Bersembunyi di Balik Kerudung Hitam* (3)

Oleh Asih Nurasiyanti**

 

Baca bagian 1 
Baca bagian 2

Beberapa hari yang lalu, aku datang ke rumah Mimin, dengan satu kotak moci Sukabumi yang sengaja kubeli di tempat oleh-oleh. Aku ingin mengetahui kebenarannya, apakah yang dilontarkan pamanku benar adanya, atau hanya isu tak penting dan sebagai kabar burung yang tak jelas. Sesampainya di tempat Mimin, ternyata usahaku nihil karena Mimin yang kucari tak ada di rumah. Dia sedang bekerja di luar kota. Hanya ada orang tua Mimin yang sedang menyapu halaman rumah.

“Eh kamu toh, Asih, ke sini ko nggak bilang-bilang. Gimana kabarnya sehat? Mimin sedang bekerja sejak tiga minggu lalu”

Dia menghampiriku ketika aku sampai di rumah nya. Awalnya aku ragu untuk menceritakan hal ini, tapi aku bersikeras untuk menanyakannya. Setelah membuka percakapan dengan beberapa menit intermezzo, akhirnya dengan bahasa yang hati-hati aku pun menanyakan hal yang menjadikan aku melangkahkan kaki datang ke sana. Ketika aku ceritakan ini kepada ibunya Mimin, spontan dia tertawa kecil.

“Ada apa toh? Sudah lama nggak datang ke sini, sekali ke sini kamu nanya nggak penting. Masalah itu nggak ada hubungannya sama kamu. Biarkan mereka hidup, karena setiap manusia punya hak untuk itu.”

Mendengar jawaban seperti itu rasanya aku menjadi malu, tapi aku menjadi lebih penasaran karena yang aku tangkap dari pembicaraannya seakan-akan ada yang pernah tersakiti.

Untuk mendapatkan beritanya, akhirnya aku ceritakan maksudku bahwa datang ke sana adalah karena sebuah tugas. Ya, aku menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu aku mengikuti sebuah seminar. Di dalamnya ada beberapa unsur yang sangat penting sekali untuk dikaji, yaitu tentang toleransi dan perdamaian. Bahwasanya setiap manusia memiliki hak dalam keyakinannya masing-masing dan tak perlu kita melakukan primordialisme untuk memperkuat suku. Karena hak setiap suku adalah sama – yakni hidup nyaman, aman, dan tentram.

Akhirnya setelah mendengar pernyataanku, ibu Mimin langsung masuk ke dalam kamarnya dan tak lama dia pun keluar lagi. Dia menuntunku ke sebuah rumah tak jauh dari rumahnya. Suasana kampung itu cukup sepi, setiap rumah ditutup rapat-rapat.

Ibu Mimin mengetuk pintu rumah itu, dan keluar seorang lelaki paruh baya yang akhirnya mempersilahkan kami masuk. Rumahnya sedikit kotor dan tidak terurus. Kaca rumahnya penuh dengan debu dan ada beberapa sampah berserakan di dalam rumah.

“Sebenarnya siapa yang sedang aku kunjungi ini?” ucapku dalam hati. Tapi aku tak berkutik sedikitpun, hanya diam menanti sesuatu yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah lelaki paruh baya pergi ke ruangan lain, tak lama aku menunggu datang lah sosok wanita yang sudah paruh baya juga. Yang membuat aku terkejut adalah dia sosok yang ingin kucari tahu informasinya. Seseorang berpakaian panjang bercadar dan berjilbab sampai menutupi seluruh tubuhnya ada di depan mataku saat ini!

Bersambung ke bagian 4
---

*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.

**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.


Foto milik flickrhivemind.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com