Oleh Risdo Simangunsong / @RisdoMangun
[Baca dari tengah mungkin membingungkan, sila baca dari awal]
Pemuda yang dulu
kusebut agak culun itu... pemuda yang pernah menyapaku dalam kekakuan, lalu
yang juga memberiku semangkuk gurih mie bakso... ya dia, adakah dia
menceritakan sesuatu kepadamu? Tadi aku berjumpa dengannya. Di jalan... tak
jauh dari warungnya. Ia begitu tergesa, namun dalam engah-lelahnya kulihat ada
harap-senang. Ia hampir terjengkang dari motor, menghamburkan belanjaannya
berupa kaki sapi. Aku bantu dia memunguti daging dan belulang itu... lalu
memberi senyum menyemangati. Ia sumringah... sesederhana itu.
Kau tahu memang
tak ada yang rumit dalam kebaikan. Aku dan pemuda itu sudah tahu, sudah
mengalami dan mengamalinya... kami senang... sesederhana itu
Hal sama juga
terjadi maghrib ini. Aku, Opik dan yang lain menghantar sumbangan kami untuk
beasiswa. Kami hantar ke orang yang kami kenal di acara buka puasa dekat gereja
itu... Kami senang, orang itu pun senang dalam keterhenyakannya memegang
sejumlah besar uang, yang takkan mungkin diharap bisa didapat kaum jalanan ... Sesederhana
itu, meski sulit...
Ya, aku bisa
memberimu daftar kekesalanku hari ini. Bulan ini. Tahun ini. Sepanjang hidup
ini! Itu nyata, tak mungkin diabaikan. Tapi aku berharap akupun bisa
menceritakan kepadamu setidaknya ada kebaikan yang masih bisa diberi...
sesederhana itu... meski tidak selalu mudah.
Malam ini Encut
melahirkan... dari tubuh hitamnya keluar kucing-kucing kecil. Awalnya satu,...
lanjut hingga empat... Tidak semua hitam. Ada yang belang putih, ada juga yang
agak kuning. Hitam tak selalu berbuah hitam, putih tak selalu berbuah putih...
ada banyak warna yang mungkin... ada yang kita harapkan ada yang tak terduga...
alam memang sesederhana itu, meski kita tak selalu mau menerimanya.
Ke depannya
apakah anak-anak Encut akan tetap hidup? Apakah Encut juga masih hidup? Ke
depannya apakah aku, Pat, Opik, Boncel dan yang lain akan tetap hidup menghirup
debu jalanan ini? Apakah anak muda penjual bakso itu berhasil menggapai yang
diingininya? Apakah pemuda-pemudi bermata sipit yang kemarin menyapaku itu akan
terus bahagia? Apakah Ramadhan dan Lebaran tetap seperti sekarang ini adanya? Pertanyaan itu mungkin sederhana, namun tidak jawabannya.
Aku jelas tidak
tahu... yang kutahu, di tengah keruwetan hidup... di tengah banyak kebrengsekan...
masih banyak taburan kebaikan yang bisa diupayakan... tak peduli siapa atau
apapun kita. Sesederhana itulah, walau memang berat...
“Nggeus Lebaran aing teh kudu nyalon... pan
rek mangkal deui di ditu...,[1]” seru Pat membuncah pembicaraan kaum
sejenisnya... meminta jatah uang tambahan tentu saja... Aku pun tersadar dari
lamunan sok pemikirku... menapaki kenyataan yang sama, yang seringkali
sederhana namun kadang menggemaskan.
[1] Habis
lebaran aku harus ke ‘salon’, kan mau mangkal lagi di sana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar