Oleh Asih Nurasiyanti**
Baca bagian 1
Suatu pagi di bulan Agustus, kala matahari mulai menggeliat untuk terbangun, aku bergegas pergi ke suatu tempat untuk menjumpai kawan lama. Kami saling mengenal sejak kami duduk di bangku sekolah dasar, namanya adalah Mimin.
Tempatnya memang cukup jauh, sekitar dua jam dengan kendaraaan umum aku baru sampai ke rumahnya. Kampung Cibunar, di Kecamatan Kadudampit, Sukabumi, itulah nama kampungnya. Aku memang jarang sekali menjumpainya untuk bersilaturahmi, karena dia kerja di luar daerah.
Ketika aku sampai di depan rumah nya, ternyata Mimin sudah menunggu di depan pintu–sebagai tanda dia sudah membaca pesanku yang akan menjumpainya dalam waktu sepagi itu. Maklum waktu itu aku sangat sibuk dan hanya memiliki waktu di pagi hari saja.
Mimin pun mempersilakan aku masuk, tapi aku lebih memilih teras rumahnya untuk duduk karena pemandangan di luar rumah sangat indah dan rapi. Di luar rumah itu ada pohon-pohon rindang dan tanaman hias yang membuat mata menjadi hijau dan sangat menyejukkan sekali.
“Kamu makin cantik saja!” aku mengawali pembicaraan kami.
“Kamu makin gendut!” balas Mimin sambil tertawa kecil tanda bergurau.
Kami pun berbincang-bincang panjang lebar. Sampai di tengah perbincangan kami, aku bertanya sesuatu tentang apa yang kulihat, dan dia menunduk tanda bingung untuk menjawab.
Pada waktu itu aku melihat sekelompok wanita yang memakai jilbab hitam panjang menutupi pantat, bercadar, dan juga pakaian gamis hitam, melewati rumah Mimin.
“Wah, itu siapa, Min, kok dandanannya aneh kayak di Arab saja?” ujarku.
Mimin pun menghela nafas dan menjawab sambil menunduk.
“Hanya ibu-ibu pengajian saja kok!” timpal Mimin yang sepertinya tak suka aku membahas tetangga nya.
Akhirnya aku pun mengalihkan pembicaraan supaya tetap hangat. Kami pun terus bercerita tentang pengalaman masing-masing ditemani dengan secangkir teh dan beberapa makanan. Sampai pada akhirnya aku harus berpamitan dengan Mimin.
Aku menjadi penasaran terhadap satu golongan itu. Yang membuat aku penasaran adalah kenapa Mimin harus gugup menjawab pertanyaanku. Pertanyaan itu menggelayut di pikiranku sampai aku bertanya kepada pamanku, tentang kampung Cibunar dengan para wanitanya yang bercadar. Paman pun spontan mendiskriminasi minoritas tersebut dengan cap aliran berbeda dengan ahlus sunnah waljama’ah.
Bersambung ke bagian 3
Bersambung ke bagian 4
---
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.
Foto milik flickrhivemind.net
*Tulisan ini adalah karya naratif peserta pelatihan menulis naratif Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi yang digelar di kota tersebut, 31 Oktober lalu. Peserta dibekali materi oleh aktivis Jakatarub Risdo Simangunsong dan proses penulisan didampingi Jurnalis KBR 68H Rio Tuasikal selaku mentor.
**Asih Nurasiyanti Aku sosok pribadi yang sederhana, dan selalu belajar menghargai setiap orang. Periang dan suka dengan sesuatu yang baru. Aktivitasku) sebagai mahasiswi di perguruan tinggi di Sukabumi, dan sedang mendalami agama Islam di pondok pesantren di kota yang sama. Menghabiskan waktu senggang dengan mengajar di SMA.
Foto milik flickrhivemind.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar