Oleh Asih Nurasiyanti**
Baca bagian 1
Baca bagian 2
Baca bagian 3
Aku pun berkenalan dengan perempuan paruh baya itu. Dengan nada yang sangat kecil dan lembut, dia menjabat tanganku lalu menyebutkan namanya,
“Saya ibu Sani, ada maksud apa kalian datang ke mari?”
Setelah pertanyaan yang dilontarkan kepada ibu Sani, ibunya Mimin membawa wanita itu ke luar rumahnya. Sepertinya dia akan menceritakan maksud kedatangan kami ke rumah ini. Cukup lama mereka berbicara sampai akhirnya mereka pun masuk kembali. Ibu mimin pun berbicara.
“Ibu Sani merupakan salah satu pengikut aliran yang ingin kamu tahu. Mereka menyebutnya Ahmadiyyah. Kalau kamu ingin tahu sesuatu bertanyalah pada bu Sani, karena selama ini di antara golongannya dia yang paling terbuka di sini. Kamu tenang saja dia akan menjelaskan kenapa dia ada di sini, dan menutup diri dari khalayak,” ibu Mimin menegaskan, lalu melirik ibu Sani yang waktu itu memandangku sangat dalam.
“Di kampung ini kami merasa aman, tak ada yang mencoba menghujat karena kami menjadi minoritas, tak ada yang mencoba menghina kami, dan membuat kami terisolir di sini.”
“Apa salahnya kami menyakini apa yang kami yakini ? Di tempat kami dulu, di kampung Legok, setiap pergi ke pasar dengan pakaian seperti ini, orang-orang selalu membicarakan. Ada yang bilang ninja nyasar, ada juga yang bilang mantan TKI Arab yang nggak digaji.”
Di tengah-tengah ceritanya dia pun menangis mengenang memori pahit yang pernah dia rasakan dengan keluarganya yang menjadi pusat hujatan orang karena memiliki perbedaan keyakinan dan peribadatan dengan khalayak.
“Kami juga pernah dilempari batu, kami yang menjadi minoritas merasa tersiksa dan merasakan tekanan batin yang sangat kuat, atas cercaan yang kami dapatkan setiap hari.”
Dia bercerita bahwa sampai akhir hayatnya dia akan tinggal di sini, kampung Cibunar, yang menurutnya dapat memberikan kedamaian hidup.
Setelah datangnya ibu Sani ke daerah itu, banyak orang yang mengikuti jejaknya untuk pindah ke daerah itu. Ada yang dari daerah asalnya ibu Sani yaitu kampung Legok, ada juga yang dari daerah lain yang mengetahui beritanya dari teman-teman mereka yang lain.
Aku yang mendengar menjadi sedih dan sangat iba.
Setelah dirasa cukup, aku pun pamit pulang dari rumah bu Sani. Aku memberikan spirit untuk tetap semangat, dia pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Di lain tempat, ibu Mimin pun mengatakan, meski pun dari luar golongan itu disebut minoritas, tapi di kampungnya jumlah pemeluk Ahmadiyah sudah menyeimbangi penduduk aslinya.
Aku pun berpamitan pada ibu Mimin, tak lupa dia berterimakasih atas moci yang aku bawa.
Untung saja, ternyata masih ada orang masih peduli dengan orang lain. Yakni dengan memberikan rasa toleransi yang tinggi terhadap bu Sani dengan memberikan rasa aman dan nyaman untuk tetap tinggal. Seperti yang dilakukan ibu Mimin dan beberapa tetangganya yang memiliki pemahaman agama yang sama dengannya.
Sangat miris sekali, di tengah-tengah kemerdekaan Indonesia yang paling dikenal dengan toleransinya, ternyata masih menyimpan segudang kisah memilukan. Tentang kejinya perlakuan yang dilakukan satu kepada yang lainnya. Contohnya ibu Sani dan golongannya yang menjadi bahan diskriminasi khalayak karena memiliki pemahaman yang berbeda terhadap agama yang dianutnya.
Mereka bersembunyi di balik kerudung hitam dari orang-orang intoleran, agar tidak menjadi cercaan dan hujatan orang, sebagai langkah untuk mencapai kedamaian hidup.
(tamat)
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.
Foto milik flickrhivemind.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar