Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
“Ya Allah, semoga setelah Ramadhan saya punya biaya.”
Aku bangkit dan membereskan sajadah itu alakadarnya. Kueratkan jaket sekitar dada. Dingin, bekas hujan di luar sana. Matahari pun masih lama akan tiba. Lepas subuh ini baiknya aku beristirahat lagi saja. Supaya kuat menghadapi puasa pertama.
Baru aku akan ke kasur lagi seperti biasa. Sayang sekali benda itu terlintas di depan mata. Mestinya aku pura-pura tak lihat saja. Tapi tak bisa. Aku kepalang memikirkannya.
Sebuah ijazah SMA. Masih ada di tempat yang sama. Tepat di atas meja. Sejak setahun lalu tentu aku tidak lupa. Selama itulah aku masih di rumah saja. Ingin sebetulnya kuliah di tempat terkemuka, namun ditahan hanya oleh biaya.
Pengangguran itu seperti ini rupanya. Hanya bisa bantu kerjaan orangtua di warung bakso milik keluarga. Seringnya bosan segala rupa. Ingin rasanya mendapat beasiswa. Ingin sekalian kuliah di luar Indonesia.
Ini adalah kalut yang tak kunjung reda. Ini soal masa muda, yang terhenti dari cita-cita, dan belum menentukan akan ke mana. Terkatung-katung di berbagai antara.
Meski ibuku tak memaksa, aku sadar diri juga. Setelah setahun lalu ayah tiada, kini ibu yang kerepotan bekerja. Mengurus bakso dari dekorasi sampai cita rasa. Mana mungkin aku tega?
Huh bukannya tidur malah berpikir ke mana-mana.
Aku memalingkan diri dari kamar secepatnya. Melengos ke ruang keluarga. Televisi ternyata masih menyala. Kumatikan saat itu juga.
Aku lanjut ke kamar orangtua. Pintunya sedikit terbuka. Ada mukena dan sajadah di lantai sana. Seorang perempuan tidur dengan pulasnya. Ibu, aku ingin membuatmu bahagia. Aku harus menemukan cara. []
“Ya Allah, semoga setelah Ramadhan saya punya biaya.”
Aku bangkit dan membereskan sajadah itu alakadarnya. Kueratkan jaket sekitar dada. Dingin, bekas hujan di luar sana. Matahari pun masih lama akan tiba. Lepas subuh ini baiknya aku beristirahat lagi saja. Supaya kuat menghadapi puasa pertama.
Baru aku akan ke kasur lagi seperti biasa. Sayang sekali benda itu terlintas di depan mata. Mestinya aku pura-pura tak lihat saja. Tapi tak bisa. Aku kepalang memikirkannya.
Sebuah ijazah SMA. Masih ada di tempat yang sama. Tepat di atas meja. Sejak setahun lalu tentu aku tidak lupa. Selama itulah aku masih di rumah saja. Ingin sebetulnya kuliah di tempat terkemuka, namun ditahan hanya oleh biaya.
Pengangguran itu seperti ini rupanya. Hanya bisa bantu kerjaan orangtua di warung bakso milik keluarga. Seringnya bosan segala rupa. Ingin rasanya mendapat beasiswa. Ingin sekalian kuliah di luar Indonesia.
Ini adalah kalut yang tak kunjung reda. Ini soal masa muda, yang terhenti dari cita-cita, dan belum menentukan akan ke mana. Terkatung-katung di berbagai antara.
Meski ibuku tak memaksa, aku sadar diri juga. Setelah setahun lalu ayah tiada, kini ibu yang kerepotan bekerja. Mengurus bakso dari dekorasi sampai cita rasa. Mana mungkin aku tega?
Huh bukannya tidur malah berpikir ke mana-mana.
Aku memalingkan diri dari kamar secepatnya. Melengos ke ruang keluarga. Televisi ternyata masih menyala. Kumatikan saat itu juga.
Aku lanjut ke kamar orangtua. Pintunya sedikit terbuka. Ada mukena dan sajadah di lantai sana. Seorang perempuan tidur dengan pulasnya. Ibu, aku ingin membuatmu bahagia. Aku harus menemukan cara. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar