beruntung. Setidaknya aku tidak
perlu pusing mencari biaya kuliah. Aku tidak perlu menunda, aku hanya tinggal
menerima. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya harus menabung sedikit
demi sedikit hanya untuk punya uang untuk membayar biaya masuk. Iba….
Tapi lalu apa? Apakah iba saja cukup?
Sebagai orang yang sedang mulai beragama, apakah aku tidak bisa melakukan
apa-apa? Aku frustasi. Aku juga tidak mau sekadar memberi saja. Bagaimana kalau
nanti dia dan ibunya malah tidak terima? Harus melakukan sesuatu untuk dia! Harus.
Tetapi apa? Apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku memberikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar