Oleh Masduki / ngabdiinggusti@yahoo.co.id
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
Tidak disangsikan lagi bahwa Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terkenal dengan keragaman
baik budaya, suku maupun agamanya. Keragaman ini bisa berdampak negatif juga bisa
berdampak positif, tergantung kualitas kematangan berpikir pribadi penduduknya.
Ada yang mengatakan bahwa kematangan pribadi seseorang
tergantung level pendidikannya. Namun jika dilihat dari kenyataan yang ada,
pendapat ini tidak seratus persen benar. Sebab bisa kita lihat dilapangan tidak
sedikit yang berpendidikan tinggi, sarjana, namun perilakunya mencerminkan
pribadi yang masih sangat kurang dewasa. Mudah menghakimi, ringan berkomentar
buruk, terhadap pendapat yang tidak sama
dengan pendapat pribadinya. Padahal orang yang dewasa akan berpikir dulu
sebelum mengambil keputusan. Orang yang cukup matang akan mendahulukan hati dan
pikiran ketimbang lidah atau mulut. Jadi lidah
harus ditaruh di belakang
hati, bukan di depan hati. Sebab kata orang lidah itu tak bertulang.
Pada hakikatnya, perbedaan suku atau budaya jarang sekali
menciptakan konflik, walau pernah terjadi (seperti di Sampit, Kalimantan
beberapa tahun silam). Namun sesungguhnya, setahu saya, pemicunya bukan soal
suku tapi ekonomi. Meski demikian, perbedaan agama cukup sering menjadi alasan terjadinya konflik antar
penduduk di Indonesia, seperti kasus Poso. Padahal biasanya
pemicunya hanya masalah spele. Dari masalah spele
inilah emosi bangkit, tersulut karena diobori perbedaan agama yang terlibat
dalam persoalan ini.
Dari sinilah lahir sifat balas dendam dan menelorkan
konflik besar sampai terjadi bunuh membunuh. Jika sudah seperti ini, konsep
baik yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad maupun Yesus bahwa “memaafkan itu lebih
baik” sudah tak mempan. Ini sesungguhnya pelajaran besar bagi kita bahwa di saat
kita gagal mengendalikan emosi di level awal, maka untuk mengendalikan emosi
yang sudah tak terkendali itu semakin sulit dan runyam.
Cek saja pengalaman kita sendiri, bukankah di saat gagal
mengkontrol emosi maka akibatnya penyesalan. Kenapa begitu? Sebab banyak hal
yang seharusnya tidak dilakukan, namun dilakukan karena out of control. Nabi Muhammad memberikan pesan cukup bagus
dalam hal ini, “sabar
adalah pada pukulan pertama”. Artinya kualitas sabar sangat ditentukan bagaimana
sikap awal kita saat dihantam musibah, saat emosi ditekan.
Konflik yang terjadi antarpenduduk berbeda agama ini akan
menjadi konflik besar ketika para pemimpin agama sendiri tidak mampu
mengendalikan diri dan hanyut dalam emosi pengikutnya. Pada saat kasus Poso, kebetulan saya mengikutinya lewat BBC London. Saat itu seorang pendeta diwawancarai oleh penyiar BBC lewat
telepon. Emosinya cukup tinggi, dan tentu dalam hal ini setan yang tertawa, karena dia berhasil menyulut emosi. Mungkin pemimpin Islam demikian juga, walaupun saat itu saya nggak menyempatkan diri mendengarkan kelanjutan wawancara BBC
kepada pemimpin muslim di Poso.
Ada konflik –yang menurut saya– lebih mengerikan ketimbang konflik antar agama, yaitu konflik
yang bersumber dari perbedaan pendapat di dalam satu agama. Dikenal juga dengan
beda aliran, grup atau kelompok. Ini biasanya lebih lama dan bisa dibilang tak
ada ending-nya.
Dalam Islam, sedari dulu perbedaan selalu ada dalam
hal-hal tertentu. Setiap ahli tafsir bisa saja tidak sependapat dengan ahli
tafsir lainnya. Perbedaan ini terjadi saat mengambil kesimpulan atas ayat
tertentu atau pada masalah yang tidak disebutkan secara gamblang oleh Al Quran
maupun hadits. Sehingga dalam hal ini subyektivitas ikut menentukan dalam
pengambilan kesimpulan. Yang sangat menentukannya adalah level spiritual atau
kebersihan hati.
Namun perbedaan diantara ahli tafser ini tidak menjadikan masalah, sebab beliau-beliau
ini dewasa dalam berpikir dan bisa menghargai perbedaan. Imam Al-Ghozali,
setahu saya, pernah mengatakan pemahaman firman Allah itu tergantung pada level
kebersihan hati, semakin bersih hati seseorang maka semakin luas dan dalam
pemahaman yang diperoleh. Ini karunia Allah. Sebab semakin bersih
hati seseorang semakin hati itu menjadi rumah bagi Allah.
Perbedaan akan menjadi masalah jika pribadi yang ada di
aliran-aliran ini tidak dewasa, mengedepankan emosi, dan
seperti anak kecil bahwa hanya pendapatnya saja yang paling benar, paling “ber-Al Quran-Hadits”. Maka komentar-komentar
tak sedap, menyinggung dan menyakitkan keluar dari mulut mereka. Yang parah, sudah salah, mengajak melakukan kesalahan secara berjamaah. Akhirnya
bisa mengarah kepada tindakan anarkis, seperti pembakaran Masjid Ahmadiyah dan
pembakaran serta perusakan rumah warga Syi’ah di Madura.
Mengedepankan hati nurani dalam setiap tindakan, dan
berpikir keras sebelum bertindak atau berkomentar, adalah salah satu sinyal
karakter pribadi yang dewasa. Pandai dalam beragama tidak menjamin pribadinya
punya wawasan luas dan matang dalam berpikir. Ada yang tambah pinter beragama (secara syari’at) tetapi
komentar-komentarnya semakin tidak menyejukkan dan beringas. Sehingga pendewasaan
karakter dan pribadi tergantung kepada banyak aspek.
Satu hal yang pasti, bahwa kita sebagai orang yang
beriman mesti ngerti tujuan syari’at,
rahasia diturunkannya aturan tersebut. Misalnya konflik sekte yang terjadi
dalam Islam. Sebagian kecil kelompok Sunni di Indonesia – tidak semua – merasa
paling berpegang Al Quran Sunnah dan merasa pendapatnya saja yang benar
sehingga mereka dengan enteng mencap sekte lain seperti Syi’ah sebagai sesat. Mereka
tidak sadar bahwa didalam Sunni sendiri juga begitu banyak perbedaan. Dan semua
mengaku rujukannya Al Quran dan Sunnah.
Kita mesti ingat bahwa Nabi Muhammad diturunkan untuk
menyempurnakan akhlak. Tujuannya agar kita punya koneksi batin dengan Tuhan, dapet arahan-Nya, bimbingan-Nya sehingga
betul-betul bisa punya karakter menjadi wakil-Nya untuk memakmurkan Bumi
tercinta ini. Peduli dengan yang kurang mampu, menjaga Bumi agar tetap hijau,
tidak serakah, senang berbagi, suka menolong, dan lain-lain.
Perbedaan sudut pandang dalam melihat satu masalah, jika
tidak diiringi dengan kematangan pribadi, ini bisa menyulut konflik, baik antar
suku, sekte maupun antara agama. Jika tidak salah ingat Almarhum Nurcholis
Majid, mantan rektor Paramadina pernah berkata, “Agama itu seperti roda,
semakin keluar semakin berbeda tetapi semakin kedalam semakin sama, jadi satu.”
Artinya tujuannya sama hanya jalan yang diambil berbeda, dan memang orang
mendekati Tuhan dengan jalan yang berbeda-beda. Yang tercepat mana?
Saya melihat setiap pengikut agama
merasa bahwa yang diikutinya jalan yang paling cepat. Ini tidak salah,
selama tidak mencela yang lain. Namun Imam Al Ghozali memberi isyarat, “Adalah jika
pengetahuannya semakin bertambah, semakin bertambah rendah hatinya, tunduknya,
takutnya akan Tuhan. Ssemakin sadar akan kekurangan dan
cacat diri, sehingga tak sempat melihat cacat orang lain. Mencintai
kesederhanaan sehingga lebih punya peluang untuk berbagi dan lebih mencintai
kehidupan setelah mati.”
Saya melihat dan saya yakin jika batin seseorang hidup, punya
koneksi dengan Tuhan, persoalan-persoalan
hidup lebih bisa disederhanakan. Sebab sabar dan doa dijadikan sebagai penolong
dalam hidupnya. Logikanya begini jika seseorang melibatkan Tuhan dalam
kehidupannya otomatis Tuhan melibatkan diri-Nya dalam kehidupan seorang hamba. Dia
menganugerahkan kesabaran, memampukan dalam mengnangani
persoalan yang dihadapinya, menurunkan kedamaian dan ketenangan Ilahiyah, yang
mungkin orang lain mampu lihat dari raut wajahnya mungkin juga nggak.
Satu hal yang pasti, si penerima sakinah dari Allah ini bisa merasakannya. “Ingat
Aku, maka aku akan mengingatmu.” Jika Allah ingat kita, tentu bukan sekadar ingat, tetapi lebih dari itu,
Dia membantu dan menemani hidup kita. Dan bagaimana kita menduga Tuhan, begitu
Dia kepada kita. Kualitas hati kita kepada Allah, menentukan sikap Dia kepada
kita.
Mengapa kualitas hati harus
diprioritaskan? Sejarah membuktikan di saat nabi Muhammad dalam ancaman mati, di Gua Tsur –dalam perjalan hijrah
menuju Madinah (Yatsrib) – bersama Abu
Bakar. Para pembunuh telah berada di mulut Gua tersebut, dan Abu
Bakar sangat gelisah. Ini normal, sebab jika saja para musuh nabi tersebut
sedikit jongkok, maka Nabi Muhammad dan Abu bakar terlihat dan mungkin saja
habis riwayatnya.
Tapi Tuhan Maha Bijak dan Maha Pemaksa, Jika Dia
menghendaki apapun akan terjadi. Saat Nabi Muhammad melihat Abu Bakar gelisah,
dia meluncurkan sebuah kalimat yang menunjukkan bahwa dia sedang diselimuti
oleh sakinah Ilahiyah. “Jangan
bersedih, Allah bersama kita,” yang diabadikan dalam QS. At Taubat
(9):40.
Setinggi apapun ilmu kita, sekaya apapun kita, jika tidak
menambah kerendahan hati dan ketundukan batin kepada Tuhan maka kebahagiaan
yang didapat akan mudah datang dan pergi. Lebih tidak stabil dan rentan
terhadap situasi.
Berbeda dengan kebahagiaan Ilahiyah yang berada di batin,
yang jika hanya dilengkapi dengan kebutuhan dasar hidup saja, sudah mampu
menciptakan kedamaian diri. Artinya income
yang nggak begitu gede bisa membuat seseorang bahagia, dan jika lebih, mampu
berbagi. Berbeda dengan yang tidak dihinggapi oleh sakinah ilahiyah,
seberapapun income didapat akan terasa kurang dan berat untuk berbagi. Seandainya mau
berbagi toh biasanya karena
diwajibkan dan bukan keinginan batin yang murni.
Ada standar yang cukup baku tentang “Manusia Surga”, karakter yang melekat pada diri seorang peace maker di dunia ini, dan menjadi penduduk surga setelah mati nanti. Simak kisah singkat figur ahli surga “Sa’d bin Abi Waqqash” berikut yang sedikit dimodifikasi dari aslinya.
Suatu hari di sebuah masjid ketika rasullullah saw bersama-sama para sahabat selesai melaksanakan sholat, rasul mendapat informasi dari langit bahwa sebentar lagi akan datang ahli surga. Rasul informasikan itu pada para sahabat. Kemudian masuklah seseorang yang melakukan sholat dan langsung berlalu ketika dia selesai melakukannya.
Suatu hari di sebuah masjid ketika rasullullah saw bersama-sama para sahabat selesai melaksanakan sholat, rasul mendapat informasi dari langit bahwa sebentar lagi akan datang ahli surga. Rasul informasikan itu pada para sahabat. Kemudian masuklah seseorang yang melakukan sholat dan langsung berlalu ketika dia selesai melakukannya.
Hari berikutnya, di waktu yang sama, rasulullah saw Mmenyampaikan kalimat yang sama. Datanglah juga orang yang sama. Ahli syurga yang berjalan di
madinah. Kejadian
ini mengusik rasa ingin tahu seorang sahabat yang lain. Maka Abdullah Ibn Amr mengikuti Sa’d. Berpura-pura
ingin menumpang di rumahnya. Tiga hari. Dia pikir cukup untuk mengorek rahasia
amal-amal Sa’d untuk dia tiru, agar bisa mendapat syurga Allah sebelum
kematiannya.
Namun rupanya, sahabat ini tidak
mendapati keistimewaan ibadah yang Sa’d lakukan. Maka, dia tak tahan
lagi. Dia sampaikan semua niatnya dengan kejujuran yang putih. Sa’d mendengar.
Sangat seksama. Namun Sa’d menyampaikan bahwa ibadah yang dia lakukan sama
seperti yang terlihat. Tak ada yang dianggap spesial. Tidak dikurang-kurangi,
apalagi dilebih-lebihkan.
Sahabat yang penasaran ini kemudian meminta undur diri dari
hadapan Sa’d. Sambil berterima kasih karena mau menerima tumpangannya. Beberapa
langkah berjalan, Sa’d memanggilnya.
“Wahai saudaraku, kemarilah sebentar”, pinta Sa’d.
Kemudian sahabat ini berjalan mendekati Sa’d. Setelah cukup
dekat dia berkata
“Ada apa wahai Sa’d”
“Mungkin,”, kata Sa’d “Kalau amal ini yang bisa dianggap
membuatku menjadi penghuni syurga. Adalah, setiap menjelang berbaring dan
beristirahat di malam hari, aku berusaha memaafkan saudara-saudaraku dan
melepaskan hasad dari dalam hatiku…”
Kisah ini menunjukkan bahwa pembaharuan batin itu mesti diutamakan,
sebab dari sanalah tindakan-tindakan seseorang bersumber. Jika yang di dalam kualitasnya baik, maka secara otomatis
yang diluar akan mengikutinya. Begitu juga dengan negara ini, step awal agar Indonesia betul-betul
menjadi rumah bersama harus dimulai dari pembentukan karakter.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badanya” bangunan dalam
didahulukan. Jika yang di dalam
damai maka yang di luar ikut damai dan insya Allah mampu mendamaikan. Jika hati
kita sendiri nggak damai,
tenang, bagaimana mampu mendamaikan yang lain? Ketika hati
kita benar, semakin bersih dari kebencian, hasad dan iri terhadap sesama dan
penuh dengan maaf, maka surga menanti.
Simak potongan do’a Nabi Ibrahim berikut ini: “….dan
janganlah Engkau hinakan aku pada hari para manusia dibangkitkan, hari di mana
harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali
mereka yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”.(QS.26:87-89)
Sejauh yang saya tahu, untuk membangkitkan, menghidupkan
batin atau secara spiritual ada yang bilang dengan istilah inisiasi ini
melalui banyak cara. Saya secara pribadi juga pernah
mengikuti satu jalur spiritual dan pernah ke sana-sini mencari pemandu. Namun ternyata kuncinya
“kesungguhan tanpa palsu” dari diri kita. Seperti kata Allah sendiri “Siapa
yang serius, berjuang keras, tulus untuk hidup dijalan-Ku akan Kutunjukkan
jalan-Ku untuk mereka” (QS.29:69).
Reaksi awal yang muncul biasanya kerendahan hati dan
hilangnya fanatisme. Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang yang menunjukkan
start awal dan seterusnya kita
sendiri yang mesti serius. Terus
ekonomi? Tuhan akan mencukupkan kita seiring keseriusan kita menuju Dia.
Memberkati kita dengan cinta kesederhanaan dan suka berbagi. Di tengah-tengah gemerlapan dunia, di mana orang berlomba-lomba untuk menunjukkan
bahwa mereka ekonominya maju, baik itu lewat kepunyaan mobil dan kendaraan
lain, kita justru dianugerahi mencintai hidup simple dan hanya mengambil dunia sebatas kebutuhan bukan keinginan.
Di sisi lain, Tuhan akan terus menguji keseriusan kita. Apakah ketika
jatuh kita akan bangun lagi atau malah tidur? Di sini diperlukan satu do’a, minta kepada-Nya agar diberi
semangat berjuang yang tanpa lelah untuk menjadi orang benar menurut Dia. Jika
semangat tanpa kenal lelah bersemayam di dalam diri, terus mengisi hari-hari dan waktu luang untuk
memahami firman-Nya, maka kehadiran-Nya dalam hidup kita, sinyalnya juga akan
semakin menguat.
Dia akan mengingatkan kita saat setan sedang menggoda,
ini adalah cara Dia membantu kita agar tidak terlalu sering jatuh dan mudah
bangkit lagi. Namun – seperti kata SupremMaster Ching Hai, lupa dan salah tetap
akan menjadi bagian kita. Artinya Allah masih tetap memberi ruang untuk salah
dan lupa, agar kita terus semakin rendah hati dihadapan-Nya. Semakin lekat
kepada-Nya dan mohon ampun atas dosa-dosa yang merupakan buah dari salah dan
lupa tersebut.
Saat kita memahami hal-hal tersebut di atas, akan ada
kontrol yang cukup kuat untuk tidak mudah komentar buruk atau yang menyakiti
pihak lain. Dari sini kita akan ngerti
Sabda Rasul “Berkatalah yang benar, jika tidak bisa, diamlah”. Sehingga
diam itu lebih baik ketimbang ngomong
salah atau menyakiti.
Dan tahap berikutnya rasul mengingatkan kita agar kita
menjadi sumber kedamaian bagi sesama, memastikan bahwa tetangga, teman,
saudara-saudara kita selamat dari tangan, mulut dan kaki kita. Sebab kata Muslim
itu dalam bahasa Arab bisa berarti “ Yang memberi keselamatan” dan “Yang
menyerahkan diri kepada Tuhan”. Bahwa yang terbaik adalah yang paling banyak
manfaatnya terhadap sesame, dan kita berupaya
bergerak kesana.
Indonesia memang membutuhkan pribadi-pribadi yang rendah
hati, senang berbagi, yang punya toleransi tinggi terhadap perbedaan, lebih banyak lagi, agar Indonesia
betul-betul menjadi “a home for all”. Keragaman agama, suku, sekte mampu hidup berdampingan dan bahu membahu
dalam menjalani hidup. Dan itu mesti dimulai dari kita-kita ini.
Kita harus mampu menjadikan iman sebagai sumber damai
yang mendamaikan. Jika kita menganggap diri kita belum punya kemampuan memahami
firman Tuhan secara sendirian, hendaklah mencari seseorang yang kita perhitungkan
batinnya hidup.
Jika kita kreatif, di zaman internet ini sesungguhnya
sangat mudah untuk mencari sumber yang kita cari. Cukup dengan satu
klik saja kita bisa terbang ke Amerika, Arab, London dan lain-lain. Situs-situs
yang kita perlukan juga tersedia untuk semua dan kebanyakan gratis. Bisa dijadikan
guru di setiap saat, yang mampu menggiring kita meraih
kedamaian batin.
Saya secara pribadi jarang secara khusus menonton tv, kecuali
“orang Pinggiran, IndonesiaKu, Golden Ways dan Tv luar seperti Global 300 (DW-TV) dan Tv Iqraa (Saudi
Arabia). Selebihnya waktu di luar
kerja saya gunakan untuk menyimak penceramah Islam, seperti Oemar Sulaiman,
Nouman Ali Khan, Yasir Qadhi, Muhammad
Ibnu Adam Al Kautsari, Moutasem
Al-Hameedi, Hamzah yusuf, Ingrid Mattson, Mustafa Umar, dan lainnya.
Penceramah-penceramah di atas, menurut saya,
level spiritualnya sangat bagus, mampu menembus batin. Sehingga saya
pribadi tidak pernah bosan untuk mengulanginya hingga berkali-kali. Tidak boleh
bosan untuk belajar. Hampir semua resources
bisa didapat secara gratis dengan download
dari Youtube. Ini betul-betul karunia dan mukjizat besar dari Allah.
Akhir kata, Ya Allah.. damaikan
Indonesiaku, lembutkan yang hatinya kasar, dinginkan yang hatinya panas. Saudarakan yang hatinya penuh kebencian, limpahkan kepada kami-kami hati
yang pemaaf, yang rendah hati dan penuh kasih terhadap sesama. Hiasilah hati
kami dengan kesederhanaan dan suka berbagi, serta penuhilah dengan cinta kepada-Mu
dan kepada hamba-hamba-Mu. Serta jadikan pribadi-pribadi penghuni Indonesia
yang beragam ini menjadi sumber kedamaian bagi sesama. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar