#17an Bastinus : Rumah Kita




Oleh Bastinus N. Matjan


Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini


Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau,
sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia.
Indonesia tanah airku......


Ya, Indonesia tanah airku, tanah air kita semua. Tempat kita dilahirkan, tempat darah ibu kita menetes ketika kita dilahirkan. Indonesia adalah rumah kita dan kita adalah saudara. Tetapi, sebagai pemilik rumah tahukah Anda apa dan bagaimana rumah kita yang bernama Indonesia? Jawabannya bisa “tahu”, bisa tidak “tahu”.

Dengan semakin tenggelamnya pelajaran sejarah Indonesia, maka saya merasa yakin sebagian besar saudara-saudara saya rakyat Indonesia hanya sebagian kecil yang tahu. Selebihnya adalah yang tidak tahu, termasuk para pejabat negara sekarang.

Indonesia adalah gugusan pulau-pulau seperti yang dikatakan dalam syair lagu di atas. Sebagai gugusan pulau maka nama yang diberikan sejak jaman dahulu kala pun bermacam-macam. Cina, misalnya, sejak zaman purbakala menyebutnya Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan). India kuno menyebutnya Dwipantara, bangsa Arab menyebutnya Jaza’ir al-Jawi (kepulawan Jawa). Selanjutnya bangsa Eropa menyebutnya “Kepulauan Hindia” kemudian pada zaman penjajahan Belanda disebut Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Sedangkan pemerintah pendudukan Jepang pada 1942-1945 menyebutnya To-Indo (Hindia Timur).

Pada era tahun 1820-1887, Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama Multatuli, mengusulkan nama yang spesifik, yaitu Insulinde, artinya “Kepulauan Hindia”. Selanjutnya pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), menyebut unsur kata ‘India’ memberi nama untuk Indonesia dengan sebutan Nusantara. Setiabudi mengambil nama itu dari Kitab Pararaton, kitab kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad 19, yang lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 1920. Namun pengertian nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara pada masa Majapahit.

Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan “pulau-pulau di luar Jawa” (‘antara’ berarti luar/seberang dalam Sansekerta), dan Jawa disebut Jawadwipa. Seperti kita ketahui Gajah Mada pernah bersumpah yang bunyinya sebagai berikut, “lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa” yang berarti “kalau pulau-pulau seberang telah kalah, barulah aku akan istirahat”.

Nusantara pada Majapahit yang berkonotasi penjajahan itu diubah oleh Dr. Setiabudi. Dia menggunakan kata Melayu asli yang makananya diubah menjadi lebih nasionalis, nusa antara. Artinya pulau di antara dua benua dan dua samudra. Dengan demikian Jawa pun termasuk di dalamnya. Nama terssebut dengan cepat menjadi populer dan penggunaannya hingga sekarang tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.

Dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”.

Dalam artikelnya, Earl menegaskan sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.

Zweitier Theil der Karte von Asien welcher China einen, Schraembl-Grosser Atlas, 1886 (sumber : indocropcircles.wordpress.com)

Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (‘nesos’ berarti pulau dalam bahasa Yunani). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:

“the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).

Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA volume IV itu juga, halaman 252-347, Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan.

Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl. Huruf ‘u’ digantinya dengan huruf ‘o’ agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:

“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.

Ketika mengusulkan nama “Indonesia”, agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini pun menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905), menerbitkan buku “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada 1864-1880.

Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam “Encyclopedie van Nederlandsch-IndiĆ«” tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

(Sumber : indocropcircles.wordpress.com)

Orang pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke Belanda pada 1913, beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama “Indonesische Pers-bureau”. Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917).

Sejalan dengan itu, sebutan inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiƫr (orang Indonesia).

Pada 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk pada 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya: “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.

Di Indonesia, Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1925, Jong Islamieten Bond membentuk Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.

Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada Agustus 1939, tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat / parlemen Hindia Belanda); Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Namun, Belanda menolak mosi ini.

Ketika pendudukan Jepang pada 8 Maret 1942, secara otomatis lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada 17 Agustus 1945, seiring dengan proklamasi kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdiri sendiri tanpa penjajahan dari bangsa asing.

Sekarang 68 tahun sudah kita merdeka dari penjajahan asing, 68 tahun sudah kita memeliki rumah besar yang bernama Indonesia. Di dalam rumah kita ada banyak harta karun, namun sayang harta karun itu banyak dirampok oleh orang asing dan para tokoh politik dan pengusaha laknat.

Dalam usianya yang sudah 68 tahun itu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang diamanatkan oleh Pancasila masih saja belum terwujut. Korupsi dan berbagai tindak kekerasan muncul terus akibat hukum hanya tertera di dalam kertas atau buku.

Mungkinkah pada masa mendatang tetap berada dalam sutu rumah yang bernama Indonesia, atau mungkin hanya beberapa tahun lagi kita akan berpisah dan tidak lagi sebagai saudara?

*Penulis pernah menjadi dosen FPOK Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan kini telah pensiun. Kini penulis menjabat sebagai sekretaris umum Dewan Adat Dayak Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com