#17an Clara : Indonesia Punya Siapa?




Oleh Clara Ignatia Tobing / @lalatobing
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini

Saya pernah berbicara dengan seorang teman mengenai kecenderungan preferensi seksual seseorang, dengan mengemukakan argumen satu sama lain. Diskusinya berjalan alot, dengan dua pihak yang memiliki jalan pikiran begitu berbeda satu sama lainnya. 

Beliau, teman tersebut, adalah seseorang yang pintar, telah lama tinggal di luar negeri, menjunjung tinggi apa yang disebutnya sebagai nilai-nilai tradisional asli milik Indonesia. Saya, yang lebih muda, telah sering dikatakan dididik untuk tidak berpikir sebagai orang Indonesia, melainkan berpikir seperti produk masyarakat kapitalis. Di akhir diskusi teman tersebut berkata “Ya, karena kelihatannya segalanya alami bagi kalian, anak muda Indonesia sekarang, yang tidak lagi mengetahui mana budaya yang pantas dan tidak untuk orang Indonesia. Pemikiran seperti itu bukan milik orang Indonesia.

Setelah diskusi tersebut usai, saya terkejut. Secara tidak langsung, saya dipojokkan dan dikatakan bahwa saya bukan orang Indonesia. Wah, membingungkan. Di akte lahir, KTP dan semua dokumen saya tertulis jelas bahwa saya berkebangsaan Indonesia. Lahir, tinggal, menetap dan hidup di sini. Saya diajari sejarah Indonesia, semua nama-nama presidennya, semua nama negara penjajah, semua pergantian jumlah provinsi Indonesia. Saya berpenampilan 100% orang Indonesia, ras mongoloid yang berkulit coklat. Saya berbahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, sebagaimana yang disiratkan oleh janji Sumpah Pemuda. Saya tidak kurang Indonesia dari berjuta-juta masyarakat Indonesia lainnya. Lantas, mengapa saya dikatakan demikian?

Secara tidak langsung, bukan hanya saya yang pernah dilabeli stereotype “bukan Indonesia”, karena memiliki ciri yang berbeda dengan ciri yang menjadi kekhasan, trademark apa yang disebut “Indonesia” itu. Berkulit putih, mata sipit, bukan Indonesia! Wanita bekerja, tidak punya suami tetapi membesarkan anak sendiri, bukan Indonesia! Beragama lain dari 6 agama yang ditentukan, bukan Indonesia! Pria menyukai sesama pria, wanita menyukai sesama wanita, bukan Indonesia! Berpikir dengan pemikiran tokoh diluar Indonesia, bukan Indonesia! Bla bla bla, bukan Indonesia! Bla bla bla, bukan Indonesia! Lebih mengerikan lagi, label-label “bukan Indonesia” itu biasanya diikuti tindakan kekerasan untuk mengusir jauh orang-orang yang berbeda itu.

Banyak kita dengar mereka yang diberi label demikian menjadi korban kekerasan didalam negara Indonesia sendiri. Tentu kita masih ingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 di mana ribuan keturunan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi korban kekerasan, penculikan, pemerkosaan bahkan dibunuh. Mereka ini dibantai dalam negaranya sendiri, negara yang memberikan KTP terhadap mereka dan mengakui mereka sebagai bangsa Indonesia. Tetapi apa, pada prakteknya mereka tidak diakui sebagai bagian dari bangsa ini. 

Label semacam ini mau tidak mau masih dilakukan sampai sekarang, contoh kecilnya dari penamaan “Cina” terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Padahal, sudah berpuluh-puluh tahun nenek moyang mereka hijrah dan menetap di negara ini, sebagaimana yang dilakukan nenek moyang kita berjuta tahun yang lalu.

Ada lagi kekerasan berdasarkan agama yang begitu menjamur sekian tahun lamanya. Sebagai contoh kasus pengungsi Syiah yang masih berlangsung sampai sekarang. Mereka meninggalkan kampung halamannya di Madura karena agama yang mereka anut dinilai sesat dan tidak sesuai dengan ajaran agama masyarakat di situ. Ratusan warga Syiah sampai sekarang berada dalam pengungsian, tidak bisa mendapatkan pendidikan, tidak punya tempat tinggal, tidak bekerja, tidak mempunyai penghidupan yang layak. Seakan mereka bukan bagian dari negara ini. 

Tak jarang juga kita melihat dalam kehidupan sehari-hari, seorang transgender atau mereka yang melakukan operasi pergantian kelamin, dipersulit kehidupannya. Pilihan pekerjaan bagi mereka terbatas, kebanyakan berkisar di industri kecantikan, atau lebih naas, menjadi pengamen di persimpangan jalan. Selebihnya? Jangan harap. Mereka dianggap bukan bagian dari masyarakat Indonesia yang hanya mengenal 2 jenis kelamin dari lahir, lelaki atau perempuan. Selebihnya, tidak ada tempat dalam masyarakat. Padahal Indonesia menjamin kebebasan bekerja dan berserikat. Indonesia tidak bisa menyediakan penghidupan yang lebih baik bagi mereka-mereka ini. Indonesia tidak bolehkah dimiliki mereka?

Indonesia juga punya mereka-mereka ini!

Orang-orang yang diberi label “bukan Indonesia” tentu bertanya, kenapa kami disebut demikian? Lantas, Indonesia ini punya siapa? Indonesia itu nama negara, nama suatu bangsa. Didalamnya ada yang kita sebut sebagai manusia, datang dari berbagai ras, macam suku, daerah, kebiasaan, pemikiran, dan agama. Setiap suku tersebut merupakan hasil migrasi atau perpindahan suku-suku yang lebih tua di berbagai daratan Asia dahulu kala. Perpindahan, pencampuran, itulah yang membentuk Indonesia sekarang, suatu bangsa yang melintang di khatulistiwa. Yang membuat seseorang menjadi orang Indonesia adalah kesamaan cita-cita, cita-cita ingin membentuk bangsa ini menjadi bangsa yang lebih besar.

Tanggal  29 Juli 1956 di Semarang Bung Karno, bapak negara Indonesia pernah berkata dalam pidatonya “Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia di dunia ini, Saudara-saudara, "basically" - pada dasar dan hakekatnya - adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu manusia inilah yang harus diperhatikan.”

Bung Karno menyiratkan, bahwa yang terpenting, bagi kebesaran suatu bangsa, adalah penghormatan terhadap manusia di dalam negara tersebut. Penghormatan terhadap manusia yang membentuk bangsa tersebut. Tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya, semua sama di mata dunia.

Menarik sekali bahwa pidato Bung Karno yang saya kutip diatas adalah bagian dari sebuah pidato panjang mengenai bagaimana Indonesia, yang dikatakan beliau sebagai “tanah air yang paling cantik di dunia”, agar menjadi bangsa yang lebih besar, mengalahkan rekan-rekan kita di dunia Barat. Bahwa kunci untuk menjadi bangsa demikian, salah satunya adalah penghormatan satu sama lainnya. Masih beranikah kita membedakan bangsa kita, mengkotak-kotakkan mereka sebagai “Indonesia dan Bukan Indonesia” kalau cita-cita kita adalah sama?

Orang muda adalah orang-orang yang biasanya dijuluki sebagai orang-orang yang bukan orang Indonesia lagi. Tidak mengenal kebudayaannya, tidak mengenal kakek neneknya. Berpikir di luar tradisi yang telah ditetapkan, tidak sesuai dengan ciri Indonesia.

Padahal, negara ini adalah negara dinamis. Kita adalah orang-orang yang percaya perubahan. Ini telah kita buktikan saat dengan beraninya kita bangkit dari beratus tahun penjajahan dan membentuk negara yang berdaulat sendiri. Saat dengan beraninya kita berulang-ulang membentuk pemerintahan yang berbeda, belajar dari negara-negara yang lebih maju agar negara ini lebih sempurna lagi. Kita mengadopsi berbagai teknologi, mempermudah kehidupan, mensejahterakan rakyat. Kita bukan masyarakat yang mau berhenti di satu titik.

Kemudian, kenapa begitu marah kepada orang-orang muda yang berpikiran tidak sama seperti pendahulunya? Orang-orang muda Indonesia adalah orang-orang muda yang dididik secara dinamis. Orang-orang muda yang dilahirkan dari perjuangan berpuluh-puluh tahun lamanya. Untuk saat inilah dahulu para pejuang gugur di batas-batas peperangan, agar rakyat Indonesia di dalam tanah airnya sendiri dapat berpikir, berbicara, membentuk peradaban yang lebih maju lagi. Tidak adil rasanya kalau orang-orang muda seperti ini dikungkung dengan apa yang telah ada, tanpa kebebasan untuk membentuk masyarakat yang lebih baik lagi dengan caranya sendiri.

Terkadang orang-orang muda ini berjuang dengan membentuk kepedulian terhadap sesama manusia. Banyak dari orang muda yang percaya bahwa batas-batas seperti agama, suku, stereotype yang menghalangi pendahulu kami untuk mau membantu, bukanlah penghalang untuk saling menghormati dan beriteraksi.

Orang muda adalah orang-orang yang kecewa saat apa yang telah ada di Indonesia tidak lagi membawa kesejahteraan bagi sesamanya. Kekerasan berdasarkan suku, misalnya. Bila perbedaan menjadi halangan dahulu untuk saling menghormati, maka niscaya ada begitu banyak orang muda yang percaya bahwa perbedaan bukan rintangan, melainkan bagian dari kekayaan yang membentuk Indonesia.

Banyak dari orang muda yang terus belajar dari negara lain yang ingin membantu Indonesia melepaskan prasangka terhadap apa yang berbeda darinya. Karena toh prasangka muncul dari ketakutan karena ketidaktahuan, maka biarkan orang-orang muda yang ingin mencari tahu ini menjelaskan untuk memusnahkan prasangka. Kebencian karena perbedaan, inilah yang dihadapi Indonesia tahun-tahun sekarang.

Orang-orang muda, meski tidak hidup pada jaman dahulu kala, tetapi merupakan orang-orang yang belajar dari sejarah kelam tersebut. Orang-orang inilah yang menyaksikan bahwa kebencian karena perbedaan tidak menghasilkan apapun selain perpecahan, padahal persatuanlah yang menjadi dasar didirikannya negara ini. Orang-orang muda ini juga orang Indonesia, yang mempunyai dan ingin menjadikan Indonesia lebih baik lagi.
Mengutip sepenggal tulisan dari surat terbuka oleh Romo Franz Magnis Suseno yang berkeberatan atas penganugerahaan World Statesman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditulis pada bulan Mei 2013, beliau mengatakan bahwa: “I have to add that I am not a radical, not even a "human right extremist" (if such exist). I am just appealed about so much hypocrisy. You are playing in the hands of those - still few - radicals that want to purify Indonesia of all what they regard as heresies and heathen.”

Penghormatan terhadap sesama manusia tidak perlu menjadi seorang yang radikal, tidak perlu "pake otot", tidak perlu menjadi seorang ekstrimis seperti yang telah banyak ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku “sangat Indonesia. Dan yang menarik adalah kata-kata "not even a human right extremist, if such exist".  Jadi, seorang ekstrimis hak asasi manusia itu tidak pernah ada? Untuk menghormati hak-hak dasar manusia, tidak pernah ada jalan ekstrim. Penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, adalah jalan panjang yang sepi dan damai, tanpa huru hara, tanpa perlu kobaran api dan bahkan amarah.

Bahwa penghormatan itu muncul dari pemikiran-pemikiran terdalam yang didapat dari perenungan lama dan tidak berbenturan. Bahwa penghormatan adalah jalan yang lembut dan tidak menghakimi. “I am just  appealed about so much hypocrisy.” Ya, saya juga kagum dengan banyaknya kemunafikan yang saya temui.  Saya kagum dengan banyaknya orang yang berkata dia membela jalan yang benar, tetapi menyakiti orang lain dengan tangannya.

Jalan yang benar selalu adalah jalan mencintai sesama. Penghormatan, penghargaan, pertolongan adalah jalan untuk mencintai Tuhan dalam entitasnya yang paling dekat dengan kita. Demikian adanya untuk membentuk suatu bangsa, untuk membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi, yakinilan bahwa kita semua yang mempunyai Indoensia. Jalan kita adalah membentuk Indonesia menajdi bangsa yang lebih besar lagi. Dengan jalan menghormati sesama manusia Indonesia, dan manusia-manusia lain diluar sana. []

1 komentar:

  1. I know you're good in writing, keep up the good work..kayaknya kalau lo nulis buku asik la

    BalasHapus

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com