Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
Seorang perempuan kecil menghampiriku, ia bertanya:
“Masihkah Kakak bangga dengan Indonesia? Masihkah Kakak cinta Indonesia?”
Tangan anak itu memegang merah-putih kecil, yang dipakai upacara
tadi. Aku terdiam sejenak memandang wajahnya. Wajah itu penuh gundah dan sedih.
Dalam benakku, aku bergulat tanya, akankah anak ini nanti bisa berdiri dengan
kepala tegak di tengah teman sepergaulannya dari berbagai bangsa. Ataukah dia
malu menyebut nama negeri yang hampir lebur diinjak-injak kebrengsekan ini.
Aku mencoba menghiburnya dengan mencoba mengingatkannya akan
sejarah agung peradaban di bumi Nusantara, tapi aku sadar segala kisah itu
hanya akan membuainya jika ia toh tak bangga atas keadaan kini.
Aku mencoba menejejalkan betapa indahnya falsafah
kebhinekaan, tapi matanya sudah pasti lebih melihat betapa banyak kekerasan
dibingkai ego-etnoreligi.
Lantas aku berusaha menggerus cerita tentang disiplin,
kreatifitas, keramah-tamahan, keindahan, dan banyak anugerah ilahi lainnya bagi
bangsa ini. Tapi aku khawatir ia hanya akan mengira itu adalah sempalan kecil
dari sekian banyak kebobrokan.
Lalu aku mulai diam…
Hati-hati aku mulai berbisik:
“Dik, kita memang lahir di masa kita hampir tak punya lagi
teladan untuk dibanggakan dari negeri ini … kepercayaan kita pada diri sendiri
dan diri kita sebagai bangsa telah remuk redam diremas orang-orang dewasa,
pemimpin, bapak dan ibu yang kita berikan hormat… kita jadi kecil hati, tak
bangga bahkan semakin tak peduli…”
Aku genggam tangan anak itu… “Tapi tangan kecil kita ini
bisa mengembalikan bahkan menopang kebanggaan luhur yang baru. Tangan ini
dipakai dalam doa, dijejalkan dalam karya dan dianjungkan dalam gelora … bisa
memberi suatu arti…”
“Bahwa Tuhan tak pernah salah mendaulatkan Indonesia sebagai
suatu bangsa, bahwa Pertiwi takkan mati di hati orang yang mau mengabdi … Bahwa
negeri ini masih punya kita dan begitu banyak orang yang mau mengembang nadi
demi kebangkitan …”
Ia diam dalam ketakmengertian… bahasaku mungkin aneh
baginya, tapi ia kemudian berkata:
“Jadi Allah sayang Indonesia, Kak?”
Sedikit tergagap aku jawab… “Ya, tentu saja. Kemerdekaan
kita adalah hadiah dari-Nya… “ dalam hati aku berharap ia ingat alinea ketiga
mukadimah konstitusi negeri ini.
Ia menitipkan bendera kecilnya ke tanganku, lalu mulailah
tampangnya jadi syahdu, “Ya Allah…,” ia menengadahkan tangan, “Ampunilah
dosa-dosa bangsa kami, ampunilah kami, aku juga sayang Indonesia ya Allah… aku
pengen Indonesia bangkit dari kehancuran ya Allah.. Amin Ya Rabbal alamin”
Kucium bendera kecil itu, seraya membuat tanda salib, “Ya
Tuhan yang diseru sekalian alam… Ya Tuhan yang berdaulat atas bangsa ini…
dengarkanlah doa anak kecil ini, aku juga mengamininya ya Bapa…”
Aku tersenyum simpul… pemandangan kecil ini pasti sudah amat
jarang terjadi di persada Nusantara… Tidak untuk doa bersama, mungkin juga
tidak untuk karya bersama..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar