(3) Satu

Oleh Ria Apriyani / @GRiaA_

[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]


Siang ini mendung plus plus. Plus dingin, plus gelap, plus rasa ingin cepat pulang. Kalau aku ada di dalam kelas, mungkin plus plus ini tidak akan terlalu mengganggu. Tapi sayangnya aku di luar, menunggu bersama dengan para penjemput yang lain. Sudah sejak setengah jam yang lalu, kapan kelas ini bubar?

Origami-origami berbentuk burung dengan berbagai warna tergantung di jendela kelas. Sticker dengan berbagai bentuk pun tertempel di kaca jendela menambah semarak dekorasi. Yang paling menarik perhatianku adalah sticker Mickey Mouse bercelana merah, tanpa baju. Apa dia tidak kedinginan bertelanjang dada di cuaca seperti ini?

“Coba Ibu tanya, siapa di antara kalian yang masih puasa?”seru seseorang yang biasa disapa Bu Guru, tanpa banyak yang tahu siapa nama sebenarnya.

“SAYA! SAYA! SAYA!”sahut anak-anak sambil beradu mengacungkan jari paling tinggi.

“Wah, banyak ya…. Hebat semuanya! Siapa yang senang di sekolah hari ini…?”

“SAYA BU! SAYA! SAYA!” Anak-anak itu kembali beradu suara dan acungan jari.

Aku memandangi wajah anak-anak itu. Tiga belas sampai empat belas tahun dari sekarang, mereka belum tentu sebahagia itu bila mengingat sekolah. Dulu, aku juga pernah seriang mereka. Tapi sekarang setelah keluar dari sekolah dan berhadapan dengan dunia nyata, aku hanya bisa bertanya-tanya, “Apa saja hal berguna yang sudah diajarkan sekolah kepadaku dulu?”

Aku merenung. Kupikir hampir tidak ada yang berguna bagiku sekarang. Bagiku, sekolah tidak ubahnya sebuah sangkar emas. Aku diajari ini dan itu mengenai masyarakat, mengenai dunia luar. Bagaimana masyarakat yang ideal, pemerintahan yang mengayomi, Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi aku tidak pernah diajari bagaimana harus bertahan ketika menemukan bahwa pada kenyataannya, dunia luar tidak seideal konsep yang diajarkan di sekolah. Selama sekolah aku dijauhkan dari kenyataan, tidak pernah dibiarkan bersentuhan.

Tiga belas sampai empat belas tahun dari sekarang, anak-anak di dalam kelas itu pun akan mengalaminya. Aku harap saat itu mereka tahu bagaimana caranya bertahan.

Kelas bubar. Objek yang sedari tadi aku tunggu kini berlari menghampiriku. Dua kuncir di kanan kiri kepalanya ikut bergoyang.

“Kok Kakak yang jemput? Ibu mana?”

“Ibumu lagi banyak pesanan jadi nggak sempat jemput. Senang tadi di sekolah?”

“Senang Kak! Tadi Sisy diajari mewarnai gambar pakai pelepah pisang. Gambarnya kodok, terus Sisy warnai pink. Bagus deh! Tapi kata teman Sisy kodok itu nggak ada yang warnanya pink. Jadi kodok warnanya nggak boleh pink. Emang benar ya Kak?”

Aku menatap matanya dan tersenyum. “Boleh-boleh saja kok.”

Sisy berhak berimajinasi lebih lama lagi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com