Penasaran Soal Syiah, Bertanyalah kepada Syiah

Oleh: Neng Nuraini



“Selamat datang..” sambut Pak Syamsuddin Baharudin hangat, saat saya dan rombongan Sahabat Lintas Iman (SALIM) mengunjunginya di Kiaracondong, Bandung, Januari lalu.

Pak Syamsuddin adalah Ketua Umum PP Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Dia ditemani sejumlah rekan ketika menerima kami yang berasal dari berbagai mazhab, Sunni (dari NU dan Muhammadiyah), Syiah, dan Ahmadiyah.

“Saya harus mengapresiasi kawan-kawan semua, yang mau melakukan upaya-upaya untuk berdialog lintas iman, dari berbagai kalangan. Saya respect kalo teman-teman SALIM memulainya dari kalangan muda,” papar Syamsuddin, sambil menambahkan hal ini saya sangat bagus.

Selain dialog-dialog seperti ini, menurutnya perlu dilakukan kampanye untuk kaum muda. “Ketika teman-teman SALIM bersilaturahmi pada kawan-kawan Muslim Syiah, atau Ahmadiyah, menurut saya penting untuk dikampanyekan ke publik, agar mengurangi kesalahpahaman terhadap kelompok-kelompok seperti Muslim Syiah dan Ahmadiyah,” jelasnya.

Dia menekankan penting untuk mengetahui Syiah dari sumber-sumber objektif Syiah. Banyak di sosial media yang menghakimi Syiah dari sumber-sumber yang memang anti Syiah. “Itu yang menurut saya tidak pas dan tidak membangun jembatan dialog,” kata dia.

“Tidak fair Anda menilai Syiah dari kalangan orang-orang yang tidak mengetahui tentang Syiah, bahkan dari orang-orang yang benci terhadap Syiah.”

Ada satu buku yang menurutnya bagus untuk dibaca, salah satunya bukunya Pak Quraisy Shihab ‘Sunni Syiah Bergandengan Tangan’.



Salah satu kawan SALIM kemudian bertanya:

“Upaya apa yang dilakukan IJABI untuk menangkal kelompok-kelompok radikal?”

Pak Syamdudin menjelaskan upayanya untuk berdialog kepada orang-orang yang kekurangan informasi tentang Syiah. Namun ada saja kelompok yang tidak suka terhadap Syiah, bukan karena tidak tahu, tapi lebih dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.

“Kita tidak bisa membangun dialog pada orang yang tidak ingin berdialog. Bagaimana kita bisa berdialog pada orang yang menghakimi kita? Biarlah yang sepeti itu menjadi tugas aparat hukum,” ujarnya kepada kami.

“Kalo ada cara-cara yang radikal dalam mengatasi perbedaan, itu bukan tugas kita, tapi tugas aparat hukum. Tugas kami adalah menghadapi orang yang memang mau membuka dialog,” jelasnya lagi.

Kawan SALIM lain kemudian menceritakan pengalamannya, “Saya ini sering bersilaturahmi kepada kawan-kawan non-Muslim, seperti Nasrani, Baha’i, dan lainnya. Saya foto-foto, kan, lalu saya posting, saya dicap macem-macem sama mereka, Pak.”

“Bagi orang-orang seperti Anda ini, yang mau membangun jembatan dialog, pasti akan mempunyai resiko yang besar. Pertama paling langsung dicap, diberi label. Orang yang berusaha memahami suatu kelompok yang dikecam, kelompok sumbu pendek pasti akan menggolongkannya sama dengan kelompok itu. Siap-siap saja anda dengan resiko itu. karena setiap pilihan, pasti ada resikonya,” paparnya.

“Bagaimana sih Sunni-Syiah itu Pak?” tanya yang lain.

Pak Syamsuddin mengutip jawaban Jalaluddin Rakhmat, “Perbedaan Sunni-Syiah itu, kalo orang Syiah percaya bahwa nabi sebelum wafat berwasiat, kalo orang Sunni tidak percaya nabi berwasiat. Wasiat di situ wasiat tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan setelah Nabi wafat,” pungkasnya.

Dia menganjurkan kami membaca buku ustadz Jalaludin Rakhmat ‘Misteri Wasiat Nabi’.

Pak Syamsuddin mengatakan yang sering diributkan orang-orang di sosial media itu adalah perbedaan pada cabang-cabangnya saja, bukan pada akar persoalannya.

Pernah wartawan Bangladesh, bukan Syiah, mengunjungi Iran. Ia ingin tahu, betulkah kehidupan orang-orang Sunni seperti yang digambarkan orang-orang, dibantai, dan lain sebagainya. Ia melakukan reportase ke tempat-tempat Iran yang mayoritasnya orang Sunni, dan menemukan tidak benar semua itu.

“Orang-orang Syiah ternyata hidup berdampingan dengan orang-orang Sunni disana,” paparnya.

Selang beberapa detik, kawan SALIM ada yang bertanya kembali:

“Pak, saya pernah melakukan penelitian, di daerah Sumedang itu Asyura sudah menjadi tradisi dan merupakan nafas kehidupan bagi mereka. Nah, saya ingin tahu, bagaimana sebenarnya Asyura itu, katanya kemarin-kemarin ada yang membubarkan peringatan Asyura ke sini?” tanya anggota SALIM yang lain.

Kali ini, giliran rekan Pak Syamsuddin yakni Ustadz Miftah Rakhmat yang menjawab, Asyura di Bandung sebenarnya sudah ada sejak tahun 1987 dan berjalan baik. Hanya setelah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS) berdiri, mulai terjadi penolakkan peringatan Asyuro oleh kelompok itu di berbagai daerah di Indonesia.

“Terakhir, terjadi penolakkan Asyuro oleh PAS, orang-orang yang sama dengan yang membubarkan KKR,” katanya.

“Kami sampaikan ‘Kalau kami melanggar hukum, mangga ditangkap, alasannya apa? Tidak boleh melakukan kegiatan, apa dasarnya? Kalo kami memang melakukan kesalahan, silahkan saja diproses’,” tegasnya lagi.

Ustadz Miftah menegaskan komunitasnya tunduk pada peraturan. Kata dia, “Di antara pilar IJABI adalah ‘Islam Madani’. Artinya, berbangsa dan bernegara itu sudah merupakan kewajiban menjalankan agama. Kita, orang Islam, harus patuh pada perjanjian. Bagi kami, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) juga merupakan perjanjian bersama anak bangsa.”

Dia menjelaskan salah satu contoh perjanjian adalah ketika kita menandatangani KTP, yang artinya siap patuh dan taat pada peraturan negeri ini. Punya KTM, berarti siap patuh pada tata tertib kampus. Punya SIM, berarti siap patuh pada tata tertib lalu lintas. Sederhana.

“Terkait isu Syiah, isu Asyura itu memang malah menjadi dagangan, dimanfaatkan oleh yang mempunyai kepentingan,” ringkasnya.



Kawan SALIM lain penasaran dengan kabar bahwa Syiah sendiri terbagi-bagi.

Ustadz Miftah menjelaskan, “Bergolongan-golongan itu sudah tantangan bagi setiap kita. Hampir semuanya bergolong-golongan.”

Dia berpendapat kelompok-kelompok itu muncul karena ada ego. Dia menjelaskan, dalam Syiah, secara ilmiyah, ada yang disebut Syiah Isma’iliy, Zaidiy. Meski harus diverifikasi, kebanyakan 90% Syiah itu Syiah 12 Imam atau biasa disebut Syiah Itsna’ ‘Asyariyah, Syiah Imamiyah, Syiah Ja’fariyah.

Kata dia, kalaupun ada istilah Isma’iliy atau Zaidiy barangkali dulu masih belum ada yang terima kalau kepemimpinan Imam tertentu. Karena pada waktu itu para Imam dikejar-kejar oleh para musuh, mungkin terjadilah kesamaran.

“Tetapi kami belajar kepada keluarga Nabi Muhammad SAW yang suci, itu untuk belajar taat dan patuh. Nabi memberitahu akan ada seorang pemimpin setelahnya, ya kami patuh,” tandasnya.

“Kita bergama itu harus taslim, menyerahkan diri, pasrah, kepada Baginda Nabi, taat setaat-taatnya,” katanya lagi.

Sementara itu, rekan pak Syamsuddin yang lain, Pak Hesyti, ditanya seputar masalah yang terjadi pada Syiah dan menjawab, “Islam itu adalah rahmatan lil’aalamiin (kebaikan bagi seluruh alam, red). Ketika ada yang menyakiti kita, kita memafkan dengan mudah. Orang mau benci kita, itu bukan urusan kita, itu urusan dia.”

“Permusuhan itu sebenarnya harus diredam. Kita lakukan sesuatu yang membuat persatuan, salah satunya dengan silaturahmi. Tampillah sebaik-baiknya, sehingga mereka bisa merasakan perilaku kita. Terkait menghakimi orang lain, saya tidak ingin menisbahkan label pada orang lain, karena saya juga tidak ingin dinisbahkan oleh orang lain,” tutupnya.

Begitulah poin-poin yang penulis catat selama berdiskusi dengan pengurus IJABI. Penulis berharap, setelah tulisan ini dibaca, tidak ada prasangka-prasangka negatif lagi terhadap kawan kita Muslim Syi’ah. Semoga kerukunan berkeyakinan selalu terjalin di negeri kita yang indah karena keberagamannya. Bersatulah, dan berdiskusilah. Karena diskusi merupakan jembatan menuju satu titik temu yang selalu kita bingungkan.

Damailah... Damai selalu wahai umat yang satu.

Terakhir, penulis ucapkan pada kawan-kawan SALIM.

Selamat berjuang.. Selamat menjadi jembatan perdamaian..

Editor : Rio Tuasikal/@riotuasikal
3

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com