Oleh Siddika Tahira**
‘Cintai Produk Indonesia!’
Seketika aku mendengus membaca banner besar yang aku lihat di sepanjang perjalananku menuju sekolah. Entah kenapa itu kedengarannya munafik. Aku sendiri tak merasa mencintai Indonesia sebesar itu, dan benakku dengan keras mendukung bahwa pasti tak semua pejabat pemerintah pun sama konsistennya dengan apa yang mereka suarakan. Aku tak tahu bagaimana nada bicaraku ini, apa tampak seperti pengkhianat bangsa?
Kenangan masa lalu membekas dengan jelas di ingatanku. Bisa dibilang, aku ini saksi dan juga korban kekerasan bermotif agama dan keyakinan sejak aku masih kecil. Sebagai seorang Ahmadi keturunan, aku tahu benar setiap cerita penyerangan di daerah tempat aku tinggal semasa kecil. Karena dulu rumah almarhumah nenekku tepat di depan masjid tempat kami beraktivitas dan beribadah.
Mulai dari cerita yang aku dengar, sampai ke cerita yang aku rasakan, dan kulihat sendiri runtut kejadiannya. Aku rasa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Termasuk, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 6, aku melihat sendiri dengan kedua mataku bagaimana beberapa puluh orang bersorban putih sambil berteriak-teriak tak karuan melempari masjid kami dengan batu dan berusaha menghancurkannya, seolah itu adalah tempat yang hina. Bagaimana bisa mereka berbuat seperti itu?
Aku juga melihat—meski hanya lewat siaran televisi—bagaimana saudara-saudaraku yang sedang mengikuti pertemuan tahunan atau Jalsa Salana di Parung, Bogor, diperlakukan begitu kejam seperti mereka adalah orang-orang jahat yang patut dihukum.
“Padahal apa yang mereka lakukan?”
Mereka hanya mempertahankan tempat mereka, hak mereka dan melindungi saudara mereka yang lain di sana. Perlahan tanpa aku sadari, aku memupuk kebencian halus kepada negeri tempat aku bernaung selama ini.
Yang paling pahit yang pernah aku rasakan adalah ketika aku masih duduk di bangku SMP kelas 9. Aku baru saja pulang dari SMAN 1, sehabis mengikuti perlombaan bahasa Inggris bersama teman-teman. Aku ingat, hari itu ketika pulang sekolah aku masih menggunakan baju seragam olah raga—bercelana biru pendek dan kaos berwarna sama juga dengan lengan pendek—dan salim kepada papah sambil menunjukkan senyuman beseri karena dapat meraih juara III.
Namun seketika itu senyumku sirna, hilang begitu saja, kala menengok televisi yang ditonton papah sedang menayangkan berita kasus penyerangan Cikeusik. Aku terhenyak. Aku sebenarnya tak terlalu paham, namun yang segera muncul di batinku adalah, “Ada apa lagi sih?”
Aku terduduk di samping papah dengan mata masih tertuju ke televisi. Mendadak dadaku begitu perih.
Berhari-hari berita penyerangan itu menjadi hot news di mana-mana. Setiap jam, setiap waktu, dan hampir di setiap tempat, semuanya membicarakan itu. Tak luput juga pembicaraan serupa pernah aku dengar di sekolah.
Ketika aku masuk ke ruang guru hendak menyampaikan tugas kepada guru Biologi. Aku dengan jelas melihat wajah serius mereka yang turut mendengarkan pendapat (Almh.) Bu Hj. Yetty, selaku salah satu guru senior—yang muslim—di sekolah Katholik ini.
“Wuihh! Sadis banget itu yang di Cikeusik…”
Aku sempat terdiam sesaat setelah mendengarnya. Batinku kembali bergejolak, dan entah kenapa ada rasa sakit yang bersarang di dadaku setiap mengingatnya lagi. Sambil berjalan keluar aku masih terus memikirkannya dan berusaha menenangkan diriku sebaik mungkin.
---
Bersambung ke bagian 2
Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4
Seketika aku mendengus membaca banner besar yang aku lihat di sepanjang perjalananku menuju sekolah. Entah kenapa itu kedengarannya munafik. Aku sendiri tak merasa mencintai Indonesia sebesar itu, dan benakku dengan keras mendukung bahwa pasti tak semua pejabat pemerintah pun sama konsistennya dengan apa yang mereka suarakan. Aku tak tahu bagaimana nada bicaraku ini, apa tampak seperti pengkhianat bangsa?
Kenangan masa lalu membekas dengan jelas di ingatanku. Bisa dibilang, aku ini saksi dan juga korban kekerasan bermotif agama dan keyakinan sejak aku masih kecil. Sebagai seorang Ahmadi keturunan, aku tahu benar setiap cerita penyerangan di daerah tempat aku tinggal semasa kecil. Karena dulu rumah almarhumah nenekku tepat di depan masjid tempat kami beraktivitas dan beribadah.
Mulai dari cerita yang aku dengar, sampai ke cerita yang aku rasakan, dan kulihat sendiri runtut kejadiannya. Aku rasa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Termasuk, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 6, aku melihat sendiri dengan kedua mataku bagaimana beberapa puluh orang bersorban putih sambil berteriak-teriak tak karuan melempari masjid kami dengan batu dan berusaha menghancurkannya, seolah itu adalah tempat yang hina. Bagaimana bisa mereka berbuat seperti itu?
Aku juga melihat—meski hanya lewat siaran televisi—bagaimana saudara-saudaraku yang sedang mengikuti pertemuan tahunan atau Jalsa Salana di Parung, Bogor, diperlakukan begitu kejam seperti mereka adalah orang-orang jahat yang patut dihukum.
“Padahal apa yang mereka lakukan?”
Mereka hanya mempertahankan tempat mereka, hak mereka dan melindungi saudara mereka yang lain di sana. Perlahan tanpa aku sadari, aku memupuk kebencian halus kepada negeri tempat aku bernaung selama ini.
Yang paling pahit yang pernah aku rasakan adalah ketika aku masih duduk di bangku SMP kelas 9. Aku baru saja pulang dari SMAN 1, sehabis mengikuti perlombaan bahasa Inggris bersama teman-teman. Aku ingat, hari itu ketika pulang sekolah aku masih menggunakan baju seragam olah raga—bercelana biru pendek dan kaos berwarna sama juga dengan lengan pendek—dan salim kepada papah sambil menunjukkan senyuman beseri karena dapat meraih juara III.
Namun seketika itu senyumku sirna, hilang begitu saja, kala menengok televisi yang ditonton papah sedang menayangkan berita kasus penyerangan Cikeusik. Aku terhenyak. Aku sebenarnya tak terlalu paham, namun yang segera muncul di batinku adalah, “Ada apa lagi sih?”
Aku terduduk di samping papah dengan mata masih tertuju ke televisi. Mendadak dadaku begitu perih.
Berhari-hari berita penyerangan itu menjadi hot news di mana-mana. Setiap jam, setiap waktu, dan hampir di setiap tempat, semuanya membicarakan itu. Tak luput juga pembicaraan serupa pernah aku dengar di sekolah.
Ketika aku masuk ke ruang guru hendak menyampaikan tugas kepada guru Biologi. Aku dengan jelas melihat wajah serius mereka yang turut mendengarkan pendapat (Almh.) Bu Hj. Yetty, selaku salah satu guru senior—yang muslim—di sekolah Katholik ini.
“Wuihh! Sadis banget itu yang di Cikeusik…”
Aku sempat terdiam sesaat setelah mendengarnya. Batinku kembali bergejolak, dan entah kenapa ada rasa sakit yang bersarang di dadaku setiap mengingatnya lagi. Sambil berjalan keluar aku masih terus memikirkannya dan berusaha menenangkan diriku sebaik mungkin.
---
Bersambung ke bagian 2
Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."
Foto milik flickrhivemind.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar