Oleh Rio Tuasikal / @riotuasikal
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Aku duduk di warung sendirian saja. Dari kaca etalase yang pecah sebelah, aku menatap gedung sekolah di seberang sana. Aku jengkel ke mana-mana. Entah kenapa.
Sudah tiga hari ibu menolak berjualan bakso, kolak atau yang lainnya. Dia takut sekaligus merasa terhina. Tiga hari ini, seusai dirinya sembahyang, ibu hanya akan duduk di dapur semata. Selain duduk dan berdoa, dia tak lagi melakukan apa-apa.
Seharusnya aku sudah pertimbangkan sejak lama. Bahwa kelompok itu bisa saja datang tiba-tiba. Membawa sumpah serapah merajalela. Menolak penjelasan apa-apa. Dan seenaknya menghancurkan segalanya.
Alih-alih mendapat tambahan biaya, kini tabungan untuk kuliahlah yang dipakai makan kami berdua. Plus, mengganti kaca etalase yang terbelah jadi tiga.
Aku heran tanpa jeda. Padahal tak ada sedikit pun niatku untuk tidak menghormati yang berpuasa. Toh aku seorang muslim juga. Lagi pula, selama kemarin warung dibuka, ada juga yang berkerudung dan hanya lewat seperti biasa. Tak ada, misalnya, yang tiba-tiba batal puasa hanya karena ada bakso di depan mata.
Aku bertanya. Apakah betul membuka warung itu berdosa? Apakah kami tidak boleh berjualan kepada orang yang tidak berpuasa? Padahal mereka juga perlu makan seperti biasa. Dan mereka bilang mencari makan siang itu sulit luar biasa.
Aku ingin mendengar langsung, apa betul Tuhan tidak suka? Atau kelompok itu saja yang merasa mendapat mandat dari Yang Maha Kuasa untuk memaksakan pendapat mereka?
Aku bergerak ke trotoar, tempat aku bisa melihat langit dengan leluasa.
Aku membayangkan semua bisa berpuasa, dan tidak berpuasa, atas kehendaknya saja. Bukan karena paksaan atau ancaman dari pihak lainnya. Aku membayangkan orang-orang memberi rasa hormat pada semua. Menghargai orang yang berpuasa, juga yang tidak, atas dasar sukarela. Bukan terpaksa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar