#17an Azizah : Tuhan dalam Pasal-Pasal



Oleh Azizah Siti / @zahguuulll
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini




Komponen yang harus dimiliki sebuah negara di antaranya adalah daerah, ada rakyat, dan pemerintahan. Ketiga komponen tersebut harus selaras dan serasi. Sebagai pengatur atau regulator dipegang teguh oleh pemerintah yang bertindak membuat tata aturan bagi rakyat yang mendiami daerah yang di aturnya.
Menurut Socrates, negara bukanlah semata-mata merupakan keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah mencipatan hukum yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat. 
Keseimbangan dan keadilan merupakan impian yang diharapkan dari adanya regulasi yang dibuat oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Regulasi yang termuat tentu berasal dari gejolak sosial yang muncul di dalam kehidupan sosial rakyatnya. Regulasi yang dibuat terkadang membuat sebagian orang merasa tidak bebas dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Indonesia merupakan negara yang menerapkan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Kekuasaan daerah yang sering kali disebut dengan daerah otonom. Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah menjelaskan bahwa:

“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pemerintah pusat memberikan hak kepada pemerintah daerah dalam bentuk otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Undang-undang  No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
Penyelenggara pemerintahan daerah dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan daerah, penyelenggara pemerintahan daerah menerbitkan peraturan untuk daerahnya dalam bentuk peraturan daerah (perda). Peraturan daerah selanjutnya disebut adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
Penerbitan peraturan daerah (perda) yang mengandung unsur diskriminatif di tingkat kabupaten/kota bahkan provinsi marak terjadi pasca munculnya reformasi di Negara Indonesia. Pemerintah melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah  dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perda yang diterbitakan oleh penyelenggara daerah terkadang bersinggungan dengan hak asasi manusia sebagai pemilik hak yang diberikan oleh Tuhan. Sebagai contoh kabupaten Sampang mengeluarkan SK Bupati tentang wajib jilbab untuk pegawai negeri sipil. Selain itu, adanya Peraturan Gubernur Jabar tentang larangan untuk Jemaat Ahmadiyah. Contoh lain daerah yang juga mengeluarkan perda yang diskriminatif terhadap agama terjadi di Aceh, Maluku Utara dan Selatan, Poso serta Kalimantan Barat dan Tengah, Monokwari, Purwakarta, Situbondo, Tasikmalaya, Bandung, Bogor dan Cianjur, dan lain-lain.
Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa perda yang dikeluarkan daerah banyak yang berbenturan dengan hak asasi manusia dalam hal beragama. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak agama dan kepercayaan, sehingga munculnya Perda berbasis agama akan mempersempit gerak kehidupan beragama di dalam masyarakat karena timbul sekat pemisah. Peraturan tersebut memicu konflik yang berpotensi mengganggu keseimbangan sosial, terlebih lagi dapat mengahancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan bertendensi agama.
Kondisi yang terjadi di daerah adalah bahwa perda di daerah tertentu diikuti oleh daerah lain bahkan kadang dari anggota DPRD datang untuk studi banding mengenai Perda yang akan di buat di daerah sehingga terkadang tidak sesuai dengan local wisdom dari daerah yang dipimpinnya. Kenyataanya ini membuat miris keadaan beragama di Indonesia mengingat kemajemukan beragama dan kepercayaan yang ada di dalam negara ini.
Konflik datang atas nama Perda yang berbasis agama tersebut. Kebijakan daerah yang “demokratis” ternyata menjadi bumerang bagi idealisme demokrasi, yaitu lahirnya peraturan yang anti toleransi. Hak-hak asasi manusia terenggut oleh deretan pasal-pasal yang mengatasnamakan Tuhan. Kesatuan dan persatuan merupakan cita-cita luhur dari founding father atas kemerdekaan bangsa Indonesia tercerabut oleh generasi bangsanya dengan mengatasnamakan Tuhan.
Dalam pelaksanaan kehidupan beragama, agama adalah masalah yang peka. Jika tidak tertanam saling pengertian dan toleransi di antara pemeluk agama yang berbeda-beda, akan mudah timbul pertentangan, bentrokan, bahkan permusuhan antarpemeluk agama.
Hukum yang dibuat berbasis agama jauh dari cita-cita luhur yang diharapkan, bahkan dapat dikatakan “membunuh”nya. Kualitas pemimpin mencerminkan kualitas dari regulasi yang dibuat. Sehingga pemilihan pemimpin yang berkualitas akan mempengaruhi isi dari hukum yang akan dibuat di tempatnya, sehingga tidak ada lagi wakil (yang mengatasnamakan) Tuhan di atas kekerasan yang intoleransi dalam beragama. []
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com