Oleh Siddika Tahira**
Baca bagian 1
Baca bagian 2
Baca bagian 3
Akhirnya aku sampai di sebuah hari… hari ketika aku merasa harus melangkah keluar dan membuka diriku pada sebuah tempat lain di dunia kecil ini. Aku mulai bertemu lagi dengan beberapa orang baru yang sempat aku pikir sama dengan mereka—yang sering risih dengan perbedaan.
Aku melihat lagi, ada ketakutan semacam sebuah rasa keterasingan dan kekhawatiran tak akan diterima. Aku sangat lambat bereaksi dan menanggapi. Aku tahu beberapa orang di sini, sayangnya setiap sel tubuhku berkata, “Siapapun itu, ketika mereka terlalu ‘Islam’, berhati-hatilah!” Namun, apa yang aku temui di sini?
Lambat-laun aku mulai bisa tertawa dan menunjukkan diriku apa adanya bersama mereka. LENSA, FOPULIS dan keluarga READY. Entahlah, ini seperti takdir lain dalam hidupku yang rumit. Meski kecanggunggan masih sering menyerangku, aku merasa lebih nyaman bersama mereka karena aku bisa mengatakan siapa aku, bagaimana diriku, tanpa takut akan diskriminasi.
Mereka perlahan membuat aku percaya tak semua orang bersorban, berpeci, dan mereka yang fasih beragama itu ‘sama’. Ada juga lho, mereka yang mau memahami bahwa kita memang berbeda, dan tak ada hak bagi manusia mengatakan siapapun kafir. Itu jelas bukan hal yang bisa manusia lakukan, itu hanya hak prerogatif milik Allah semata.
Semua rekan di sini juga membuatku kian sadar bahwa aku tak harus jauh-jauh pergi ke luar negeri untuk mencari tempat yang nyaman dan mau menerimaku. Indonesia sesungguhnya adalah tempat itu, hanya saja memang kita perlu bekerja lebih keras serta lebih lapang dada dalam mewujudkannya.
“Astaghfirullah… rupanya ini…”
Ibarat aku mencari orang lain, yang tak lain adalah diriku sendiri. Selama ini aku terjebak dalam stigma negatif yang diakibatkan mereka yang intoleran terhadap perbedaan di negeri kita.
Ketika aku merasa menjadi lebih Indonesia. Ketika aku merasa aku memang Indonesia. Di sini, bersama mereka, aku melihat bagaimana kami semua dapat sama-sama tersenyum, tertawa, berbaur, bahkan bercanda satu sama lain meski aku tak sepaham aliran dengan mereka. Itu yang selama ini hilang dari pandangan mataku.
Ketika kamu tak hanya mendekati sebab kepentingan, melainkan tulus karena kamu memiliki hati yang sama mencintai negeri ini serta semua yang ada di dalamnya. Ketika yang lain menjunjung sisi liberalis, kapitalis, sosialis, dan komunis, aku merasa kita harus lebih bangga karena kita memiliki Pancasila.
Berbeda dan luar biasa! Kita—Indonesia—memang keren! Subhanallah… Allah memang sang Kuasa. Dia yang telah menyatukan kita sebagai Indonesia. Thanks God, I feel so grateful!
(tamat)
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
Baca bagian 2
Baca bagian 3
Akhirnya aku sampai di sebuah hari… hari ketika aku merasa harus melangkah keluar dan membuka diriku pada sebuah tempat lain di dunia kecil ini. Aku mulai bertemu lagi dengan beberapa orang baru yang sempat aku pikir sama dengan mereka—yang sering risih dengan perbedaan.
Aku melihat lagi, ada ketakutan semacam sebuah rasa keterasingan dan kekhawatiran tak akan diterima. Aku sangat lambat bereaksi dan menanggapi. Aku tahu beberapa orang di sini, sayangnya setiap sel tubuhku berkata, “Siapapun itu, ketika mereka terlalu ‘Islam’, berhati-hatilah!” Namun, apa yang aku temui di sini?
Lambat-laun aku mulai bisa tertawa dan menunjukkan diriku apa adanya bersama mereka. LENSA, FOPULIS dan keluarga READY. Entahlah, ini seperti takdir lain dalam hidupku yang rumit. Meski kecanggunggan masih sering menyerangku, aku merasa lebih nyaman bersama mereka karena aku bisa mengatakan siapa aku, bagaimana diriku, tanpa takut akan diskriminasi.
Mereka perlahan membuat aku percaya tak semua orang bersorban, berpeci, dan mereka yang fasih beragama itu ‘sama’. Ada juga lho, mereka yang mau memahami bahwa kita memang berbeda, dan tak ada hak bagi manusia mengatakan siapapun kafir. Itu jelas bukan hal yang bisa manusia lakukan, itu hanya hak prerogatif milik Allah semata.
Semua rekan di sini juga membuatku kian sadar bahwa aku tak harus jauh-jauh pergi ke luar negeri untuk mencari tempat yang nyaman dan mau menerimaku. Indonesia sesungguhnya adalah tempat itu, hanya saja memang kita perlu bekerja lebih keras serta lebih lapang dada dalam mewujudkannya.
“Astaghfirullah… rupanya ini…”
Ibarat aku mencari orang lain, yang tak lain adalah diriku sendiri. Selama ini aku terjebak dalam stigma negatif yang diakibatkan mereka yang intoleran terhadap perbedaan di negeri kita.
Ketika aku merasa menjadi lebih Indonesia. Ketika aku merasa aku memang Indonesia. Di sini, bersama mereka, aku melihat bagaimana kami semua dapat sama-sama tersenyum, tertawa, berbaur, bahkan bercanda satu sama lain meski aku tak sepaham aliran dengan mereka. Itu yang selama ini hilang dari pandangan mataku.
Ketika kamu tak hanya mendekati sebab kepentingan, melainkan tulus karena kamu memiliki hati yang sama mencintai negeri ini serta semua yang ada di dalamnya. Ketika yang lain menjunjung sisi liberalis, kapitalis, sosialis, dan komunis, aku merasa kita harus lebih bangga karena kita memiliki Pancasila.
Berbeda dan luar biasa! Kita—Indonesia—memang keren! Subhanallah… Allah memang sang Kuasa. Dia yang telah menyatukan kita sebagai Indonesia. Thanks God, I feel so grateful!
(tamat)
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Sida Siddikah Tahirah saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Terbuka jurusan Sastra Inggris. Dua hal yang paling disukainya: membaca dan menulis. Rasanya hampir tak pernah bisa lepas dari buku, alat tulis dan gadget-nya. Baginya, menulis menjadi medianya untuk menyebarkan pesan perdamaian kepada semua orang, "Love for all, hatred for none..."
Foto milik flickrhivemind.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar