Oleh Azizah Siti / @zahguuulll
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
Komponen yang harus dimiliki sebuah negara di antaranya adalah daerah, ada
rakyat, dan pemerintahan. Ketiga komponen tersebut harus selaras dan serasi.
Sebagai pengatur atau regulator dipegang teguh oleh pemerintah yang bertindak
membuat tata aturan bagi rakyat yang mendiami daerah yang di aturnya.
Menurut Socrates, negara bukanlah semata-mata merupakan keharusan yang
bersifat objektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang
tugas negara adalah mencipatan hukum yang harus dilakukan oleh para pemimpin
atau para penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat.
Keseimbangan dan keadilan merupakan impian yang diharapkan dari adanya
regulasi yang dibuat oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Regulasi yang termuat
tentu berasal dari gejolak sosial yang muncul di dalam kehidupan sosial
rakyatnya. Regulasi yang dibuat
terkadang membuat sebagian orang merasa tidak bebas dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat.
Indonesia merupakan negara yang menerapkan pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah. Kekuasaan daerah yang sering kali disebut dengan
daerah otonom. Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan daerah menjelaskan bahwa:
“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”
Pemerintah pusat memberikan hak kepada
pemerintah daerah dalam bentuk otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Pasal 1
Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah).
Penyelenggara pemerintahan daerah dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan daerah,
penyelenggara pemerintahan daerah menerbitkan peraturan untuk daerahnya dalam
bentuk peraturan daerah (perda). Peraturan daerah selanjutnya disebut adalah peraturan
daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
Penerbitan peraturan
daerah (perda) yang mengandung unsur diskriminatif di tingkat kabupaten/kota
bahkan provinsi marak terjadi pasca munculnya reformasi di Negara Indonesia.
Pemerintah melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Perda yang diterbitakan
oleh penyelenggara daerah terkadang bersinggungan dengan hak asasi manusia
sebagai pemilik hak yang diberikan oleh Tuhan. Sebagai contoh kabupaten Sampang mengeluarkan
SK Bupati tentang wajib jilbab untuk pegawai negeri sipil. Selain itu, adanya
Peraturan Gubernur Jabar tentang larangan untuk Jemaat Ahmadiyah. Contoh lain
daerah yang juga mengeluarkan perda yang diskriminatif terhadap agama terjadi
di Aceh, Maluku Utara dan Selatan, Poso serta Kalimantan Barat dan Tengah,
Monokwari, Purwakarta, Situbondo, Tasikmalaya, Bandung, Bogor dan Cianjur, dan lain-lain.
Dari beberapa contoh di
atas, dapat disimpulkan bahwa perda yang dikeluarkan daerah banyak yang
berbenturan dengan hak asasi manusia dalam hal beragama. Padahal Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki banyak agama dan kepercayaan,
sehingga munculnya Perda berbasis agama akan mempersempit gerak kehidupan
beragama di dalam masyarakat karena timbul sekat pemisah. Peraturan tersebut
memicu konflik yang berpotensi mengganggu keseimbangan sosial, terlebih lagi dapat
mengahancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan bertendensi agama.
Kondisi yang terjadi di
daerah adalah bahwa perda di daerah tertentu diikuti oleh daerah lain bahkan
kadang dari anggota DPRD datang untuk studi banding mengenai Perda yang akan di
buat di daerah sehingga terkadang tidak sesuai dengan local wisdom dari daerah yang dipimpinnya. Kenyataanya ini membuat
miris keadaan beragama di Indonesia mengingat kemajemukan beragama dan
kepercayaan yang ada di dalam negara ini.
Konflik datang atas nama Perda yang berbasis
agama tersebut. Kebijakan daerah yang “demokratis” ternyata menjadi bumerang
bagi idealisme demokrasi, yaitu lahirnya peraturan yang anti
toleransi. Hak-hak asasi manusia terenggut oleh deretan pasal-pasal yang mengatasnamakan
Tuhan. Kesatuan dan persatuan
merupakan cita-cita luhur dari founding
father atas kemerdekaan bangsa Indonesia tercerabut oleh generasi bangsanya
dengan mengatasnamakan Tuhan.
Dalam pelaksanaan kehidupan beragama, agama adalah
masalah yang peka. Jika tidak
tertanam saling pengertian dan toleransi di antara pemeluk agama yang
berbeda-beda, akan mudah timbul pertentangan, bentrokan, bahkan permusuhan antarpemeluk agama.
Hukum yang dibuat
berbasis agama jauh dari cita-cita luhur yang diharapkan, bahkan dapat dikatakan
“membunuh”nya. Kualitas pemimpin mencerminkan kualitas dari regulasi yang
dibuat. Sehingga pemilihan pemimpin yang berkualitas akan mempengaruhi isi dari
hukum yang akan dibuat di tempatnya, sehingga tidak ada lagi wakil (yang mengatasnamakan)
Tuhan di atas kekerasan yang intoleransi dalam beragama. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar