#17an Masduki :Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah



Oleh Masduki  / ngabdiinggusti@yahoo.co.id
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini



Tidak disangsikan lagi bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang  terkenal dengan keragaman baik budaya, suku maupun agamanya. Keragaman ini bisa berdampak negatif juga bisa berdampak positif, tergantung kualitas kematangan berpikir pribadi  penduduknya. 

Ada yang mengatakan bahwa kematangan pribadi seseorang tergantung level pendidikannya. Namun jika dilihat dari kenyataan yang ada, pendapat ini tidak seratus persen benar. Sebab bisa kita lihat dilapangan tidak sedikit yang berpendidikan tinggi, sarjana, namun perilakunya mencerminkan pribadi yang masih sangat kurang dewasa. Mudah menghakimi, ringan berkomentar buruk,  terhadap pendapat yang tidak sama dengan pendapat pribadinya. Padahal orang yang dewasa akan berpikir dulu sebelum mengambil keputusan. Orang yang cukup matang akan mendahulukan hati dan pikiran ketimbang lidah atau mulut. Jadi lidah  harus ditaruh di belakang hati, bukan di depan hati. Sebab kata orang lidah itu tak bertulang.

Pada hakikatnya, perbedaan suku atau budaya jarang sekali menciptakan konflik, walau pernah terjadi (seperti di Sampit, Kalimantan beberapa tahun silam). Namun sesungguhnya, setahu saya, pemicunya bukan soal suku tapi ekonomi. Meski demikian, perbedaan agama cukup sering menjadi alasan terjadinya konflik antar penduduk di Indonesia, seperti kasus Poso. Padahal biasanya pemicunya hanya masalah spele. Dari masalah spele inilah emosi bangkit, tersulut karena diobori perbedaan agama yang terlibat dalam persoalan ini. 

Dari sinilah lahir sifat balas dendam dan menelorkan konflik besar sampai terjadi bunuh membunuh. Jika sudah seperti ini, konsep baik yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad maupun Yesus bahwa “memaafkan itu lebih baik” sudah tak mempan. Ini sesungguhnya pelajaran besar bagi kita bahwa di saat kita gagal mengendalikan emosi di level awal, maka untuk mengendalikan emosi yang sudah tak terkendali itu semakin sulit dan runyam.

Cek saja pengalaman kita sendiri, bukankah di saat gagal mengkontrol emosi maka akibatnya  penyesalan. Kenapa begitu? Sebab banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan, namun dilakukan karena out of control. Nabi Muhammad memberikan pesan cukup bagus dalam hal ini,sabar adalah pada pukulan pertama”. Artinya kualitas sabar sangat ditentukan bagaimana sikap awal kita saat dihantam musibah, saat emosi ditekan.

Konflik yang terjadi antarpenduduk berbeda agama ini akan menjadi konflik besar ketika para pemimpin agama sendiri tidak mampu mengendalikan diri dan hanyut dalam emosi pengikutnya. Pada saat kasus Poso, kebetulan saya mengikutinya lewat BBC London. Saat itu seorang pendeta diwawancarai oleh penyiar BBC lewat telepon. Emosinya cukup tinggi, dan tentu dalam hal ini setan yang tertawa, karena dia berhasil menyulut emosi. Mungkin pemimpin Islam demikian juga, walaupun saat itu saya nggak menyempatkan diri mendengarkan kelanjutan wawancara BBC kepada pemimpin muslim di Poso.

Ada konflik –yang menurut saya– lebih mengerikan ketimbang konflik antar agama, yaitu konflik yang bersumber dari perbedaan pendapat di dalam satu agama. Dikenal juga dengan beda aliran, grup atau kelompok. Ini biasanya lebih lama dan bisa dibilang tak ada ending-nya.

Dalam Islam, sedari dulu perbedaan selalu ada dalam hal-hal tertentu. Setiap ahli tafsir bisa saja tidak sependapat dengan ahli tafsir lainnya. Perbedaan ini terjadi saat mengambil kesimpulan atas ayat tertentu atau pada masalah yang tidak disebutkan secara gamblang oleh Al Quran maupun hadits. Sehingga dalam hal ini subyektivitas ikut menentukan dalam pengambilan kesimpulan. Yang sangat menentukannya adalah level spiritual atau kebersihan hati. 

Namun perbedaan diantara ahli tafser ini  tidak menjadikan masalah, sebab beliau-beliau ini dewasa dalam berpikir dan bisa menghargai perbedaan. Imam Al-Ghozali, setahu saya, pernah mengatakan pemahaman firman Allah itu tergantung pada level kebersihan hati, semakin bersih hati seseorang maka semakin luas dan dalam pemahaman yang diperoleh. Ini karunia Allah. Sebab semakin bersih hati seseorang semakin hati itu menjadi rumah bagi Allah.

Perbedaan akan menjadi masalah jika pribadi yang ada di aliran-aliran ini tidak dewasa, mengedepankan emosi, dan seperti anak kecil bahwa hanya pendapatnya saja yang paling benar, paling ber-Al Quran-Hadits. Maka komentar-komentar tak sedap, menyinggung dan menyakitkan keluar dari mulut mereka. Yang parah, sudah salah, mengajak melakukan kesalahan secara berjamaah. Akhirnya bisa mengarah kepada tindakan anarkis, seperti pembakaran Masjid Ahmadiyah dan pembakaran serta perusakan rumah warga Syi’ah di Madura.

Mengedepankan hati nurani dalam setiap tindakan, dan berpikir keras sebelum bertindak atau berkomentar, adalah salah satu sinyal karakter pribadi yang dewasa. Pandai dalam beragama tidak menjamin pribadinya punya wawasan luas dan matang dalam berpikir. Ada yang tambah pinter beragama (secara syari’at) tetapi komentar-komentarnya semakin tidak menyejukkan dan beringas. Sehingga pendewasaan karakter dan pribadi tergantung kepada banyak aspek.

Satu hal yang pasti, bahwa kita sebagai orang yang beriman mesti ngerti tujuan syari’at, rahasia diturunkannya aturan tersebut. Misalnya konflik sekte yang terjadi dalam Islam. Sebagian kecil kelompok Sunni di Indonesia – tidak semua – merasa paling berpegang Al Quran Sunnah dan merasa pendapatnya saja yang benar sehingga mereka dengan enteng mencap sekte lain seperti Syi’ah sebagai sesat. Mereka tidak sadar bahwa didalam Sunni sendiri juga begitu banyak perbedaan. Dan semua mengaku rujukannya Al Quran dan Sunnah.

Kita mesti ingat bahwa Nabi Muhammad diturunkan untuk menyempurnakan akhlak. Tujuannya agar kita punya koneksi batin dengan Tuhan, dapet arahan-Nya, bimbingan-Nya sehingga betul-betul bisa punya karakter menjadi wakil-Nya untuk memakmurkan Bumi tercinta ini. Peduli dengan yang kurang mampu, menjaga Bumi agar tetap hijau, tidak serakah, senang berbagi, suka menolong, dan lain-lain.

Perbedaan sudut pandang dalam melihat satu masalah, jika tidak diiringi dengan kematangan pribadi, ini bisa menyulut konflik, baik antar suku, sekte maupun antara agama. Jika tidak salah ingat Almarhum Nurcholis Majid, mantan rektor Paramadina pernah berkata, “Agama itu seperti roda, semakin keluar semakin berbeda tetapi semakin kedalam semakin sama, jadi satu.” Artinya tujuannya sama hanya jalan yang diambil berbeda, dan memang orang mendekati Tuhan dengan jalan yang berbeda-beda. Yang tercepat mana? Saya melihat setiap pengikut agama  merasa bahwa yang diikutinya jalan yang paling cepat. Ini tidak salah, selama tidak mencela yang lain. Namun Imam Al Ghozali memberi isyarat, “Adalah jika pengetahuannya semakin bertambah, semakin bertambah rendah hatinya, tunduknya, takutnya akan Tuhan. Ssemakin sadar akan kekurangan dan cacat diri, sehingga tak sempat melihat cacat orang lain. Mencintai kesederhanaan sehingga lebih punya peluang untuk berbagi dan lebih mencintai kehidupan setelah mati.”

Saya melihat dan saya yakin jika batin seseorang hidup, punya koneksi dengan Tuhan, persoalan-persoalan hidup lebih bisa disederhanakan. Sebab sabar dan doa dijadikan sebagai penolong dalam hidupnya. Logikanya begini jika seseorang melibatkan Tuhan dalam kehidupannya otomatis Tuhan melibatkan diri-Nya dalam kehidupan seorang hamba. Dia menganugerahkan kesabaran, memampukan dalam mengnangani persoalan yang dihadapinya, menurunkan kedamaian dan ketenangan Ilahiyah, yang mungkin orang lain mampu lihat dari raut wajahnya mungkin juga nggak.

Satu hal yang pasti, si penerima sakinah dari Allah ini bisa merasakannya. “Ingat Aku, maka aku akan mengingatmu.” Jika Allah ingat kita, tentu bukan sekadar ingat, tetapi lebih dari itu, Dia membantu dan menemani hidup kita. Dan bagaimana kita menduga Tuhan, begitu Dia kepada kita. Kualitas hati kita kepada Allah, menentukan sikap Dia kepada kita.

Mengapa kualitas hati harus diprioritaskan? Sejarah membuktikan di saat nabi Muhammad dalam ancaman mati, di Gua Tsur –dalam perjalan hijrah menuju Madinah (Yatsrib) –  bersama Abu Bakar. Para pembunuh telah berada di mulut Gua tersebut, dan Abu Bakar sangat gelisah. Ini normal, sebab jika saja para musuh nabi tersebut sedikit jongkok, maka Nabi Muhammad dan Abu bakar terlihat dan mungkin saja habis riwayatnya.

Tapi Tuhan Maha Bijak dan Maha Pemaksa, Jika Dia menghendaki apapun akan terjadi. Saat Nabi Muhammad melihat Abu Bakar gelisah, dia meluncurkan sebuah kalimat yang menunjukkan bahwa dia sedang diselimuti oleh sakinah Ilahiyah. Jangan bersedih, Allah bersama kita,” yang diabadikan dalam QS. At Taubat (9):40.

Setinggi apapun ilmu kita, sekaya apapun kita, jika tidak menambah kerendahan hati dan ketundukan batin kepada Tuhan maka kebahagiaan yang didapat akan mudah datang dan pergi. Lebih tidak stabil dan rentan terhadap situasi.

Berbeda dengan kebahagiaan Ilahiyah yang berada di batin, yang jika hanya dilengkapi dengan kebutuhan dasar hidup saja, sudah mampu menciptakan kedamaian diri. Artinya income yang nggak begitu gede bisa membuat seseorang bahagia, dan jika lebih, mampu berbagi. Berbeda dengan yang tidak dihinggapi oleh sakinah ilahiyah, seberapapun income didapat akan terasa kurang dan berat untuk berbagi. Seandainya mau berbagi toh biasanya karena diwajibkan dan bukan keinginan batin yang murni.
Ada standar yang cukup baku tentang “Manusia Surga”, karakter yang melekat pada diri seorang peace maker di dunia ini, dan menjadi penduduk surga setelah mati nanti. Simak kisah singkat figur ahli surga “Sa’d bin Abi Waqqash” berikut yang sedikit dimodifikasi dari aslinya.

Suatu hari di sebuah masjid ketika rasullullah saw bersama-sama para sahabat selesai melaksanakan sholat, rasul mendapat informasi dari langit bahwa sebentar lagi akan datang ahli surga. Rasul informasikan itu pada para sahabat. Kemudian masuklah seseorang yang melakukan sholat dan langsung berlalu ketika dia selesai melakukannya.

Hari berikutnya, di waktu yang sama, rasulullah saw Mmenyampaikan kalimat yang sama. Datanglah juga orang yang sama. Ahli syurga yang berjalan di madinah. Kejadian ini mengusik rasa ingin tahu seorang sahabat yang lain. Maka  Abdullah Ibn Amr mengikuti Sa’d. Berpura-pura ingin menumpang di rumahnya. Tiga hari. Dia pikir cukup untuk mengorek rahasia amal-amal Sa’d untuk dia tiru, agar bisa mendapat syurga Allah sebelum kematiannya.

Namun rupanya, sahabat ini tidak mendapati keistimewaan ibadah yang Sa’d lakukan. Maka, dia tak tahan lagi. Dia sampaikan semua niatnya dengan kejujuran yang putih. Sa’d mendengar. Sangat seksama. Namun Sa’d menyampaikan bahwa ibadah yang dia lakukan sama seperti yang terlihat. Tak ada yang dianggap spesial. Tidak dikurang-kurangi, apalagi dilebih-lebihkan.

Sahabat yang penasaran ini kemudian meminta undur diri dari hadapan Sa’d. Sambil berterima kasih karena mau menerima tumpangannya. Beberapa langkah berjalan, Sa’d memanggilnya.

“Wahai saudaraku, kemarilah sebentar”, pinta Sa’d.

Kemudian sahabat ini berjalan mendekati Sa’d. Setelah cukup dekat dia berkata

“Ada apa wahai Sa’d”

“Mungkin,”, kata Sa’d “Kalau amal ini yang bisa dianggap membuatku menjadi penghuni syurga. Adalah, setiap menjelang berbaring dan beristirahat di malam hari, aku berusaha memaafkan saudara-saudaraku dan melepaskan hasad dari dalam hatiku…”

Kisah ini menunjukkan bahwa pembaharuan batin itu mesti diutamakan, sebab dari sanalah tindakan-tindakan seseorang bersumber. Jika yang di dalam kualitasnya baik, maka secara otomatis yang diluar akan mengikutinya. Begitu juga dengan negara ini, step awal agar Indonesia betul-betul menjadi rumah bersama harus dimulai dari pembentukan karakter.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badanya” bangunan dalam didahulukan. Jika yang di dalam damai maka yang di luar ikut damai dan insya Allah mampu mendamaikan. Jika hati kita sendiri nggak damai, tenang, bagaimana mampu mendamaikan yang lain? Ketika hati kita benar, semakin bersih dari kebencian, hasad dan iri terhadap sesama dan penuh dengan maaf, maka surga menanti.

Simak potongan do’a Nabi Ibrahim berikut ini: “….dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari para manusia dibangkitkan, hari di mana harta dan anak-anak  tidak lagi berguna, kecuali mereka yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”.(QS.26:87-89)

Sejauh yang saya tahu, untuk membangkitkan, menghidupkan batin atau secara spiritual ada yang bilang dengan istilah inisiasi ini melalui banyak cara. Saya secara pribadi juga pernah mengikuti satu jalur spiritual dan pernah ke sana-sini mencari pemandu. Namun ternyata kuncinya “kesungguhan tanpa palsu” dari diri kita. Seperti kata Allah sendiri “Siapa yang serius, berjuang keras, tulus untuk hidup dijalan-Ku akan Kutunjukkan jalan-Ku untuk mereka” (QS.29:69).

Reaksi awal yang muncul biasanya kerendahan hati dan hilangnya fanatisme. Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang yang menunjukkan start awal dan seterusnya kita sendiri yang mesti serius. Terus ekonomi? Tuhan akan mencukupkan kita seiring keseriusan kita menuju Dia. Memberkati kita dengan cinta kesederhanaan dan suka berbagi. Di tengah-tengah gemerlapan dunia, di mana orang berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa mereka ekonominya maju, baik itu lewat kepunyaan mobil dan kendaraan lain, kita justru dianugerahi mencintai hidup simple dan hanya mengambil dunia sebatas kebutuhan bukan keinginan.

Di sisi lain, Tuhan akan terus menguji keseriusan kita. Apakah ketika jatuh kita akan bangun lagi atau malah tidur? Di sini diperlukan satu do’a, minta kepada-Nya agar diberi semangat berjuang yang tanpa lelah untuk menjadi orang benar menurut Dia. Jika semangat tanpa kenal lelah bersemayam di dalam diri, terus mengisi hari-hari dan waktu luang untuk memahami firman-Nya, maka kehadiran-Nya dalam hidup kita, sinyalnya juga akan semakin menguat.

Dia akan mengingatkan kita saat setan sedang menggoda, ini adalah cara Dia membantu kita agar tidak terlalu sering jatuh dan mudah bangkit lagi. Namun – seperti kata SupremMaster Ching Hai, lupa dan salah tetap akan menjadi bagian kita. Artinya Allah masih tetap memberi ruang untuk salah dan lupa, agar kita terus semakin rendah hati dihadapan-Nya. Semakin lekat kepada-Nya dan mohon ampun atas dosa-dosa yang merupakan buah dari salah dan lupa tersebut.

Saat kita memahami hal-hal tersebut di atas, akan ada kontrol yang cukup kuat untuk tidak mudah komentar buruk atau yang menyakiti pihak lain. Dari sini kita akan ngerti Sabda Rasul “Berkatalah yang benar, jika tidak bisa, diamlah”. Sehingga diam itu lebih baik ketimbang ngomong salah atau menyakiti.

Dan tahap berikutnya rasul mengingatkan kita agar kita menjadi sumber kedamaian bagi sesama, memastikan bahwa tetangga, teman, saudara-saudara kita selamat dari tangan, mulut dan kaki kita. Sebab kata Muslim itu dalam bahasa Arab bisa berarti “ Yang memberi keselamatan” dan “Yang menyerahkan diri kepada Tuhan”. Bahwa yang terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya terhadap sesame, dan kita berupaya bergerak kesana.

Indonesia memang membutuhkan pribadi-pribadi yang rendah hati, senang berbagi, yang punya toleransi tinggi terhadap perbedaan,  lebih banyak lagi, agar Indonesia betul-betul menjadi “a home for all. Keragaman agama, suku, sekte mampu hidup berdampingan dan bahu membahu dalam menjalani hidup. Dan itu mesti dimulai dari kita-kita ini.

Kita harus mampu menjadikan iman sebagai sumber damai yang mendamaikan. Jika kita menganggap diri kita belum punya kemampuan memahami firman Tuhan secara sendirian, hendaklah mencari seseorang yang kita perhitungkan batinnya hidup.

Jika kita kreatif, di zaman internet ini sesungguhnya sangat mudah untuk mencari sumber yang kita cari. Cukup dengan satu klik saja kita bisa terbang ke Amerika, Arab, London dan lain-lain. Situs-situs yang kita perlukan juga tersedia untuk semua dan kebanyakan gratis. Bisa dijadikan guru di setiap saat, yang mampu menggiring kita meraih kedamaian batin.

Saya secara pribadi jarang secara khusus menonton tv, kecuali “orang Pinggiran, IndonesiaKu, Golden Ways dan Tv luar seperti  Global 300 (DW-TV) dan Tv Iqraa (Saudi Arabia). Selebihnya waktu di luar kerja saya gunakan untuk menyimak penceramah Islam, seperti Oemar Sulaiman, Nouman Ali Khan, Yasir Qadhi, Muhammad Ibnu Adam Al Kautsari, Moutasem Al-Hameedi, Hamzah yusuf, Ingrid Mattson, Mustafa Umar, dan lainnya.

Penceramah-penceramah di atas,  menurut saya,  level spiritualnya sangat bagus, mampu menembus batin. Sehingga saya pribadi tidak pernah bosan untuk mengulanginya hingga berkali-kali. Tidak boleh bosan untuk belajar. Hampir semua resources bisa didapat secara gratis dengan download dari Youtube. Ini betul-betul karunia dan mukjizat besar dari Allah.

Akhir kata, Ya Allah.. damaikan Indonesiaku, lembutkan yang hatinya kasar, dinginkan yang hatinya panas. Saudarakan yang hatinya penuh kebencian, limpahkan kepada kami-kami hati yang pemaaf, yang rendah hati dan penuh kasih terhadap sesama. Hiasilah hati kami dengan kesederhanaan dan suka berbagi, serta penuhilah dengan cinta kepada-Mu dan kepada hamba-hamba-Mu. Serta jadikan pribadi-pribadi penghuni Indonesia yang beragam ini menjadi sumber kedamaian bagi sesama. Amien.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com