Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Sebentar lagi Lebaran. Hari demi hari
kulihat jalan makin ramai. Orang-orang pun makin sibuk. Terburu-buru
dan semakin sering mengabaikan sekitar. Mengabaikan orang sepertiku
apalagi. Beberapa kali aku menerima lemparan uang tanpa tolehan wajah
sedikit pun. Ah, tapi ya, semua toh patut disyukuri.
Spanduk-spanduk sebesar gaban menyesaki
semua pinggiran jalan. Partai anu, dinas kota ini, orang entah siapa,
lembaga entah apa, perkumpulan entah dari mana, menyajikan wajah
senyum mengucap “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Pusat
perbelanjaan berjubel. Penjual-penjual kue lebaran menonjol tiba-tiba
di depan toko-toko. Meriah, mewah, terlihat ramah... tapi jelas bukan
untukku.
Malam bulan puasa ke duapuluh sudah
lewat. Aku masih termangu, betapa hari raya telah takluk pada raja
lama bernama harta. Tidak bisakah manusia menyisih sesisa-sisanya
dana hari raya untuk yang lebih membutuhkan? Ketimbang sekedar
kegairahan berhari raya untuk diri sendiri?
Aku menanyakan hal itu kepada
remaja-remaja yang tadi bertanya soal sumbangan kami buat beasiswa
sekolah anak. Mereka hanya tersenyum curiga. Bahkan mungkin
melecehkan. Jelas mereka juga tak menyumbang...
Semakin lama aku semakin sadar... bahwa
manusia memang suka untuk jadi saleh demi dirinya sendiri...
kesalehan seperti itu tak perlu dimusuhi oleh setan, bahkan mungkin
akan ditemani olehnya.
“Duarrrrrr....”. Ledakan itu
mendiamkan dakwahku untuk diri sendiri.
Petasan dengan aroma khas mesiu itu
meyesak penciumanku. Menggodaku untuk bertanya pilu:
“Seperti inikah kesalehan Ramadhan di
masa kini?”. Ya, meriah, mewah, terlihat ramah... tapi jelas bukan
untukku... []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar