Oleh Anastasia Monica / @ararancha
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku...
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku...
Tanah tumpah darahku...
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku...
DUAR! DUAR!
Ketika meriam di luar tengah sibuk
saling menyahut, seorang anak laki-laki kecil sibuk dengan radio yang baru saja
ditemukannya; milik tentara Jepang yang telah gugur, sepertinya. Ia baru saja
menghapal satu lagu, meskipun takkan bisa membaca teks liriknya jika diberi—ia
belum diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis sejak kecil.
Ayahnya gugur di medan perang jauh
sebelum ia lahir dan ibunya baru saja wafat beberapa hari yang lalu karena
penyakit TBC.
Jadi kini, ia menyusuri jalan dengan
tanah basah sambil sembunyi-sembunyi mendengarkan lagu Indonesia Raya dari
radionya. Waktu itu Agustus 1945, Indonesia sudah merdeka, katanya. Entahlah
apa makna dari kata merdeka—ia tidak tahu.
Ia hanya tahu bahwa tanah yang ia
pijak kini direbut dengan gelimpangan mayat dan lautan darah.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu...
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu...
Seorang remaja berkulit sawo matang lewat di
depan Istana Merdeka, dengan dada membusung dan tangan kanan membentuk sikap
hormat, ia mengikuti upacara bendera. Hari itu tanggal tujuh belas Agustus
tahun 1955. Indonesia. Negara yang baru beberapa tahun diakui dunia.
Tangan kiri remaja itu memegang radio yang
dimilikinya sejak sepuluh tahun lalu, masih bagus dan berfungsi dengan sangat
baik karena ia selalu merawatnya, dibersihkan setiap malam sebelum tidur,
dibawa kemanapun ia pindah tempat tinggal.
Ia tersenyum ketika pengibaran bendera usai,
nanti malam pasti di radio diulangi lagi lagu Indonesia Raya serta pidato
kepresidenan.
Sambil merangkul sahabat karibnya dari Sumatera,
ia berjalan menyusuri jalan Medan Merdeka.
Ia belajar untuk tumbuh bersama dengan tanah yang ia pijak; berkembang bersama negrinya.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya...
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya...
Radio berwarna hijau tosca dengan bulatan besar
di sisi kirinya dan tombol tombol kecil di kanan itu disimpan rapi oleh seorang
pemuda berpakaian kaus putih, agak lusuh. Tidak ada seorang pun yang berani
menyentuhnya. Tidak sang istri, tidak juga anak-anaknya.
Kadang-kadang kalau malam tiba, keluarga kecil
itu mendengarkan lagu Indonesia Raya. Ah, hanya beberapa frekuensi radio saja
yang memperdengarkannya, itupun di jam-jam tertentu.
Mereka hidup di salah satu kota di Jawa Tengah,
tempat salah satu penghasil beras, makanya pemuda itu kini bekerja sebagai
petani. Tidak ada keluhan walau tinggal di bawah atap bolong-bolong dan dinding
anyaman. Ini lebih baik daripada beberapa puluh tahun lalu, saat Indonesia
masih dibelenggu penjajah.
Agustus 1978, Indonesia sudah bisa berdiri
dengan dua kakinya sendiri, kokoh, negara yang sudah dikenal oleh dunia dengan
keramahannya.
Sambil tersenyum ramah, bapak dari tiga orang
anak itu melangkah meninggalkan rumah sambil membawa cangkul di pundaknya.
Disapanya tetangga yang tengah duduk-duduk sambil membaca koran di teras;
namanya Van Dwight Everhart, keturunan Belanda.
Hari ini panen, ya?
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya...
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya...
Agustus 1998, aku melihat kakek duduk di kursi
goyangnya, tangannya mengetuk-ngetuk pelan radio berwarna hijau tosca yang
mungkin sudah tidak berfungsi itu. Setahuku, kakek tidak pernah menyalakannya.
Kuhampiri kakek dengan rasa penasaran, disambut
dengan senyum yang diukir indah di wajah tua itu. Diletakkannya radio itu ke
atas meja yang ada di dekat kursi goyang, kemudian ia mengangkat tubuh mungilku
ke dalam pangkuannya, sambil mengelus-elus rambut hitamku pelan.
“Susah ya sekarang kalau mau dengar
lagu Indonesia Raya,” ujarnya pelan-pelan.
“Ada kok, Kek!” ujarku cepat.
“Iya? Kapan?”
“Di televisi sering muncul, lalu kalau ada
pertandingan olahraga dengan luar negri, lalu... lalu... ummm...” aku berpikir
sambil menempelkan telunjukku ke dahi.
“Hehehe...” kakek terkekeh sambil menggoyangkan
kursinya, “...dulu waktu kakek muda, di radio ini, setiap hari dan setiap
beberapa jam sering memperdengarkannya.”
Aku mengangguk-angguk mengerti; ah, lagu
kebangsaan. Siapapun akan hapal kalau nanti sudah mulai masuk sekolah. Itu kan
fungsi upacara.
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Aku menatap layar televisi layar datar sambil
memangku adikku yang masih kecil. Usiaku sekarang sembilan belas. Disiarkan
upacara bendera di televisi. Kakek, seperti biasa, memangku radio tuanya, ikut
menonton bersama aku dan adik.
Radio itu mungkin adalah bagian lain dari
hatinya selain nenek yang bulan lalu sudah kembali kepada Sang Pencipta dan
anak-cucunya.
“Kek, mau kubelikan radio baru?” tawarku.
Kakek tersenyum, “Tidak. Radio kakek masih
bagus, kok.”
“Bukannya sudah tidak berfungsi?”
“Ah, kakek tidak bisa mendengarkan lagu kesukaan
kakek di radio baru.”
Ya, Indonesia Raya, entahlah, kakek sangat
senang mendengarnya.
“Kalau dengar lagu itu, kakek tahu bahwa dulu,
buyut kamu ndak berjuang di medan perang seperti robot yang disetel;
merdeka atau mati tanpa tahu maknanya. Kalo kata kamu, belum ada settingnya,”
kakek terkekeh sendiri sebelum melanjutkan kalimatnya, “kayak radio
rusak, toh? Cuma bersuara saja, yang penting didengar.”
Aku mengerutkan kening bingung.
“Walaupun sekarang tanah sudah jadi aspal, gubuk
sudah jadi gedung tinggi, tapi tulang dan daging bersemayam dipeluk ibu
pertiwi, diperjuangkan dengan tumpahan darah. Kamu ndak paham?” kakek
menghela nafas, “Indonesia Raya itu kenapa kakek suka? Biar ndak lupa.
Kalo kakek lupa, siapa toh yang mau nyanyiin ke cucu-cucu kakek?”
Aku terkesiap; bagaimana bisa aku cinta jika aku
belum sepenuhnya mengerti tentang Indonesia?
Seulas senyum kuberikan, kemudian aku merogoh
ponselku yang buatan Korea dan mengunduh lagu Indonesia Raya.
Ah, biarlah, ponsel ini bukan buatan Indonesia,
yang penting kalau ada yang melihat isinya, semua tahu bahwa ini milik orang
Indonesia; ada lagu kebangsaannya di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar