Oleh Clara Ignatia Tobing / @lalatobing
Dalam buku kompilasi "Indonesia Rumah Bersama" Download Buku Ini
Saya pernah
berbicara dengan seorang teman mengenai kecenderungan preferensi seksual
seseorang, dengan mengemukakan argumen satu sama lain. Diskusinya berjalan
alot, dengan dua pihak yang memiliki jalan pikiran begitu berbeda satu sama
lainnya.
Beliau, teman
tersebut, adalah seseorang yang pintar, telah lama tinggal di luar negeri,
menjunjung tinggi apa yang disebutnya sebagai nilai-nilai tradisional asli
milik Indonesia. Saya, yang lebih muda, telah sering dikatakan dididik untuk
tidak berpikir sebagai orang Indonesia, melainkan berpikir seperti produk
masyarakat kapitalis. Di akhir diskusi teman tersebut berkata “Ya, karena kelihatannya segalanya alami bagi
kalian, anak muda Indonesia sekarang, yang tidak lagi mengetahui mana budaya
yang pantas dan tidak untuk orang Indonesia. Pemikiran seperti itu bukan milik
orang Indonesia.”
Setelah diskusi
tersebut usai, saya terkejut. Secara tidak langsung, saya dipojokkan dan
dikatakan bahwa saya bukan orang Indonesia. Wah,
membingungkan. Di akte lahir, KTP dan semua dokumen saya tertulis jelas bahwa
saya berkebangsaan Indonesia. Lahir, tinggal, menetap dan hidup di sini. Saya
diajari sejarah Indonesia, semua nama-nama presidennya, semua nama negara
penjajah, semua pergantian jumlah provinsi Indonesia. Saya berpenampilan 100%
orang Indonesia, ras mongoloid yang berkulit coklat. Saya berbahasa Indonesia
sebagai bahasa ibu, sebagaimana yang disiratkan oleh janji Sumpah Pemuda. Saya
tidak kurang Indonesia dari berjuta-juta masyarakat Indonesia lainnya. Lantas,
mengapa saya dikatakan demikian?
Secara tidak
langsung, bukan hanya saya yang pernah dilabeli stereotype “bukan Indonesia”, karena memiliki ciri yang berbeda
dengan ciri yang menjadi kekhasan, trademark
apa yang disebut “Indonesia” itu. Berkulit putih, mata sipit, bukan Indonesia!
Wanita bekerja, tidak punya suami tetapi membesarkan anak sendiri, bukan
Indonesia! Beragama lain dari 6 agama yang ditentukan, bukan Indonesia! Pria
menyukai sesama pria, wanita menyukai sesama wanita, bukan Indonesia! Berpikir
dengan pemikiran tokoh diluar Indonesia, bukan Indonesia! Bla bla bla, bukan
Indonesia! Bla bla bla, bukan Indonesia! Lebih mengerikan lagi, label-label
“bukan Indonesia” itu biasanya diikuti tindakan kekerasan untuk mengusir jauh
orang-orang yang berbeda itu.
Banyak kita dengar
mereka yang diberi label demikian menjadi korban kekerasan didalam negara
Indonesia sendiri. Tentu kita masih ingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 di mana
ribuan keturunan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi korban kekerasan,
penculikan, pemerkosaan bahkan dibunuh. Mereka ini dibantai dalam negaranya
sendiri, negara yang memberikan KTP terhadap mereka dan mengakui mereka sebagai
bangsa Indonesia. Tetapi apa, pada prakteknya mereka tidak diakui sebagai
bagian dari bangsa ini.
Label semacam ini
mau tidak mau masih dilakukan sampai sekarang, contoh kecilnya dari penamaan
“Cina” terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Padahal, sudah berpuluh-puluh
tahun nenek moyang mereka hijrah dan menetap di negara ini, sebagaimana yang
dilakukan nenek moyang kita berjuta tahun yang lalu.
Ada lagi kekerasan
berdasarkan agama yang begitu menjamur sekian tahun lamanya. Sebagai contoh
kasus pengungsi Syiah yang masih berlangsung sampai sekarang. Mereka
meninggalkan kampung halamannya di Madura karena agama yang mereka anut dinilai
sesat dan tidak sesuai dengan ajaran agama masyarakat di situ. Ratusan warga
Syiah sampai sekarang berada dalam pengungsian, tidak bisa mendapatkan pendidikan,
tidak punya tempat tinggal, tidak bekerja, tidak mempunyai penghidupan yang
layak. Seakan mereka bukan bagian dari negara ini.
Tak jarang juga
kita melihat dalam kehidupan sehari-hari, seorang transgender atau mereka yang
melakukan operasi pergantian kelamin, dipersulit kehidupannya. Pilihan
pekerjaan bagi mereka terbatas, kebanyakan berkisar di industri kecantikan,
atau lebih naas, menjadi pengamen di persimpangan jalan. Selebihnya? Jangan
harap. Mereka dianggap bukan bagian dari masyarakat Indonesia yang hanya
mengenal 2 jenis kelamin dari lahir, lelaki atau perempuan. Selebihnya, tidak
ada tempat dalam masyarakat. Padahal Indonesia menjamin kebebasan bekerja dan
berserikat. Indonesia tidak bisa menyediakan penghidupan yang lebih baik bagi
mereka-mereka ini. Indonesia tidak bolehkah dimiliki mereka?
Indonesia juga
punya mereka-mereka ini!
Orang-orang yang
diberi label “bukan Indonesia” tentu bertanya, kenapa kami disebut demikian? Lantas,
Indonesia ini punya siapa? Indonesia itu nama negara, nama suatu bangsa.
Didalamnya ada yang kita sebut sebagai manusia, datang dari berbagai ras, macam
suku, daerah, kebiasaan, pemikiran, dan agama. Setiap suku tersebut merupakan
hasil migrasi atau perpindahan suku-suku yang lebih tua di berbagai daratan
Asia dahulu kala. Perpindahan, pencampuran, itulah yang membentuk Indonesia
sekarang, suatu bangsa yang melintang di khatulistiwa. Yang membuat seseorang
menjadi orang Indonesia adalah kesamaan cita-cita, cita-cita ingin membentuk
bangsa ini menjadi bangsa yang lebih besar.
Tanggal 29 Juli 1956 di Semarang Bung Karno, bapak
negara Indonesia pernah berkata dalam pidatonya “Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia di dunia ini,
Saudara-saudara, "basically"
- pada dasar dan hakekatnya - adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh
karena itu manusia inilah yang harus diperhatikan.”
Bung Karno
menyiratkan, bahwa yang terpenting, bagi kebesaran suatu bangsa, adalah
penghormatan terhadap manusia di dalam negara tersebut. Penghormatan terhadap
manusia yang membentuk bangsa tersebut. Tidak ada perbedaan satu dengan yang
lainnya, semua sama di mata dunia.
Menarik sekali
bahwa pidato Bung Karno yang saya kutip diatas adalah bagian dari sebuah pidato
panjang mengenai bagaimana Indonesia, yang dikatakan beliau sebagai “tanah air yang paling cantik di dunia”,
agar menjadi bangsa yang lebih besar, mengalahkan rekan-rekan kita di dunia Barat.
Bahwa kunci untuk menjadi bangsa demikian, salah satunya adalah penghormatan
satu sama lainnya. Masih beranikah kita membedakan bangsa kita,
mengkotak-kotakkan mereka sebagai “Indonesia dan Bukan Indonesia” kalau
cita-cita kita adalah sama?
Orang muda adalah
orang-orang yang biasanya dijuluki sebagai orang-orang yang bukan orang
Indonesia lagi. Tidak mengenal kebudayaannya, tidak mengenal kakek neneknya.
Berpikir di luar tradisi yang telah ditetapkan, tidak sesuai dengan ciri
Indonesia.
Padahal, negara
ini adalah negara dinamis. Kita adalah orang-orang yang percaya perubahan. Ini
telah kita buktikan saat dengan beraninya kita bangkit dari beratus tahun
penjajahan dan membentuk negara yang berdaulat sendiri. Saat dengan beraninya
kita berulang-ulang membentuk pemerintahan yang berbeda, belajar dari
negara-negara yang lebih maju agar negara ini lebih sempurna lagi. Kita mengadopsi
berbagai teknologi, mempermudah kehidupan, mensejahterakan rakyat. Kita bukan
masyarakat yang mau berhenti di satu titik.
Kemudian, kenapa
begitu marah kepada orang-orang muda yang berpikiran tidak sama seperti
pendahulunya? Orang-orang muda Indonesia adalah orang-orang muda yang dididik
secara dinamis. Orang-orang muda yang dilahirkan dari perjuangan berpuluh-puluh
tahun lamanya. Untuk saat inilah dahulu para pejuang gugur di batas-batas
peperangan, agar rakyat Indonesia di dalam tanah airnya sendiri dapat berpikir,
berbicara, membentuk peradaban yang lebih maju lagi. Tidak adil rasanya kalau
orang-orang muda seperti ini dikungkung dengan apa yang telah ada, tanpa
kebebasan untuk membentuk masyarakat yang lebih baik lagi dengan caranya
sendiri.
Terkadang
orang-orang muda ini berjuang dengan membentuk kepedulian terhadap sesama
manusia. Banyak dari orang muda yang percaya bahwa batas-batas seperti agama,
suku, stereotype yang menghalangi
pendahulu kami untuk mau membantu, bukanlah penghalang untuk saling menghormati
dan beriteraksi.
Orang muda adalah
orang-orang yang kecewa saat apa yang telah ada di Indonesia tidak lagi membawa
kesejahteraan bagi sesamanya. Kekerasan berdasarkan suku, misalnya. Bila
perbedaan menjadi halangan dahulu untuk saling menghormati, maka niscaya ada
begitu banyak orang muda yang percaya bahwa perbedaan bukan rintangan,
melainkan bagian dari kekayaan yang membentuk Indonesia.
Banyak dari orang muda yang terus belajar dari
negara lain yang ingin membantu Indonesia melepaskan prasangka terhadap apa
yang berbeda darinya. Karena toh
prasangka muncul dari ketakutan karena ketidaktahuan, maka biarkan orang-orang
muda yang ingin mencari tahu ini menjelaskan untuk memusnahkan prasangka.
Kebencian karena perbedaan, inilah yang dihadapi Indonesia tahun-tahun
sekarang.
Orang-orang muda,
meski tidak hidup pada jaman dahulu kala, tetapi merupakan orang-orang yang
belajar dari sejarah kelam tersebut. Orang-orang inilah yang menyaksikan bahwa
kebencian karena perbedaan tidak menghasilkan apapun selain perpecahan, padahal
persatuanlah yang menjadi dasar didirikannya negara ini. Orang-orang muda ini
juga orang Indonesia, yang mempunyai dan ingin menjadikan Indonesia lebih baik
lagi.
Mengutip sepenggal tulisan dari surat terbuka oleh Romo
Franz Magnis Suseno yang
berkeberatan atas penganugerahaan World Statesman Award kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang ditulis pada bulan Mei 2013, beliau mengatakan bahwa: “I
have to add that I am not a radical, not even a "human right
extremist" (if such exist). I am just appealed about so much
hypocrisy. You are playing in the hands of those - still few - radicals that
want to purify Indonesia of all what they regard as heresies and heathen.”
Penghormatan terhadap sesama manusia tidak perlu menjadi seorang yang
radikal, tidak perlu "pake otot", tidak perlu menjadi seorang
ekstrimis seperti yang telah banyak ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku
“sangat Indonesia. Dan yang menarik adalah kata-kata "not even a human
right extremist, if such exist".
Jadi, seorang ekstrimis hak asasi manusia itu tidak pernah ada? Untuk
menghormati hak-hak dasar manusia, tidak pernah ada jalan ekstrim. Penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, adalah jalan panjang yang sepi dan damai,
tanpa huru hara, tanpa perlu kobaran api dan bahkan amarah.
Bahwa penghormatan itu muncul dari pemikiran-pemikiran terdalam yang
didapat dari perenungan lama dan tidak berbenturan. Bahwa penghormatan adalah
jalan yang lembut dan tidak menghakimi. “I am just appealed about so much hypocrisy.” Ya,
saya juga kagum dengan banyaknya kemunafikan yang saya temui. Saya kagum dengan banyaknya orang yang berkata
dia membela jalan yang benar, tetapi menyakiti orang lain dengan tangannya.
Jalan yang benar selalu adalah jalan mencintai sesama. Penghormatan,
penghargaan, pertolongan adalah jalan untuk mencintai Tuhan dalam entitasnya
yang paling dekat dengan kita. Demikian adanya untuk membentuk suatu bangsa,
untuk membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi, yakinilan bahwa
kita semua yang mempunyai Indoensia. Jalan kita adalah membentuk Indonesia
menajdi bangsa yang lebih besar lagi. Dengan jalan menghormati sesama manusia
Indonesia, dan manusia-manusia lain diluar sana. []
I know you're good in writing, keep up the good work..kayaknya kalau lo nulis buku asik la
BalasHapus