(11) Menjelang Buka

Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



Tak ada yang istimewa soal perjumpaanku dengan pemuda agak culun itu. Ia hanya menoleh, berbasa-basi sejenak. Lalu pergi. Sangat mungkin ia tidak akan pernah ingat lagi soal perjumpaan denganku. Sangat mungkin ia tidak akan pernah cerita sedikit pun pada orang lain soal aku, soal Boncel, apalagi soal si bunting Encut.

Di zaman sekarang, kita selalu begitu. Sama seperti aku memberi senyum termanis kepada pemberi uang ke topi lusuhku. Lalu sama sekali tak pernah ingat lagi wajah si pemberi. Sama seperti kau memberi wajah prihatin sesaat ketika melihat tubuh jeri seorang peminta. Lantas bahkan tak ingat apakah engkau memberi uang atau hanya angkatan telapak tangan.

Ya, begitulah. Sesekali aku menjumpai orang yang mau lebih dekat. Bertanya ini itu. Kujawab apa anu, sekedar membuatnya lebih prihatin. Ia pun sebenarnya hanya ingin menggali sebatas yang ia mau gali. Lalu dengan seru basa-basi, ucapan yang katanya doa, ia pergi. Mungkin merasa sudah jadi tangan Tuhan.

Tak apa. Setidaknya kita masih mencoba lebih beradab. Setidaknya kita masih saling berhormat dalam sungkan basa-basi.

Ah, sudahlah... mengapa sekarang aku berkhotbah. Mungkin karena suasana agamawi di bulan ini? Hah, sejak kapan pula aku jadi bergaya ulama? Tak pantaslah, meski cuma ulama pura-pura, meski cuma ulama kumat-kumatan.

...

Dua jam lepas perjumpaanku dengan pemuda agak culun itu. Aku kembali lagi ke lampu merah. Bersama Pat. Mengamen lagi. Juga berharap ketemu orang yang mengajak buka bersama.

Dan kami mengulang rutin kerja yang sudah dimulai pagi tadi. Menyampingi mobil yang berhenti di lampu merah, atau memasukinya ketika jalanan macet. Menyanyi satu dua lagu, salah satunya adalah lagu puasa khas Bimbo.

Sampai matahari sudah mulai merona ke sisi barat. Sampai sinarnya agak keemasan menyorot makin lembut pada kami yang ada di jalan penuh asap ini. Di situ katanya masa sejuk, menenang orang menanti hidangan berbuka.

Tapi ternyata tak selalu sesejuk yang kuinginkan. Dari sisi sinar-sinar keemasan itu, tetiba muncul segerombol manusia berkendara. Meneriak takbir. Mengepal tangan. Putih-putih, namun tak berkesan suci. Malah menakutkan. Semua orang menyisih jalan. Atau lebih tepatnya tersingkir...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com