Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Beberapa hari lalu kolak pisang, yang kalau
bulan puasa berubah nama jadi ta’jil,
disodorkan padaku. Tanpa air minum sebelumnya. Ya, panitia acara buka
puasa yang di dekat gereja itu mungkin belum paham betul kebiasaan buka puasa
di sini. Tapi kugragas saja, toh aku tak berpuasa. Semuanya langsung disambung
nasi kotak bermenu lengkap.
Hari ini semangkuk mie bakso, dengan
kuahnya yang kental berkaldu, juga disodorkan padaku. Aku menatap wajah
pemberinya. Ia pemuda culun yang dulu pernah menghampiri kediaman kami. Ia,
yang dulu kuanggap menjijiki kami dalam ketakpeduliannya yang meninggalkan kami
begitu saja.
Bulan puasa ini aku menerima banyak
pemberian. Kadang tak diduga.
“Hatur
Nuhun Aa’ [1],” seruku. Ia tersenyum, agak tak bernada rasa.
Tapi tunggu… bukankah warungnya ini yang
dulu dirusak sama kaum berjubah? Kuamat-amati, ya nampaknya ada suasana baru
diperbaiki di sini…
“Aa, kemarin teh warungnya kena razia ya?, ” aku memastikan.
“Aa, kemarin teh warungnya kena razia ya?, ” aku memastikan.
“Iya
Kang, kacahnya pecah…,” serunya datar.
Kumakan mie bakso itu pelan-pelan. Duduk di
depan warungnya. Diam, menikmati suasana sehabis azan maghrib di satu sudut
kota ini. Kental kaldu itu kini mengaduk-aduk pikiranku…
Aku teringat kata-kata Pak Ustad sewaktu
acara buka puasa di dekat gereja itu:
“Puasa mengajarkan pada kita untuk berbagi dalam kekurangan… Memberi dalam kekurangan dan keprihatinan itu memperkaya diri, melampaui kekayaan harta duniawi….”
Kuingat wajah teduh Pak Ustad. Wajah ceria anak-anak panti asuhan dan juga anak jalanan yang diundang… wajah senyum tulus para panitia acara yang mengajakku… dan kini wajah senyum meski sulit dari pemuda yang agak culun ini. Betapa pemberian tulus memang punya kekuatan dan keteduhannya sendiri.
“Puasa mengajarkan pada kita untuk berbagi dalam kekurangan… Memberi dalam kekurangan dan keprihatinan itu memperkaya diri, melampaui kekayaan harta duniawi….”
Kuingat wajah teduh Pak Ustad. Wajah ceria anak-anak panti asuhan dan juga anak jalanan yang diundang… wajah senyum tulus para panitia acara yang mengajakku… dan kini wajah senyum meski sulit dari pemuda yang agak culun ini. Betapa pemberian tulus memang punya kekuatan dan keteduhannya sendiri.
Lantas kupikir-pikir kebaikan apa yang bisa
kuberi… Heiii, kenapa aku tak pernah
berpikir seperti itu lagi belakangan ini? Selalu kukira ku tak mampu
memberi… Ah, harus bisa, setidaknya buat yang lebih butuh.
“Nuhun
ya Aa, keur susah kieu
Aa’ teh tetep we ngabere. Mogi Gusti Allah ngaluluskeun doa Aa’ sakaluarga…[2]”
“Ya,
sama-sama Kang…”
Aku berbenah pergi. Aku sudah memutuskan
mau memberi kebaikan apa kepada siapa…
Hmm… kalau saja
bulan puasa semua orang selalu berpikir begini…[]
[1] Terimakasih Mas.
[2] Makasih ya Mas, lagi
susah begini Mas tetap memberi. Semoga Tuhan melancarkan doa Mas
sekeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar