Oleh Vida Semito / vida13@yahoo.com
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
[Ketika beragama
dipermasalahkan di negeri ini]
Dramatisasi oleh: Vida Semito
Dentang bening suara bel di ruang tengah sebanyak dua belas kali memecah keheningan malam yang kian sepi.
“Ah, panas sekali malam ini!”, ujarku yang sejak tadi tak jua bisa pejamkan mata meski hanay untuk sekejap.
Kupaksa bangkitkan tubuh renta ini dari ranjang kecil hadiah ulang tahunku dari ibuku berpuluh tahun yang lalu. Gundah gulana sudah kurasa sejak kemarin.
Kemarin sore, kata cerita yang ku dengar dari seorang perempuan cantik dari dalam kotak bersuara mengisahkan telah terjadi lagi penyegalan sebuah masjid karena konon dianggap “sesat” dan lagi, pembakaran rumah-rumah penduduk di Sampang, lagi-lagi karena dianggap “sesat”.
Manakala sudah tujuh tahun berlalu tanpa sebuah kepastian, nun jauh di sebrang pulau ini disebuah tempat bernama Transito hanya untuk menyembah Tuhan yang esa saja warga negri ini harus dibuang dari tanah kelahirannya, dicerabut dari akarnya, kini, hal serupa terjadi lagi si sebuah pulau bernama Madura.
Hanya karena dianggap “tidak sama”, lantas sang raja merasa berhak untuk memisahkan mereka dari tanah dan makam leluhur mereka ke sebuah tempat yang jauh dari kampung halamannya, katanya orang-orang menyebut daerah baru itu: Sidoarjo.
“Ah! lagi-lagi”ujarku pilu
Akan terus lekat kuingat, manakala aku, ibuku, ayahku, uwakku, pamanku, nenekku, kakekku dan teman-temanku harus terus berpanas matahari dan bersiram deras air hujan hanya untuk berdoa memuja Tuhan yang sama yang disembah semua manusia di setiap minggu siangnya di depan Istana kami, berharap sudi sang penguasa melembutkan hati mendengar kisah kami.
Kuberanjak menuju meja tulisku, ku cari pena dan secarik kertas, coba tuliskan sebuah surat; surat cintaku yang terindah untuk presidenku. Karena ku yakin, dia pasti punya solusi terbaik untuk semua gundah yang ku rasa sejak kemarin sore.
Tinta meluncur diatas kertas putih polos dan kucoba tuangkan kegelisahan diatasnya seperti berikut:
“Dear Presidenku yang baik
Mohon kiranya bapak sudi berbaik hati menyinggahi kami dan sodara-sodara saya sebangsa setanah air yang hanya untuk menyembah Tuhan saja dilarang!”[stop]
“ah! formal sekali”, gumamku sambil kuremas kertas tersebut dan kulempar kedalam keranjang rotan yang kualihkan fungsinya menjadi keranjang sampah di sisi meja tempatku menulis.
Ku ambil lagi kertas dan coba mencoretkan tinta diatasnya, tapi lagi-lagi tak ada kalimat yang tepat untuk ku tuliskan kepada presidenku yang bisa mewakili rasa gundahku sejak kemarin.
Senyap....
hari semakin larut beranjak mendaki pagi dan aku termangu saja di depan serakan kertas dan pena. Pandanganku teralihkan pada sebuah foto tua di layar komputerku yang sengaja kubiarkan menyala sejak tadi sore; sebuah foto yang menunjukkan gambar seorang anak laki-laki usia 12 tahunan dengan senyumnya yang gagah dan sorot matanya yang cerdas dan berani sambil menggengam secarik kertas.
Secarik kertas, sepertinya itu bukan kertas biasa, mungkin secarik surat pikirku dalam hati. Kugeserkan kursor pada icon loop untuk memperbesar gambar di foto dan tepat seperti dugaanku, itu adalah sebuah surat, tulisannya seperti ini: “Selamat siang Pak Presiden SBY, Apa Kabar”
Hei! tunggu!
Presiden?!...surat itu menyebutkan kata “presiden”?!
“Berarti, surat dalam foto itu adalah surat untuk presiden!”, pekikku kegirangan sambil meneruskan memperbesar gambar di foto tersebut untuk membaca isi suratnya yang ditulis dengan tulisan tangan.
Tertulis demikian:
Bogor, 27 Juli 2013
Selamat siang Pak Presiden SBY
Apa Kabar?
Bapak masih ingat saya?
Saya Edo pak, Edward Matthew Sitorus, yg tahun lalu pernah kirim surat sama Bapak
mungkin Bapak lupa atau tidak baca surat saya, ya udah gak apa-apa, Saya tahu kok Bapak sibuk. Waktu buat surat itu, saya masih kelas 6 SD di SD BPK Penabur, sekarang saya sudah SMP
sekarang, saya buat lagi surat utk Bapak SBY, isinya masih sama kayak yg dulu kok. Kalo bisa, tolong bapak bilang ke walikota Bogor utk buka gereja saya, GKI Yasmin itu yg sampai sekarang masih disegel
Pak Presiden pernah lihat gereja saya akhir-akhir ini?
kasian gak terawat, rumputnya sudah setinggi pagar. mungkin sudah jadi sarang ular
minggu lalu kami ibadah didepan istana Bapak lagi. Kata ibu, kebaktian di situ sudah 30 kali. Saya aja gak inget loh, saking seringnya, tapi tak sekalipun Bapak melihat kami
Minggu lalu itu, hujan derass sekali. Kami kehujanan pak. Baju kami basah pulang dari sana, pada pilek dan masuk angin. Ibu saya bilang itu perjuangan.
Emangnya salah kami dimana? mau ibadah saja harus panas-panasan sampe hujan-hujanan segala.
Saya tahu Pak SBY pasti sibuk. mungkin juga gk sempet baca surat saya ini. tapi saya mohon, dengarkan permintaan saya ini, pak. 6 bulan lagi saya mau natalan.
Sudah 3 kali kami natalan di trotoar. sedih sekali. Semoga tahun ini, kami bisa merayakan Natal di dalam gereja. Kami mohon Pak SBY.
Salam damai dan selamat hari anak Pak SBY
Edo
GKI Yasmin
Unwanted and Abandoned; Tak di inginkan dan Ditinggalkan [untuk mati secara perlahan], mungkin itulah perasaan yang kini bisa kurasakan akan perasaan-perasaan mereka yang hanya karena ‘beda’ dengan kebanyakanorang lalu dituding “sesat”.
Masih diam termanggu ku tatap foto di layar komputerku. hening terus hinggapi bumi dan kini hening yang sama juga merayapi dinding kalbu ini usai membaca bait demi bait kerinduan seorang anak untuk bisa kembali berdoa pada Sang Khalik dan merayakan Natal bersama handai taulannya di dalam sebuah tempat yang disebut GEREJA.
Sayup-sayup kudengar dari music playerku lirik lagu ini:for someone must stand up for what is right, cause where there’s a man has no voice, there ours shall go singing...we’re God eyes, God’s Hands, God’s minds
Ku pejamkan mata coba resapkan dalam hati setiap kalimat dari lirik lagu tersebut dan bisikku: every life is beautiful; rencanaNya selalu indah. []
*Terinspirasi dari grafiti disebuah kawasan di Cikini dan sebuah surat yang ditulis oleh Edo (Edward Matthew
Sitorus), salah seorang jemaat dari GKI Yasmin.
note: isi surat Edo di dalam tulisan ini, sama
seperti tertulis dalam surat yang asli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar