Oleh Rio Eka Kusuma / @RioEkaKusuma
Menurut asal katanya pluralisme berasal dari bahasa inggris pluralism. Definisi pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu. Percuma saja jika Presiden Amerika Serikat memuji Indonesia karena demokrasi yang digembar-gemborkannya jika kekerasan bermotif agama masih kerap terjadi di negara ini.
Tetapi saya tekankan dalam pandangan saya pribadi bahwa pluralisme tidak mengesahkan pula tentang atau terhadap ajaran agama yang dibelokkan. Tidak, saya tidak sama sekali memasukkan yang seperti itu.
Pertikaian antar umat beragama sebetulnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Diakui atau tidak Indonesia sudah plural sebelum kata plural itu masuk ke Indonesia. Jauh kata plural Indonesia merambah Indonesia, masyarakat kita sudah plural, sudah majemuk dari segala sisi. Bahkan dalam kitab Sutasoma ada kata bhinneka tunggal ika yang berarti sejak dahulu masyarakat Indonesia sudah majemuk tidak hanya dalam berkeyakinan tetapi juga tata laku kehidupan, yang menyatukan dari keragaman tersebut adalah kesatuan wadah berupa tanah air yang menjadi tempat tinggal mulai dari lahir sampai mati.
Kekerasan agama sebenarnya juga tidak terkait pada diri agama itu sendiri, sebaliknya hal itu banyak disebabkan oleh faktor lain yang berasal dari luar agama tersebut. Pada dasarnya agama apapun diturunkan ke bumi untuk menciptakan kedamaian diantara umat manusia, lalu mengapa banyak pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama dan Tuhan? Begitulah manusia yang seringkali salah memahami Tuhan. Banyak hal yang mereka kira perintah Tuhan, ternyata bukan. Begitu juga sebaliknya yang mereka kira bukan ajaran Tuhan, ternyata itulah perintah Tuhan. Sikap salah memahami Tuhan inilah yang melahirkan intoleransi dan eksklusivisme.
Eksklusivisme yang merupakan suatu paham yang menganggap kebenaran hanya ada dan berada pada agama yang dianutnya sedangkan agama lain dicap sesat atau kafir telah membentuk suatu paham keagamaan yang tidak bisa mengembangkan dialog dan toleransi, dan telah membentuk bagian kelam dalam sejarah umat manusia yaitu perang dan konflik. Jika dilihat dari segi sosiologis, klaim kebenaran dan keselamatan agama itu hanyalah memicu terjadinya konflik sosial dan politik. Dalam upaya mengatasi keadaan itulah kemudian muncul konsep pluralisme dan inklusivisme yang menjunjung tinggi kemajemukan dan kesetaraan, yang meniadakan superioritas antar ras, etnis, suku, atau kelompok sosial lainnya.
Dengan adanya paham agama yang plural, inklusif dan toleransi, maka akan disadari bahwa semua agama adalah sebuah jalan yang berbeda namun tetap menuju Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usaha mewujudkan sikap pluralisme dan inklusivisme ini memang diperlukan adanya suatu sikap terbuka dengan setiap pandangan agama lain. Pluralisme dan inklusivisme ini lebih menjanjikan dalam upaya menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik. Inti dari kedua paham ini sama: menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan dan menciptakan kedamaian di dunia ini. Meskipun pluralisme menuai pro dan kontra terutama di kalangan agamawan, kaum pluralis sendiri tidak begitu peduli dengan hal tersebut. Sebab para pluralis ini pun menyadari bahwa masih ada sebagian masyarakat yang memegang teguh ideologi leluhurnya meskipun ideologi itu jauh dari sikap-sikap toleran.
Mengembangkan masyarakat yang toleran tidaklah mudah, sebab dalam sejarah manusia, sejarah intoleranlah yang lebih dominan. Peristiwa demi peristiwa dari masa ke masa tiada henti menampilkan tindakan intoleransi dan hal tersebut turut mempengaruhi agama yang karena keadaan demikian sejarah agama-agama pun menjadi sejarah panjang intoleransi. Karena itu, membangun masyarakat yang penuh toleransi dengan paham pluralisme harus menjadi tugas utama dalam upaya menciptakan perdamaian antar umat beragama.
Saya percaya bahwa dengan pluralisme, inklusivisme dan demokrasi akan menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan umat manusia dalam keberagamannya.
Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu. Percuma saja jika Presiden Amerika Serikat memuji Indonesia karena demokrasi yang digembar-gemborkannya jika kekerasan bermotif agama masih kerap terjadi di negara ini.
Tetapi saya tekankan dalam pandangan saya pribadi bahwa pluralisme tidak mengesahkan pula tentang atau terhadap ajaran agama yang dibelokkan. Tidak, saya tidak sama sekali memasukkan yang seperti itu.
Pertikaian antar umat beragama sebetulnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Diakui atau tidak Indonesia sudah plural sebelum kata plural itu masuk ke Indonesia. Jauh kata plural Indonesia merambah Indonesia, masyarakat kita sudah plural, sudah majemuk dari segala sisi. Bahkan dalam kitab Sutasoma ada kata bhinneka tunggal ika yang berarti sejak dahulu masyarakat Indonesia sudah majemuk tidak hanya dalam berkeyakinan tetapi juga tata laku kehidupan, yang menyatukan dari keragaman tersebut adalah kesatuan wadah berupa tanah air yang menjadi tempat tinggal mulai dari lahir sampai mati.
Kekerasan agama sebenarnya juga tidak terkait pada diri agama itu sendiri, sebaliknya hal itu banyak disebabkan oleh faktor lain yang berasal dari luar agama tersebut. Pada dasarnya agama apapun diturunkan ke bumi untuk menciptakan kedamaian diantara umat manusia, lalu mengapa banyak pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama dan Tuhan? Begitulah manusia yang seringkali salah memahami Tuhan. Banyak hal yang mereka kira perintah Tuhan, ternyata bukan. Begitu juga sebaliknya yang mereka kira bukan ajaran Tuhan, ternyata itulah perintah Tuhan. Sikap salah memahami Tuhan inilah yang melahirkan intoleransi dan eksklusivisme.
Eksklusivisme yang merupakan suatu paham yang menganggap kebenaran hanya ada dan berada pada agama yang dianutnya sedangkan agama lain dicap sesat atau kafir telah membentuk suatu paham keagamaan yang tidak bisa mengembangkan dialog dan toleransi, dan telah membentuk bagian kelam dalam sejarah umat manusia yaitu perang dan konflik. Jika dilihat dari segi sosiologis, klaim kebenaran dan keselamatan agama itu hanyalah memicu terjadinya konflik sosial dan politik. Dalam upaya mengatasi keadaan itulah kemudian muncul konsep pluralisme dan inklusivisme yang menjunjung tinggi kemajemukan dan kesetaraan, yang meniadakan superioritas antar ras, etnis, suku, atau kelompok sosial lainnya.
Dengan adanya paham agama yang plural, inklusif dan toleransi, maka akan disadari bahwa semua agama adalah sebuah jalan yang berbeda namun tetap menuju Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usaha mewujudkan sikap pluralisme dan inklusivisme ini memang diperlukan adanya suatu sikap terbuka dengan setiap pandangan agama lain. Pluralisme dan inklusivisme ini lebih menjanjikan dalam upaya menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik. Inti dari kedua paham ini sama: menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan dan menciptakan kedamaian di dunia ini. Meskipun pluralisme menuai pro dan kontra terutama di kalangan agamawan, kaum pluralis sendiri tidak begitu peduli dengan hal tersebut. Sebab para pluralis ini pun menyadari bahwa masih ada sebagian masyarakat yang memegang teguh ideologi leluhurnya meskipun ideologi itu jauh dari sikap-sikap toleran.
Mengembangkan masyarakat yang toleran tidaklah mudah, sebab dalam sejarah manusia, sejarah intoleranlah yang lebih dominan. Peristiwa demi peristiwa dari masa ke masa tiada henti menampilkan tindakan intoleransi dan hal tersebut turut mempengaruhi agama yang karena keadaan demikian sejarah agama-agama pun menjadi sejarah panjang intoleransi. Karena itu, membangun masyarakat yang penuh toleransi dengan paham pluralisme harus menjadi tugas utama dalam upaya menciptakan perdamaian antar umat beragama.
Saya percaya bahwa dengan pluralisme, inklusivisme dan demokrasi akan menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan umat manusia dalam keberagamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar