(5) Duh Gusti, fiuhhh....,

Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun

 [Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]



Matahari masih merah bata. Aku masih malas-malas beranjak dan Encut...eh, kemana dia? Hmmm, mungkin si bunting hitam itu sedang cari jatah sarapan dari warung-warung. Tentu dengan keahliannya bermeong lirih. Tapi bodohnya dia adalah tak tahu waktu manusia. Mana ada warung makan yang buka di siang pertama bulan puasa. Ah, Ncut...Ncut, nikmatilah kebodohanmu.

Dan... Pat datang lagi ke arahku.

Hayuk atuh, Jul, [1]” bujuknya entah untuk yang keberapa kali. Aku masih diam. Menimbang-nimbang usul yang toh sudah pernah kami lakukan sebelumnya.

Ya, Pat mengajak untuk ngamen lagi. Di jalan raya, dengan nuansa lagu Islami. Berharap karena bulan puasa, kami bakal menjaring rejeki khusus.

Aku malas sebenarnya. Selain muak karena harus bersandiwara jadi orang saleh yang melarat, kakiku juga semakin sakit belakangan ini. Entah kenapa.

Oh, yang belum kau ketahui, kaki kananku memang dari dulu bermasalah. Aku selalu berjalan agak terseok. Yah, tapi jangan tanya aku apa masalahnya. Aku tak pernah tahu istilah dokter atau bahasa keren dari sakitku ini.

Sekarang aku bakal lebih suka duduk lama di satu tempat dari pada jalan ngamen sana-sini. Tapi, Pat butuh sekali kerjaan. Ia tidak mungkin mangkal selama satu bulan ke depan. Tak mungkin pula mempertahankan dandanan norak-ngejerengnya, pamer-pamer tubuh semok palsunya. Kalau masih mau makan, ia harus pakai kerudung. Harus pula menyuara-sengaukan lagu-lagu Islami.

Jul, urang teh tos teu boga duit pisan. Pan nu kamari tos teu mangkal. Kumaha atuh, Jul?”[2]

Aku masih mematung



Duh, Gusti... fiuhhh,[3] ” doa Pat hanya diakhiri helaan nafas. Tapi mungkin Dia yang katanya Maha Mendengar itu tahu makna kata-kata tak terucapkan. Kata-kata yang hanya diwakili oleh “fiuhhh...”, helaan nafas pasrah.

Ya,nggeus, hayuk!, [4]” entah dari mana niatku tiba-tiba mengucapkan itu.

Kami pun berangkat. Izin dulu ke Opik, si Jenggot Norak. Lalu berbelok, ke dekat lampu merah M, jatah yang si Jenggot itu hibahkan bagi kami.

Aku terus berjalan dengan banyak seokan. Sakit sekali sebenarnya... semakin lama, seiring tiap seokan langkah lamat-lamat aku menggumam doa: “Duh Gusti, fiuhhh...,” Dan sejujurnya aku memang tak pernah tahu bagaimana harus mengakhiri doa selain dengan menghela nafas “fiuhhhh...”.

Doamu mungkin jauh lebih baik?
___________________

[1] Ayo donk, Jul.
[2] Jul, aku udah tidak punya uang lagi. Kemarin kan sudah gak mangkal, gimana donk?
[3] Ya Tuhan... fiuhhhhh,
[4] Ya sudah, ayo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com